Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyikapi UU ITE dengan Kata Maaf

18 Desember 2016   01:24 Diperbarui: 18 Desember 2016   13:55 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang paling anyar dalam kasus ini adalah, kasus Buni Yani, yang dijerat dengan pasal 28 ayat (2) UU ITE. Buni Yani dijerat dengan pasal tersebut, karena pihak BuniYani telah mengunggah video Gubernur non-aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menyitir Surat Al Ma’idah (51) dalam kunjungannya di kepulauan seribu.

Akibat dari postingan Buni Yani di akun Fesbooknya, mengundang kegaduhan nasional, karena Organisasi Keagamaan Islam dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa keberatan dengan sitiran Surat Alma’idah yang dilakukan oleh Ahok. Mereka menduga Ahok telah melakukan penistaan terhadap agama dan ulama. Dan kasus Ahokpun terus bergulir ke ranah hukum.

Dari beberapa kasus dengan menggunakan UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE akhirnya mengundang polemik antara pro dan kontra. Ada yang berpendapat dengan adanya UU ITE orang tidak sembarangan lagi untuk melontarkan pendapat. Keluh kesah dan kritikan di medsos. Namun tidak sedikit pula yang menuduh bahwa UU ITE, merupakan pembungkaman terhadap kebebasan, untuk menyampaikan pendapat, keluh kesah dan kritikan di medsos.

Karena dengan adanya UU ITE, menjadi alat bagi penguasa, dan pemegang kekuasaan untuk menjerat orang orang yang tidak sepaham dengannya, sehingga orang tidak akan berani lagi untuk melakukan kritikan, sekalipun kritikan yang dilontarkan melalui medsos adalah kritikan yang sifatnya membangun.

Ala Gusmus 
Namun tidak semua orang bisa bersifat tawaduk, memberikan aaif (maaf) kepada orang yang telah melakukan kesalahan kepada dirinya, apa lagi menghina dan mencemarkan nama baiknya. Karena bagi sebahagian orang kata maaf sudah begitu mahal melebihi harga emas. Tapi berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Kiyai Mustapa Bisri (Gusmus) pengasuh Pondok Pesanteren Raudlatut Thalibin Rembang, Jawa Tengah. Di tengah penghinaan dan pencemaran nama baiknya, yang dilakukan oleh seseorang melalui medsos, akan tetapi Gusmus tidak lantas mengambil langkah mengadukan orang yang menghinanya kepada pihak Polri dengan menggunakan UU ITE. Tapi Gusmus malah memberikan maafnya kepada orang yang menghinanya.

Apa yang dilakukan oleh Gusmus memang tidak semua orang dapat menerimanya, terlebih bagi orang yang memiliki kekuasaan dan harta yang melimpah, yang lebih mengutamakan harga diri ketimbang dari pada kata maaf. Karena belakangan ini kita sering melihat banyaknya pihak yang melaporkan para netizen kepada pihak Kepolisian, karena dalam postingannya membuat ada pihak yang merasa terluka dan terhina.

Jika apa yang dilakukan oleh Gusmus dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak, lebih mengutamakan maaf daripada harus menggunakan UU ITE, terlebih bagi pejabat publik, penguasa dan pengusaha tentu semua pihak akan merasa nyaman dan tenteram. Semoga!

Tanjungbalai, 17 Desember 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun