" Mbak Parni, saya buakannya tidak mau, tapi saya harus  memikirkannya terlebih dahulu ".
" Apa lagi yang sampean pikirkan, yang jelasnya sampean sudah mendengarkan pidato para tokoh dan kader Gerwani , apa lagi yang membuat sampean ragu ", Hartini berhenti melangkah, persimpangan menuju kearah pondoknya sudah berada didepannya.
" Baiklah kalau begitu Nafisah, sampean boleh mikir mikir dahulu. Tapi jika sampean sudah membulatkan hati dan tekad untuk masuk kedalam barisan Gerwani, sampean boleh untuk mengatakannya kepada kami ", Parni juga menghentikan langkahnya, karena keduanya berhenti melangkah, Nafisah juga melakukan hal yang sama, mereka berdiri bertiga didekat simpang arah rumah Hartini dan Parni.
" Ya, mbak, nanti akan saya kabari ".
" Ya, sampai jumpa besok dipekerjaan ", sahut hartini, keduanya lalu membelok kearah jalan menuju pondoknya, sementara Nafis melanjutkan langkahnya untuk menuju pondoknya. Mata hari sudah tidak terlihat lagi. Hanya warna merah tergaris dilangit senja yang tampak. Lampu lampu jalan diperkebunan itupun sudah dinyalakan. (Bersambung ..)
Cerita yang dikemas dalam bentuk novel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka. Jika ada nama dan tempat, serta kejadian yang sama, atau mirip terulas dalam novel ini. Itu hanyalah secara kebetulan saja. (Mohon Izin Bapak Adin Umar Lubis, Fhoto anda di Blogspot.com saya jadikan sebagai Beugrond dalam novel ini)
 Asahan, September  2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H