Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Orang-orang di Kebun Sawit (29)

31 Agustus 2017   19:00 Diperbarui: 31 Agustus 2017   23:16 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fhoto/Adin Umar Lubis

Sebelumnya baca disini

Suara deru sepeda motor terdengar dari kejauhan, walaupun orang yang mengenderainya belum terlihat, tapi para kuli cukup mengenali suara deru mesin sepeda motor itu. Para kuli tadinya bercerita berkelompok kelompok, kini mereka membubarkan diri dan masing masing kuli melakukan tugas pekerjaannya. Karena mereka tahu bahwa yang datang itu adalah mandor Sarmin. Hartini, Parni dan Sutinah memilih pekerjaan saling berdekatan agar mereka dapat untuk berbisik bisik.

Sampai dipembibitan, mandor Sarmin turun dari sepeda motornya, lalu mengitari lokasi pembibitan. Dengan angkuhnya mandor Sarmin memberi petunjuk kepada kuli. Kebiasaannya memegangi para kuli wanita, hari itu tetap dilakukannya. Nafisah melihat semua kelakuan mandor Sarmin, perasaannyapun tidak menentu.

" Sepertinya kau kurang tidur ?", tangan mandor Sarmin mencolek buah dada Nafisah. Nafisah hanya bisa pasrah. Hartini, Parni dan Sutinah memandang dari tempat kerjanya.

" Kenapa kau tidak bisa tidur, apakah kau membayangkan saya didalam tidurmu ?", tangan mandor Sarmin berpindah kearah wajah Nafisah, Nafisah tetap diam.

" Nafisah saya masih berlaku baik denganmu. Saya minta agar kau dengan suka rela mau menjadi gundik saya?", Nafisah tetap diam.

" Tetapi jika kau tidak mau menjadi gundik saya, saya akan melakukannya dengan kekerasan ", mandor Sarmin memukulkan tongkat rotan yang sering dibawanya keatas tanah. Nafisah tetap diam, dia tetap melakukan pekerjaannya.

" Hartini ! ", suara mandor Sarmin menggelegar, laksana petir disiang bolong ditelinga Nafisah.

" Kamu dipanggil tuan mandor ", Sutinah memberi tahu kepada Hartini. Para kuli memperhatikan kearah mandor Sarmin. Dilangit terik mata hari semakin menyengat, tidak ada tempat perlindungan para kuli, karena pembibitan masih ditumbuhi oleh pohon pohon sawit yang masih rendah.

Sama seperti nasib para kuli, mereka tidak pernah mendapatkan perlindungan, baik dari para petinggi perkebunan maupun tuan pemilik perkebunan. Para petinggi perkebunan dan mandor masing masing ingin untuk mempertahankan kekuasaan mereka terhadap para kuli. Sebagai kuli nasib mereka sama dengan pohon sawit yang mulai tumbuh, belum berdaun rindang, sehingga mereka hanya bisa berpasrah disiram sinar mata hari pagi yang terik.

Begitulah kekuasaan seorang mandor diperkebunan terhadap kulinya. Para kuli diperlakukan secara tidak manusiawi, walaupun mereka diberi gaji, tapi gaji yang mereka terima hanya bisa untuk membayar hutang, dan berikutnya mereka kembali berhutang. Mereka juga mendapatkan catu beras, tapi beras yang mereka terima dan mereka makan penuh dengan kutu. Ini menandakan beras catu yang diterima oleh para kuli berkualitas rendah. Cara kerja kuli tidak jauh beda dengan cara kerja rodi yang dilakukan oleh bangsa Kolonial jauh sebelum Indonesia merdeka.

Yang ironisnya kerja rodi yang dahulunya dilakukan oleh bangsa Kolonial terhadap bangsa jajahannya, tapi kini telah diambil alih oleh bangsa yang telah merdeka. Kerja rodi itu mereka terapkan pula kepada bangsanya sendiri. Sedikitpun bangsa sendiri yang memiliki jabatan dan kekuasaan tidak mempunyai perasaan dan hati nurani terhadap bangsanya sendiri yang menjadi kuli diperkebunan. Para kuli hanya bisa berpasrah diri terhadap kekuasaan itu.

Sedangkan para petinggi dan mandor, hidup mereka dengan berkecukupan, setiap gajian kecil maupun besar, mereka pergi kekota untuk mencari kesenangan, mendatangi tempat tempat pelacuran dan rumah rumah minum yang menjual minumam beralkohol. Rumah rumah judi untuk menghabiskan uangnya.

Walaupun gaji mandor tidak begitu besar, tapi setiap bulannya, dia menerima upeti dari para kuli. Jika tidak diberi maka sang mandor akan menunjukkan kekuasaannya dengan memberikan pekerjaan pekerjaan yang berat, yang semestinya tidak dikerjakan oleh manusia. Agar tidak mendapatkan pekerjaan yang berat maka para kuli dengan terpaksa harus menyisihkan sedikit dari gaji yang mereka terima untuk diberikan kepada sang mandor.

Sulit bagi bangsa yang telah merdeka ini untuk melepaskan jerat dari pengutipan pengutipan liar yang dilakukan oleh orang orang yang berkuasa terhadap orang orang yang lemah yang membutuhkan kehidupan. Sampai kapanpun pengutipan pengutipan liar yang dilakukan oleh orang orang yang berkuasa dinegeri ini akan tetap berlanjut, sampai keanak cucu mereka. Namun yang ironisnya korban korban dari pengutipan liar yang dilakukan oleh orang orang yang berkuasa itu adalah rakyat kecil yang lemah.

" Iya, tuan mandor ",  mandor Sarmin melambaikan tangannya, dengan tergesa Hartini mendatangi mandor Sarmin.

" Nafisah, sekarang Hartini ada didepan kamu, saya akan tanya kepadanya, kamu harus mendengarkannya baik baik ", tongkat rotan ditangan mandor Sarmin diarahkannya kewajah Nafisah. Muka Nafisa pucat seketika.

" Ada apa tuan mandor?",  dengan genitnya Hartini mendekati mandor Sarmin.

" Apakah sampean telah menjalankan tugas yang saya perintahkan?", tangan mandor Sarmin meremas buah dada Hartini, dengan suara yang dibuat buat Hartini mendesah.

" Tugas apakah itu tuan mandor ?", tangan Hartini memegang tangan mandor Sarmin yang berada dibuah dadanya, Hartini seakan akan tidak ingin tangan itu terlepas dari buah dadanya.

" Tugas untuk mengajari Nafisah bagaiman cara cara untuk melayani mandornya ini", tampa melepaskan tangannya mandor Sarmin menarik tubuh Hartini lebih merapat.

" Oh, yang itu tuan mandor ".

" Ya ", Hartini semakin merapatkan tubuhnya.

" Sudah tuan mandor, tapi Nafisahnya yang tidak mau ", senyum Hartini merekah memandang Nafisah. Nafisah merasa jijik melihat pemandangan ini.

Pada hal sepatah katapun tidak pernah disampaikan oleh Hartini kepadanya. Nafisah tahu kalau saat ini Hartini sedang menyudutkannya dihadapan mandor Sarmin.

" Oh, begitu ya ", wajah mandor Sarmin terlihat merah. Dia merasa terhina atas apa yang dilakukan oleh Nafisah.

" Iya, tuan mandor, begitukan Nafisah ", Hartini memaksakan kehendaknya agar Nafisah mengakuinya. Tapi Nafisah tetap diam, dalam hati Nafisah seribu kebenciah terhadap mandor Sarmin dan Hartini tersemat disana, tapi dia tidak mampu untuk membalaskan kebecian itu.

" Betul seperti itu ?", tongkat rotan yang ada ditangannya dihentak hentakkannya keatas tanah.

" Ya, tuan mandor " , Hartini dengan gerakan kegenitan memeluk tubuh mandor Sarmin.

Perasaan mandor Sarmin bagaikan terbakar disulut api, angin yang berhembus dari pepohonan sawit yang berada disekitar tempat pembibitan, rasa tidak mampu untuk memadamkan api yang menyala didalam hati mandor Sarmin. (Bersambung...)

Cerita yang dikemas dalam bentuk novel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka. Jika ada nama dan tempat, serta kejadian yang sama, atau mirip terulas dalam novel ini. Itu hanyalah secara kebetulan saja. (Mohon Izin Bapak Adin Umar Lubis, Fhoto anda di Blogspot.com saya jadikan sebagai Beugrond dalam novel ini)

 Asahan, Agustus 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun