Fhoto/Riu Dayli Fhoto.com
       Terungkapnya kasus dugaan mega korupsi dana proyek pembuatan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E_KTP), dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 5,9 Triliyun, merupakan bukti bahwa dana APBN masih menjadi bancakan oleh segenap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
      Menurut pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berdasarkan hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ditengarai terdapat kerugian Negara sebesar Rp 2,3 Triliyun. Hal ini merupakan nilai korupsi yang cukup aduhai dan fantastis.
      Wajar saja jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) merasa kesal, akibat terjadinya korupsi proyek pengadaan E_KTP. Jokowipun mengeluarkan unek unek atas kekesalannya “ Hanya untuk merobah KTP dari kertas menjadi Pelastik menghabiskan uang Negara sebesar Rp 5,9 Triliyun. Dan setengahnya dikorupsi oleh orang orang yang tidak bertanggungjawab “, Ujar Jokowi.
      Kasus dugaan korupsi E_KTP yang melibatkan banyak nama besar di Indonesia, dimana tercatat ada sekitar tujuh puluh nama yang terlibat didalamnya, baik dari kalangan Anggota DPR, Pejabat Negara dan Pengusaha, berdasarkan dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa KPK, membuktikan bahwa dana APBN sering dijadikan bancakan oleh para pemangku kepentingan.
      Celah dana APBN dijadikan bancakan, memang terbuka lebar, dan ini dimamfaatkan oleh orang orang yang mempunyai akses terhadap dana tersebut. Banyak kasus korupsi yang ditangani oleh KPK hampir 80 % adalah kasus korupsi dana APBN.
      Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengatakan, penyalah gunaan anggaran terjadi karena pemerintah dan DPR tidak menjalankan perannya dengan benar. Pemerintah adalah pihak yang mengajukan pelaksana anggaran. Sementara DPR menyetujui serta mengawasi anggaran.
      Dalam pembahasan anggaran memang terjadi perdebatan, akan tetapi perdebatan itu sifatnya politik anggaran. Setelah anggaran disetujui, peran DPR untuk melakukan pengawasan terhadap dana APBN itu berjalan, tidak pernah benar benar terjadai. Inilah yang menjadi peluang dana APBN itu dijadikan bancakan. (DetikFinance:10/32017).
Apa yang dikatakan oleh Direktur Indef itu, adalah merupakan suatu kenyataan. Dalam setiap pembasahan dana APBN sering terjadi tarik ulur antara pihak Pemerintah selaku pengaju anggaran dengan  pihak DPR selaku pembuat keputusan apakah anggaran tersebut dapat diterima atau tidak. Maka terjadilah tawar menawar antara pihak Pemerintah dengan pihak DPR.
Tawar menawar anggaran tidak saja terjadi terhadap dana APBN, tapi juga kerap terjadi terhadap dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ditingkat Provinsi, kota dan Kabupaten. Dalam tawar menawar itulah terjadinya banjakan .
Area paling rawan dalam dana APBN dan APBD adalah ketika, adanya proyek yang bersipat kontrak tahun jamak. Anggarannya cenderung membengkak karena tidak ada standart biaya minimum outcome yang jelas dalam penganggaran. Disamping outputnya yang tidak terdevenisi, apakah anggaran proyek itu bermamfaat bagi rakyat atau tidak.
Disinilah adanya ruang dan peluang untuk melakukan transaksional, antara pihak pengaju anggaran dengan pihak pemutus diterima atau tidaknya anggaran yang diajukan. DPR selaku lembaga  mensetujui angaran, tentu memainkan peranannya. Untuk mensyahkan anggaran yang diajukan itu, DPR tentu meminta bagiannya.
KPK Dibonsai :
Aroma bancakan yang mulai tercium KPK, membuat para peserta perhelatan korupsi mulai merasa terganggu. Jambar bancakan korupsi mulai diobok obok oleh tangan KPK. Satu persatu para peserta perhelatan bancakan mulai dicokok oleh KPK. Walaupun demikian perhelatan bancakan itu masih tetap berlangsung.
Para peserta perhelatan bancakan, yang masih memiliki taring, tidak tinggal diam. Berbagai upaya mereka lakukan untuk menumpulkan kuku tajam yang dimiliki oleh KPK. Agar perhelatan bancakan tetap berjalan lancar, upaya membonsai KPKpun mulai dilakukan.
Menumpulkan kuku KPK, bukan hanya disaat terungkapnya kasus mega korupsi dana proyek pengadaan E_KTP, tapi melainkan sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, disaat KPK gencar gencarnya melakukan pemberantasan korupsi yang melibatkan para petinggi Negara dan DPR.
Nasib KPK tak lepas dirundung malang. Mulai dari Antasari Azhar, sampai kepada Abraham Samad dikriminalisasi dengan dalih kasus hukum. Nasib malang yang mendera KPK tidak hanya sampai pada kasus hukum para pimpinan KPK, tapi melainkan ada upaya yang dilancarkan oleh DPR untuk melakukan revisi Undang Undang KPK, dengan dalih untuk memperkuat KPK.
Salah satu dari isi draf revisi Undang Undang itu adalah mengurangi wewenang KPK, kemudian membatasi jumlah minimal  nilai korupsi. Dari Rp 1 Milyar menjadi Rp 50 Milyar. Dibawah Rp 50 Milyar nilai korupsi, KPK tidak berhak untuk mengusutnya. Dan yang paling tragis adalah memberikan batas usia KPK hanya 12 tahun. Setelah itu KPK dibubarkan. Karena KPK adalah lembaga Ad hoc.
Pembatasan usia KPK jelas merupakan pembonsaian terhadap lembaga anti rasuah. Pada saat ini kehadiran KPK sebagai garda terdepan dalam memerangi korupsi masih sangat diperlukan, mengingat bahwa Indonesia berdasarkan Indeks Prespsi Korupsi (IPK) sudah diatas 90 %, KPK baru dibubarkan apa bila IPK Indonesia sudah setara dengan Negara yang paling bersih dari korupsi seperti Denmark dan Selendia baru. Itupun kedua Negara ini masih tetap memilIki lembaga anti korupsi.
Dalam konsteks seperti ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah setelah usia KPK 12 tahun, dihitung dari sejak diberlakukannya revisi  Undang Undang itu, Indonesia sudah bebas dari korupsi?. Tentu tidak ada yang dapat untuk menjaminnya.
Sedangkan disaat KPK tengah seriusnya melakukan pemberantasan terhadap korupsi, belum terlihat adanya efek jera, bagi para pelaku korupsi. Terbukti masih banyaknya para petinggi Negara/daerah dan anggota DPR/DPRD yang tetap melakukan korupsi. Konon pula jika KPK telah dipensiunkan.
Cara Bijak Bagi DPR :
Seharusnya DPR mempunyai pandangan bijak dalam hal mengeluarkan pendapatnya. KPK sebagai lembaga Ad Hoc, tidaklah permanen, dan sewaktu waktu KPK dapat untuk dibubarkan, akan tetapi pembubaran KPK haruslah dikaji secara mendalam, apakah disaat Negara sedang dirongrong oleh pelaku korupsi, lantas KPK dibubarkan?
DPR seharusnya memperjuangkan terlebih dahulu terhadap pembenahan penegakan hukum dinegera ini, diluar dari pada KPK. Perlunya pembenahan terhadap lembaga hukum seperti Polisi, Kejaksaan dan Pradilan, karena ketiga lembaga ini sudah tidak dipercayai lagi oleh rakyat Indonesia dalam melakukan pemberantasan korupsi. Malah ketiga lembaga hukum ini turut bermain dalam kasus korupsi.
Berapa banyak para petinggi Polri, kejaksaan dan hakim yang terjerat kasus korupsi yang ditangani oleh KPK. Ini adalah suatu bukti dan fakta yang tidak terbantahkan, bahwa KPK lebih bersih dari ketiga intitusi hukum ini dalam hal keterlibatan pada korupsi.
Jika DPR mampu untuk melakukan pembenahan terhadap ketiga intitusi hukum ini, agar ia dapat setara dengan KPK, barulah KPK dibubarkan. Revisi Undang Undang KPK tidak perlu untuk dilakukan secara buru buru.
Pembenahan terhadap ketiga intitusi hukum ini, akan menjadi tolak ukur bagi kinerja dan niat baik DPR dalam upaya peningkatan fungsi dan peran penegak hukum. Jika ini tidak dibuktikan terlebih dahulu, maka rakyat akan menuduh bahwa revisi Undang Undang No : 30 tahun 2002 Tentang KPK, adalah sebagai upaya untuk melemahkan KPK.
Akan tetapi jika Polri, Kejaksaan dan lembaga peradilan sudah menjalankan tugas mereka dengan baik, barulah KPK dibubarkan. Itupun akan lebih bijaksana bila terjadi secara fungsional. Peran KPK akan purna karena memang sudah berhasil mewujudkan pendelegasian kewenangan Pemberantasan Korupsi kepada lembaga lain. Bukan mati karena pelemahan yang disengaja. Karena hal itu tidak akan pernah bisa diterima oleh public.
Disinilah letak kedewasaan  para anggota legeslatif dipertaruhkan dalam mengelola negari ini. Karena kehadiran mereka dilembaga legeslatif adalah sebagai wakil rakyat yang telah memilih mereka. Sebagai wakil rakyat mereka seharusnya menyuarakan suara rakyat. Rakyat saat ini tidak menghendaki KPK dilemahkan, apa lagi dibubarkan. Ini perlu untuk diingat oleh segenap anggota DPR. Semoga !.
                     Tanjungbalai, 9 April 2017
#kerang_60@yahoo.com#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H