" Ya ", Hartini semakin merapatkan tubuhnya.
" Sudah tuan mandor, tapi Nafisahnya yang tidak mau ", senyum Hartini merekah memandang Nafisah. Nafisah merasa jijik melihat pemandangan ini.
Pada hal sepatah katapun tidak pernah disampaikan oleh Hartini kepadanya. Nafisah tahu kalau saat ini Hartini sedang menyudutkannya dihadapan mandor Sarmin.
" Oh, begitu ya ", wajah mandor Sarmin terlihat merah. Dia merasa terhina atas apa yang dilakukan oleh Nafisah.
" Iya, tuan mandor, begitukan Nafisah ", Hartini memaksakan kehendaknya agar Nafisah mengakuinya. Tapi Nafisah tetap diam, dalam hati Nafisah seribu kebenciah terhadap mandor Sarmin dan Hartini tersemat disana, tapi dia tidak mampu untuk membalaskan kebecian itu.
" Betul seperti itu ?", tongkat rotan yang ada ditangannya dihentak hentakkannya keatas tanah.
" Ya, tuan mandor " , Hartini dengan gerakan kegenitan memeluk tubuh mandor Sarmin.
Perasaan mandor Sarmin bagaikan terbakar disulut api, angin yang berhembus dari pepohonan sawit yang berada disekitar tempat pembibitan, rasa tidak mampu untuk memadamkan api yang menyala didalam hati mandor Sarmin. (Bersambung...)
Cerita yang dikemas dalam bentuk novel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka. Jika ada nama dan tempat, serta kejadian yang sama, atau mirip terulas dalam novel ini. Itu hanyalah secara kebetulan saja. (Mohon Izin Bapak Adin Umar Lubis, Fhoto anda di Blogspot.com saya jadikan sebagai Beugrond dalam novel ini)
 Asahan, Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H