Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Drama di Balik Penandatanganan UU MD3

8 April 2018   08:39 Diperbarui: 8 April 2018   09:02 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.kemenkopmk.go.id

Undang Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang disebut dengan istilah UU MD3, telah selesai dilakukan pembahasannya. Dan telah Pula disahkan oleh DPR sebagai Undang Undang (UU).

Akan tetapi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku pihak pemerintah, menolak untuk menandatangani  lembaran pengesahan UU MD3 tersebut. Penolakan Presiden untuk menandatangani lembaran pengesahan UU MD3, dikarenakan banyaknya protes yang dilakukan oleh berbagai intitusi public.

Bahkan Presiden  mendorong masyarakat untuk melakukan uji materi terhadap UU MD3 melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Penolakan Presiden untuk menandatangani lembaran pengesahan UU MD3, seakan mencerminkan bahwa Presiden benar benar berpihak kepada masyarakat, dan seolah olah Presiden dalam hal ini pemerintah tidak bersetuju dan tidak tahu menahu terkait dengan UU MD3 tersebut.

Advertisment Presiden Jokowi, sebelumnya beralasan tidak mendapatkan penjelasan dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly , mengenai sejumlah pasal kontroversial dalam UU MD3. Akibatnya, Presiden baru mengetahui keberadaan pasal tersebut, setelah UU MD3 disahkan dan mendapat penolakan publik.

Sebenarnya bagi masyarakat, penolakan Penandatanganan lembaran pengesehan, UU MD3 yang dilakukan oleh Presiden, tidak lebih sebagai drama belaka. Karena masyarakat mengetahui, sejak awal proses penyusunan UU MD3 tersebut melibatkan pemerintah secara intensif. Dan lagi pula tanpa ditandatangani oleh Presiden, UU MD3 yang telah disahkan oleh DPR tetap akan berjalan.

Mustahil rasanya,  jika Yosanna Laoly, Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkum Ham), selaku perwakilan dari pemerintah,  dalam mengikuti pembahasan UU MD3 bersama DPR, tidak melaporkan kepada Presiden selaku atasannya, tentang adanya pasal pasal controversial didalam UU MD3 yang sedang dibahas.

Karena bagaimanapun,  jauh sebelum UU MD3 dibawas telah muncul wacana, tentang adanya pasal pasal controversial, yang sipatnya memberikan imunitas dan kekuasaan terhadap MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Munculnya pasal pasal controversial itu, telah mulai terlihat didalam kasus Setya Novanto (Setnov), Ketua DPR RI yang terlibat kasus dugaan korupsi dana proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik(e-KTP).

Waktu itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melayangkan surat pemanggilan terhadap Setnov untuk diperiksa dalam kasus tersebut.  Namun dengan berbagai alasan Setnov menapik surat pemanggilan yang dilayangkan oleh KPK.

Alasan yang disampaikan oleh Setnov terhadap pemanggilan dirinya, harus terlebih dahulu adanya izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Dan terakhir pemanggilan Setnov selaku Ketua DPR RI harus melalui izin tertulis dari Presiden.

Dan benar saja, alasan alasan yang diketengahkan oleh Setnov itu,  masuk dan terurai didalam UU MD3. Ditambah lagi dengan pasal pasal yang membuat DPR menjadi kebal terhadap kritikan.

Ada tiga pasal didalam UU MD3 yang melahirkan controversial ditengah tengah public. Salah satu diantaranya pada Pasal 73 , ditambahkan   prasa " wajib "  bagi Polisi membantu, memanggil paksa semua pihak yang diperiksa DPR, tetapi enggan untuk datang.

Pasal 122 huruf k mengatur Mahkamah Kehormatan Dewan, bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain,  terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan Anggota DPR.

Kemudian  Pasal 245 yang mengatur , anggota DPR tidak bisa dipanggil aparat hukum , jika belum mendapat pertimbangan dari MKD dan Izin tertulis dari Presiden. Dan kiinginan ini telah lama didengung dengungkan oleh Setnov ketika tersandung kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP.

Lempar Batu Sembunyi Tangan :

Apa yang dilakukan oleh Pemerintah dalam penolakan terhadap penandatanganan lembaran pengesahan UU MD3, dan mendorong public untuk melakukan uji materi ke MK. Bukanlah mencerminkan sikap pemerintah yang bertanggungjawab terhadap rakyatnya.

Pemerintah dalam hal ini Presiden, seharusnya tidak melakoni pribahasa "Lembar Batu Sembunyi Tangan". Akan tetapi harus bersikap bijak dan bertanggungjawab. Bukan harus mendorong public untuk melakukan uji materi terhadap UU MD3 ke MK. Karena tanpa didorongpun public tetap akan melakukan uji materi itu.

Presiden seharusnya bukan mendorong public untuk melakukan uji materi, yang akan berbebturan dengan DPR, tapi melainkan Presiden harus dapat untuk bersikap tegas, dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu), untuk mengoreksi sejumlah pasal controversial didalam UU MD3.

Dengan adanya Perppu untuk mengoreksi pasal pasal yang dinilai controversial didalam UU MD3, bukan berarti pemerintah tunduk terhadap tekanan masyarakat. Tapi melainkan adanya Perppu tersebut, setidaknya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya cukup besar. Dan ini perlu untuk menjadi perhatian pemerintah Jokowi.

Menjaga Marwah Lembaga Negara :

Adanya UU MD3, yang bertujuan untuk memperkuat kedudukan dan posisi lembaga DPR dan anggotanya,  bukan merupakan hal yang ditantang oleh masyarakat. Sebagai rakyat kita juga harus menjaga marwah dan kehormatan DPR dan anggotanya, karena DPR adalah Lembaga Negara yang harus dihormati.

Anggota DPR, adalah putra terbaik bangsa yang dipilih oleh rakyat, sebagai wakil untuk menyuarakan aspirasi rakyat yang memilih dan yang diwakillinya. Sebagai rakyat yang telah memilih wakilnya, juga harus menghornatinya. Akan tetapi anggota DPR juga harus sadar. Karena tanpa dipilih oleh rakyat,  maka dia tidak akan duduk dilembaga Negara yang bernama DPR.

Seharusnya dengan posisi sebagai wakil rakyat, anggota DPR tidak perlu merasa takut terhadap keritikan yang disampaikan oleh rakyat. Karena keritikan yang disampaikan oleh rakyat kepada wakilnya, akibat kinerjanya tidak beres. Maka wajar saja jika rakyat melakukan keritikan.

Apa lagi keritikan belum tentu merupakan penghinaan, yang dapat menjatuhkan marwah , martabat dan harga diri anggota DPR. Keritikan membangun memang perlu untuk dilakukan, agar anggota DPR tidak larut dengan kinerjanya yang jelek.

Maka oleh karena itu,  anggota DPR harus legowo dalam menerima setiap keritikan. Bukan harus membentengi diri, dengan melahirkan peraturan dan undang undang yang tidak disukai oleh rakyat. Mengutip apa yang dikatakan oleh Mustofa Bisri (Gusmus), " membuat untuk menjadi terhormat, bukan harus menciptakan peraturan dan undang undang ". Semoga!

Tanjungbalai,   8   April  2018

                                                                                                                  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun