“ Kuharap kepadamu isteriku, hanya kematianlah yang nantinya memisahkan kita, Azis mencium kepala Meilan, begitu wanginya bau rambut Meilan. Angin yang berhembus lembut dari selat Melaka menyusup memasuki ruangan kamar lewat jendela yang terbuka.
Azis melepaskan pelukannya. Untuk memberikan kesempatan kepada Meilan berganti pakaian. Suara mesin perahu nelayan, sayup sayup melintas dikesunyian malam, bintang dilangit yang bertaburan cahayanya memancar menyentuh permukaan laut selat Melaka.
“ Suamiku berpalinglah sejenak keluar jendela, agar isterimu ini bisa dengan leluasa berganti pakaian “.
“ Kenapa mesti berpaling, bukankah kau telah menjadi milikku. Kau adalah perhiasanku, dan tidak ada salahnya pula jika aku ingin melihat perhiasanku itu”. Azis menatap Meilan. Meilan masih tetap berdiri disisi pembaringan.
“ Tapi aku masih merasa malu suamiku, jika kau melihat aku tanpa sehelai benang. Wajhnya bersemu merah ketika mengucapkan kata kata itu, dan membuat dia nampak lebih cantik dimata Azis.
“ baiklah isteriku jika kau masih malu dengan suamimu dalam keadaan tampa sehelai benang. Biarlah aku berpaling sejenak, tapi jangan lama lama ya sayang?, jangan sampai suamimu ini tersiksa oleh hembusan angin malam selat Melaka”. Azispun memalingkan wajahnya keluar jendela. Dikejauhan ditengah selat Melaka tampak kerlap kerlip lampu perahu para nelayan yang dipermainkan ombak.
Satu demi satu pakaian yang melekat ditubuh Meilan dilepaskannya. Ia masih tetap berdiri disisi tempat tidur dalam keadaan tanpa sehelai benang. Diambilnya selimut yang ada dipembaringan itu, lalu dibalutkannya keseluruh tubuhnya. Kemudian diapun merebahkan dirinya diatas pembaringan.
Azis yang masih mengarahkan pandangannya ketengah laut selat Melaka, tiba tiba dia teringat dengan kedua orang tuanya. Ayahnya mati dibunuh, sementara ibunya meninggal tampa sempat dilihatnya. Kalau seandainya mereka masih hidup, tentu mereka juga akan merasakan kebahagian yang dirasakan oleh putranya ini.
Siapakah sebenarnya yang membunuh ayahku. Katanya bertanya dalam hatinya. Tapi apakah aku perlu lagi untuk mencari siapa pembunuhnya?. Bukankah Apek Tonghi gurunya telah mengatakan tidak baik untuk menyimpan dendam, karena dendam tidak akan menyelesaikan permasalahan. Tapi ia akan terus berputar bagaikan rotasi pada sumbunya. Dan dendam itu akan melahirkan dendam baru pula, yang akhirnya tidak pernah selesai.
Lalu siapakah Apek Baktong. Kenapa aku harus bertanya kepada Apek Baktong seperti yang dikatakan oleh papanya Meilan. Sementara aku sendiri tidak tahu keberadaan Apek Baktong, dan apa pula kaitannya dengan kematian ayahku. Apakah aku harus bertanya kepada Meilan siapa Apek Baktong itu dan dimana dia berada. Sampai sini lamunan Azis membuyar karena Meilan menegurnya.
“ Suamiku, berpalinglah kearahku, dan tutuplah jendela itu, aku sudah selesai berganti pakaian”. Azis memalingkan wajahnya kearah Meilan. Ternyata Meilan bukannya berganti pakaian tapi melainkan tengah berbaring ditempat tidur, tubuhnya dibalut oleh selimut. Azis menutup jendela itu. Ia melangkah menghampiri Meilan yang sedang berbaring ditempat tidur. Dalam hatinya berkata saat ini dia tidak akan menanya tentang Apek Baktong. Karena ia takut pertanyaannya itu akan mencabik rasa kebahagiaan yang sedang dinikmati oleh Meilan.