Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPK Kembali Panggil Setnov, Setnov Adukan Pimpinan KPK Ke Polisi

8 November 2017   23:19 Diperbarui: 8 November 2017   23:33 1224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadwalkan pemanggilan terhadap Setya Novanto (Setnov) selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI) sebagai saksi tersangka dugaan korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) Direkur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo.

            Pemanggilan Setnov yang dilakukan oleh KPK merupakan pemanggilan pertama, setelah Setnov memenangkan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka terhadap dirinya oleh KPK. Dan pemanggilan yang kesekian  kali, sejak dari terungkapnya kasus dugaan mega korupsi proyek pengadaan e-KTP, yang ditengarai merugikan Negara sebesar Rp 2,3 Triliyun.

            Dari beberapa kali pemanggilan yang dilakukan oleh KPK, tidak satupun yang dipenuhi oleh Setnov. Ketika Setnov dinyatakan sebagai tersaka dalam kasus dugaan mega korupsi Proyek Pengadaan e-KTP, KPK melayangkan dua kali surat panggilan kepada Setnov, namun itupun tidak diindahkan oleh Setnov.

            Setnov malah melakukan perlawanan hukum terhadap penetapan dirinya sebagai tersangka, dengan melakukan praperadilan. Dalam pemanggilan dirinya sebagai tersangka, Setnov mengirimkan surat via pimpinan DPR untuk disampaikan kepada KPK. Isi surat tersebut meminta agar KPK menangguhkan pemeriksaan dirinya sebagai tersangka kasus dugaan mega korupsi proyek pengadaan e-KTP, dengan alasan karena pihaknya melakukan praperadilan terhadap penetapan dirinya sebagai tersangka.

            Walaupun KPK telah menerima surat Setnov via pimpinan DPR yang ditandatangani oleh Fadli Zhon, akan tetapi KPK tidak terpengaruh dengan surat tersebut, KPK pun kembali melayangkan surat pemanggilan yang kedua. Untuk pemanggilan yang kedua inipun Setnov tetap mangkir dengan alasan bahwa dirinya sedang sakit dan dirawat dirumah sakit. Untuk mengantar surat keterangan sakit ini kekantor KPK dilakukan oleh Pengurus DPP Partai Golkar, yakni Sekretaris Jendral (Sekjend) Partai Golkar Idrus Marham.

            Dengan seiiring jalannya waktu, proses persidangan praperadilan yang diajukan oleh Setnov dilakukan dipengadilan negeri Jakarta Selatan, dengan hakim tunggal Cepi Iskandar. Pada akhir persidangan Hakim tunggal Cepi Iskandar memenangkan gugatan praperadilan Setnov dengan pertimbangan hukum Bahwa berkas perkara yang telah digunakan kepada tersangka lain tidak boleh digunakan untuk dijadikan sebagai barang bukti terhadap tersangka yang berikutnya.

            Keputusan yang diberikan oleh Hakim Cepi dalam memenangkan gugatan praperadilan yang diajukan oleh Setnov jelas mengundang tanda tanya, dan membuat dunia peradilan ditanah air menjadi gaduh. Pendapat demi pendapat muncul kepermukaan, pakar hukum pidanapun menuduh jika putusan Hakim Cepi dengan  pertimbangan hukum yang dinilai aneh, mengatakan putusan yang diambil oleh Hakim Cepi adalah merupakan putusan hukum yang sesat.

            Waluapun demikian semua pihak, termasuk KPK yang kalah dalam praperadilan yang diajukan oleh Setnov tetap menghormati keputusan pengadilan. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, KPK tetap akan mencari barang bukti lain yang melibatkan Setnov dalam kasus dugaan mega korupsi proyek pengadaan e-KTP. Dua hari kemudian setelah keputusan praperadilan memenangkan gugatannya, Setnov kemudian dinyatakan sudah sembuh dari sakitnya dan diperbolehkan untuk pulang.

            Dari gonjang ganjing terhadap keputusan yang diberikan oleh Hakim Cepi Iskandar, muncul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor perkara : 42/PUU-XV/2017, terkait dengan alat bukti untuk menjerat tersangka.

            Dalam pertimbangan hukum yang diambil oleh MK, menyatakan penyidik aparat penegak hukum bisa/dapat menggunakan alat bukti yang telah dipakai pada perkara sebelumnya untuk menjerat tersangka yang memenangkan praperadilan. Namun alat bukti tersebut harus disempurnakan.

            Kemungkinan berpedoman kepada keputusan MK inilah, KPK kembali memanggil Setnov sebagai saksi untuk dimintai keterangannya. KPK melayangkan surat pemanggilan itu  kepada Setnov Senin (6/11/2017. Untuk pemanggilan inipun Setnov tidak juga menghadirinya, malah Setnov melalui Sekjend DPR RI melalui Suratnya meminta KPK agar terlebih dahulu mengantongi izin dari Presiden memanggil Setnov sebagai Ketua DPR RI.

            Isi dari surat Sekjendd DPR RI itu berbunyi : Maka dengan tidak menguruangi ketentuan yang ada, pemanggilan terhadap Setya Novanto dalam jabatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI dapat dipenuhi syarat persetujuan tertulis dari Prersiden RI terlebih Dahulu sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku termasuk penyidik KPK. Seperti yang dikutip oleh Kompas .com.

            Berdasarkan Undang Undang Nomor : 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD UU MD3, pada Pasal 245 ayat (1), menyebutkan Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhaadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

            Kemudian berdasarkan Putusan MK Nomor 76 PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2014. Maka wajib hukumnya setiap penyidik yang akan memanggil anggota DPR RI harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden terlebih dahulu.

                Munculnya surat Sekjed DPR RI kepada KPK itu pun mengundang tawa. Karena Sekjend DPR RI dinilai kurang cermat dalam membaca putusan yang dikeluarkan oleh MK dan UU MD3. Karena dalam putusan itu MK menyatakan bahwa Pasal 245 ayat (1) UU MD3 itu tidak berlaku sepanjang dimaknai pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana khusus. MK saat itu tidak mengubah Pasal 245 ayat (3) yang menyatakan ketentuan ayat (1) tidak berlaku apa bila anggota DPR diduga melakukan tindak pidana khusus termasuk Korupsi.

Adapun Pasal 245 ayat (3) yang tidak turut dirobah oleh MK dalam keputusannya itu berbunyi : Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku apabila anggota DPR a, Tertangkap tangan melakukan tindak pidana, b Disangka melakukan tindak pidana kejahatan dengan diamcam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan Negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus. Karena Korupsi adalah merupakan tindak pidana khusus, maka tidak diperlukan izin dari Presiden.

Menanggapi isi surat Sekjend DPR RI kepada KPK, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan komentarnya dengan mengatakan KPK tidak perlu untuk meminta izin Presiden untuk melakukan pemeriksaan terhadap Setnov.

Karena KPK memiliki UU tersendiri, Masalah Setnov adalah masalah Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Itu tentu tidak perlu izin Presiden. JK pun meminta kepada Setnov untuk mematuhi panggilan KPK, Menurut JK Setnov sebagai Ketua DPR yang merupakan intitusi pembuat UU, seharusnyalah Setnov untuk mematuhinya.

Nasehat yang diberikan oleh Politisi senior Partai Golkar JK yang juga pernah menjadi Ketua DPP Partai Golkar dan sekarang menjabat sebagai Wakil Presiden itu, sedikitpun tidak menjadi bahan pertimbangan Setnov yang saat ini sebagai Ketua DPP Partai Golkar.

Malah Setnov mengadukan dua pimpinan KPK yakni Ketua KPK Agus Raharjo dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang kepada pihak Polisi dengan Tuduhan mengeluarkan surat palsu atas pencegahan dirinya keluar negeri. Dan hari ini Rabu 8/11/2017 Polri telah melayangkan Surat Permulaan Dilakukannya Penyidikan (SPDP) terhadap kedua pimpinan KPK ini.

Pengaduan Setnov kepada pihak Polri terhadap kedua pimpinan KPK, adalah merupakan perlawanan hukum terhadap KPK, yang menjadi pertanyaan nya sekarang, bagaimana KPK dalam menghadapi perlawanan hukum yang dilakukan oleh Setnov?, dan bagaimana pula sikap Polri dalam menghadapi pengaduan Setnov terhadap KPK?, apakah akan lahir kembali anekdot "Cicak Lawan Buaya?". Mari kita tunggu bersama hasilnya.

Tanjungbalai, 8 Nopember 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun