Mohon tunggu...
Wisnu Jakhir Ramadhan
Wisnu Jakhir Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Student of the Indonesian Language and literature study program, Indonesian Educational Universities

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Makna Kehidupan dalam Puisi "Hatiku Selembar Daun" Karya Sapardi Djoko Damono

20 Desember 2023   11:31 Diperbarui: 20 Desember 2023   11:37 3813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menurut pandangan Sugihastuti (2007: 81-82) karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan pengalamannya. Sebagai media, peran karya sastra sebagai media untuk menghubungkan pikiran-pikiran pengarang untuk disampaikan kepada pembaca. Selain itu, karya sastra juga dapat merefleksikan pandangan pengarang terhadap berbagai masalah yang diamati di lingkungannya. Karya sastra dibagi menjadi dua, yaitu fiksi dan nonfiksi.

Puisi adalah karya sastra yang bersifat fiksi. Puisi merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama menurut Dunton (dalam Pradopo, 2009:6). Puisi sebagai karya sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspek, misalnya struktur dan unsur-unsurnya, bahwa puisi merupakan struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan (Pradopo, 2009:3). Puisi adalah salah satu karya sastra yang berbentuk pendek, singkat dan padat yang dituangkan dari isi hati, pikiran dan perasaan penyair, dengan segala kemampuan bahasa yang pekat, kreatif, imajinatif (Suroto, 2001:40). Bersifat imajinatif menjadi ciri khas yang kuat karena susunan kata-katanya. Menurut Waluyo (dalam Dani, 2013:9) puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi rima dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan (Pradopo, 2009:7).

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa puisi adalah sebuah rangkaian kata yang tersusun dari hasil pemikiran dan perasaan seseorang lalu memiliki makna yang indah dan terstruktur. Puisi terdiri dari unsur-unsur seperti imajinasi, pemikiran, pemilihan kata, nada dan rasa.

Sapardi Djoko Damono (SDD) adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal karena puisi-puisi nya yang menggunakan kata-kata sederhana dan beberapa diantaranya sangat popular. Ia termasuk seorang penyair periode 70-an, lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Masa mudanya dihabiskan di Surakarta hingga lulus SMA pada tahun 1958. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Yogyakarta. Tepatnya kuliah di bidang Bahasa Inggris Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rajin menulis sejak duduk di bangku sekolah, membuat SDD -sapaan akrab sang penyair- telah menulis sejumlah karya yang ia kirimkan ke beberapa majalah. Kebiasaan menulisnya menghantarkannya menjadi direktur pelaksanaan Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison. Sejak tahun 1974, ia juga mengajar di Fakultas Sastra (yang sekarang menjadi Fakultas Budaya) Universitas Indonesia. Sapardi Djoko Damono tutup usia pada 19 Juli 2020 pada usia 80 tahun akibat penurunan fungsi organ tubuh. Meskipun kini sosoknya sudah tak ada lagi, tetapi karyanya akan tetap abadi di hati para penikmatnya.

Karya-karya sajak SDD, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Hingga saat ini sudah ada delapan kumpulan puisinya yang diterbitkan. Ia bukan hanya menulis puisi, tetapi juga menerjemahkan berbagai karya asing, menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin, Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari.

Pada kesempatan kali ini Puisi Hatiku Selembar Daun adalah salah satu karya SDD yang ditulis pada tahun 1984, yang akan dikaji lebih dalam yaitu dengan menganalisis makna yang ada pada puisi tersebut, harapannya dengan melakukan pengkajian ini dapat mengungkap makna lebih dalam yang ada pada puisi Hatiku Selembar Daun karya SDD ini agar pembaca dapat memahami lebih mudah.

Puisi Hatiku Selembar Daun karya Sapardi Djoko Damono menggambarkan bahwa seorang hamba yang sudah berada di sebuah penghujung hidupnya mulai menyadari bahwa dia hanyalah seorang manusia yang tak punya kuasa apapun yang tinggal menunggu panggilan dari Sang Pencipta.

HATIKU SELEMBAR DAUN

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak berbaring di sini;
ada yang masih ingin ku pandang yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi.

 

Hal yang menarik pada puisi ini yaitu tulisannya hanya menggunakan huruf kecil, baik di awal maupun akhir baitnya sehingga puisi ini memiliki perbedaan dengan puisi yang lain. Kebanyakan puisi-puisi yang dibuat selalu memperhatikan kaidah yang berlaku. Kaidah puisi yaitu bentuk puisi yang memperhatikan sebuah halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak terlalu selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi. Berbeda pada puisi ini, pak Sapardi tidak memperhatikan kaidah yang ada. Hal ini dikarena SDD ingin memperlihatkan bahwa puisi tidak selalu harus terikat pada kaidah yang ada.

Pada puisi Hatiku Selembar Daun, tidak memperhatikan kaidah yang berlaku itu dan ini merupakan ciri khas tersendiri pada puisi ini. Bait ke-1 sampai ke-3 menggunakan tanda titik koma dan pada akhir bait ke-4 diakhiri dengan tanda titik, walaupun di awal tidak menggunakan huruf kapital.

Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69). Dalam puisi ini Pak Sapardi memilih kata-kata yang agak mudah dipahami oleh pembaca sehingga pembaca tidak akan merasa kesulitan dalam mengetahui maksud pada puisi ini.

Gaya bahasa, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Pada puisi ini, penulis banyak menggunakan gaya bahasa personfikasi atau banyak menciptakan perumpamaan benda mati dengan sifat menyerupai manusia, yakni berada pada bait pertama "hatiku selembar daun melayang jauh di rumput".

Pada bait ke-3 yaitu "ada yang masih ingin ku pandang yang selama ini senantiasa luput". SDD menggunakan citraan atau imaji pengelihatan, yaitu mengakibatkan pembaca setelah membaca puisi ini merasakan hal yang sama pada kata yang ada bait tersebut.

Pada puisi ini juga tak lupa SDD memberikan amanat untuk pembaca yaitu mengingatkan kepada pembaca akan kecilnya manusia dimata Allah. Oleh karena itu Pak Sapardi berpesan kepada pembaca untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin di dunia ini karna kita pasti akan kembali kepada-Nya, bersyukur apabila mendapatkan rahmat dari Tuhan, selalu beribadah dan berbuat baik sebelum ajal menjemput.

Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Sedangkan irama adalah lagu kalimat yang digunakan penyair dalam mengapresiasikan puisinya. Pada puisi ini menggunakan rima ab-ab dan menggunakan irama yang menunjukkan sebuah penyesalan.

Nada (tone) pada puisi Hatiku Selembar Daun, yaitu SDD menuangkan sebuah gambaran penderitaan yang dialami kepada pembaca dengan nada penyesalan, pada puisi ini memberikan gambaran bahwa Ia merasa telah menyia-nyiakan waktunya dengan berbuat dosa dan lupa akan kewajibannya sebagai seorang manusia yaitu untuk beribadah kepada Tuhan, Ia membayangkan ketika lupa kepada kewajibannya akan merasakan sakaratul maut yang sangat sulit.

Tema pada puisi Hatiku Selembar Daun karya Pak Sapardi menyinggung tentang keagamaan yaitu orang yang telah lupa akan kewajiban sebagai seorang hamba yaitu untuk beribadah. Terbukti pada bait terakhir "sesaat adalah abadi sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi." Meskipun kata yang dipakai membuat pembaca sedikit kebingungan tetapi jika diartikan, yaitu berarti hidup di dunia ini hanya sementara, lalu segala hal yang telah dilakukan di dunia ini akan menjadi tanggung jawab ketika bertemu dengan Sang Pencipta. Bait ini mencakup makna keseluruhan pada puisi ini yaitu bermakna tentang keagamaan.

Pada puisi ini memiliki kata konkret yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Terdapat pada bait pertama yaitu "hatiku selembar daun dan melayang jatuh di rumput". 

Memberikan gambaran pada pembaca isi puisi Hatiku Selembar Daun yaitu membayangkan diri kita yang hanya selembar daun pada sebuah pohon, selanjutnya selembar daun yang ada pada pohon tersebut akan melayang jatuh di rumput. Artinya adalah kita diberi kesempatan oleh Tuhan untuk hidup di dunia ini, kesempatan yang diberikan itu harus kita gunakan untuk beribadah kepada Tuhan.

Lalu hidup di dunia ini tidak akan selamanya, yang berarti bahwa akhirnya kita akan lepas dari pohon atau dunia tersebut dan jatuh ke rumput atau akan menemui sebuah kematian. Setelah proses hidup di dunia manusia akan mati atau kembali kepada Sang Pencipta, sebagai manusia kita pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah kita lakukan selama di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun