Sebelumnya :
Tapi pada sisi lain Azis mengakui, semua itu terjadi adalah karena takdir yang dijalaninya, disamping dia sendiri tidak mampu untuk melawan hawa nafsu yang menguasai hatinya. Perjalanannya untuk menuju kampung halamannya masih panjang, bagaikan jalan tidak ada ujungnya. Diparkirkannya mobilnya dihalaman sebuah mesjid, lalu ia berudhuk, kemudian melakukan sholat, agar jiwanya terasa tenang.
Kemudian :
Setelah ia menempuh perjalanan lima belas jam, ia sampai di kota Bagan Siapi Api. Untuk sampai kekampung halamannya ditepian selat Melaka di Sinabo,i dia harus menempuh perjalanan satu jam lagi. Ia berputar putar di kota Bagan Siapi Api. Kemudian mobilnya berhenti didepan sekolah SMA Negeri kota Bagan Siapi Api. Ia melihat sekolah itu belum berobah, hanya saja tampak baru dicat dengan cat yang baru.
Dia teringat dengan teman temannya yang dahulu sama sama bersekolah ditempat ini. Dia teringat dengan Robet, Idris dan faisal. Dimanakah mereka sekarang setelah mereka menamatkan sekolahnya. Ingatannya menerawang jauh kepada Marlina, yang sempat mengecup bibirnya dikantin sekolah. Apakah dia melanjutkan sekolahnya, ataukah dia sudah menikah. Katanya dalam hatinya.
Lalu bagaimana dengan Mailan, orang yang selalu mengetuk ngetuk pintu hatinya. Gadis keturunan Tiongkok yang begitu agresip, hatinya yang begitu baik terhadapnya. Meme kakak sepupu Meilan, yang juga punya perhatian terhadap dirinya. Semua itu bermain dibenak hati Azis.
Jam Sembilan malam, Azis memarkir mobilnya didepan rumahnya di Sinaboi. Ia melihat rumah itu terkunci dari luar, kemana gerangan ibu dan adik adiknya. Lama dia duduk diteras rumah itu. Ada rasa keinginanya untuk bertanya kepada tetangganya, tapi niatnya itu ia urungkan. Iapun memasang rokoknya lalu mengisapnya dalam dalam.
Dari kejauhan kedua adiknya yang baru pulang mengaji di Mushollah melihat ada mobil yang parkir didepan rumah mereka. Sementara diteras rumah mereka melihat seseorang sedang duduk mengisap rokok, timbul rasa kecurigaan mereka, siapakah yang sedang duduk diteras rumahnya itu.
Dengan mengendap endap keduanyapun mendekati rumah, dan mereka memperhatikan laki laki yang duduk diteras rumah mereka. Lama mereka memperhatikannya, mereka mengingat ingat wajah orang nyang duduk diteras rumah itu.
“ Sasa, mungkin itu bang Azis?”, Kata Salmi kakaknya.
“ Iya itu bang Azis”, Sahut Sasa pula
“ Tapi kok ada mobil didepan rumah?”, Tanya Salmi
“ Mungkin mobil bang Azis?”. Jawab Sasa. Kedunyapun memberanikan diri untuk mendatangi laki laki yang duduk diteras rumah mereka itu. Azis begitu melihat kedua adiknya ini langsung berdiri dan memeluk mereka.
“ Sal mana ibu?”, Tanya Azis. Tidak ada jawaban dari kedunya. Salmi dan Sasa malah menumpahkan tangisnya dipelukan abangnya ini. Detak hati Azis seperti member isyarat yang tidak enak.
“ Kenapa kalian menangis, aku menanya ibu, kemana ibu?”. Tanya Azis lagi dia mengelus elus kepala kedua gadis kecil itu.
“ Ibu sudah lama meninggal bang?”. Azis terdiam, ia tidak mampu berkata kata. Matanya mulai meneteskan bulir bulir air bagaikan salju. Salmi melepaskan pelukannya dari Azis dia membukakan pintu buat abangnya ini.
Azis melangkah memasuki rumah, dilihatnya kamar yang biasa ditempati oleh ibunya, kini telah kosong, yang ada hanya dipan yang beralaskan tikar pandan, dilihatnya kamar yang biasa ditempatinya, yang kini telah digantikan oleh kedua adiknya.
Dimasukinya ruangan dapur, dilihatnya meja makan yang telah usang dimana dia dan ibunya sering duduk jika sedang bercerita, kini telah dihinggapi oleh debu. Kenangan kenangan indah bersama ibu dan adik adiknya kembali terlintas dimatanya. Air matanya terus menetes membasahi wajahnya, kedua adiknya hanya diam memperhatikan abangnya ini.
“ Sewaktu ibu meninggal tidak seorangpun keluarga kita yang datang, abang dan kakak juga tidak bisa dihubungi, karena kami tidak tahu dimana mereka. Bang Azispun tidak bisa kami hubungi, karena kami tidak tahu dimana abang berada “. Kata Salmi menceritakan semuannya kepada Azis.
“ Lalu siapa yang mengurus mayat ibu?”. Tanya Azis kepada kedu adiknya ini.
“ Para tetanggalah yang mengurusnya, merekalah yang melaksanakan pemakaman ibu?”. Jawab Salmi dengan linangan air mata.
“ Biaya pemakaman ibu siapa yang menanggulanginya?, apakah kalian dan ibu berhutang dengan tetangga? Kalau kalian berhutang dengan tetangga biar kita selesaikan?”. Kata Azis bertanya, karena sudah merupakan kewajibannya untuk menyelesaikan semua hutang hutang itu, agar arwah ibunya tenang ditempatnya yang baru.
“ Seluruh biaya untuk pemakaman ibu, sudah diselesaikan oleh kak Meilan. Kak Meilanlah yang menanggungjawabinya?”. Ujar Salmi menjawab pertanyaan abangnya ini.
“ Apakah Meilan datang membezuk ketika ibu meninggal?”. Tanya Azis lagi.
“ Iya. Kak Meilan lah yang mengurusnya”, Jawab Sasa. Azis membayangkan wajah Meilan. Betapa mulianya hati anak ini. Dimanakah dia sekarang?, Tanya Azis dalam hatinya.
“ Setelah ibu meninggal, hanya kalian berdua yang tinggal dirumah ini?”,
“ Iya, lagi pula mau kemana kami pergi, sedangkan kami tidak tahu dimana abang dan kakak. Dan tempat bang Azispun kami tidak tahu?”. Ada rasa penyesalan yang mendera dihati Azis. Kenapa dia tidak pernah menghubungi mereka. Rasa bersalah dihati Azis membuat penyesalan yang cukup dalam pada dirinya. Sebagai seorang abang ternyata aku bukanlah seorang abang yang baik, yang dapat menjadi pelindung bagi adik adikku. Sesal Azis didalam hatinya.
“ Jadi selama ini makan kalian dari mana?”. Azis memandang kedua adiknya ini. Tetesan air mata masih terlihat dikedua kelopak mata mereka.
“ Untuk biaya makan kami berdua bekerja?”. Jawab Salmi.
“ Apa kerja kalian, dan bagaimana sekolah kalian?”.
“ Sejak ibu sakit sakitan, kami telah menggantikan pekerjaan ibu menjemur ikan dipergudangan Baba Aliong. Kami bekerja setelah pulang sekolah. Dan Baba Aliong tidak marah kalau kami bekerja setengah hari. Kemudian kak Meilan memberikan belanja makan dengan kami. Setiap satu minggu sekali dia datang menemui kami. Kepada pemilik warung sebelah kak Meilan memesankan kalau kami boleh mengambil apa saja diwarung sebelah. Dan setiap kak Meilan datang dia membayarkan hutang hutang itu. Dia lah yang menanggung biaya makan dan sekolah kami, dia juga memberikan uang jajan untuk kami. Semua itu diberikannya seminggu sekali. “. Salmi menceritakan apa yang telah dilakukan oleh Meilan kepada mereka, membuat Azis semakin tidak berdaya untuk melawan rasa rindunya kepada gadis itu.
“ Semalam dia baru datang, dia membawakan kami baju, dan memberi uang belanja, kalau untuk biaya makan kami disuruhnya mengambil diwarung sebelah, apa saja yang kami mau kami boleh untuk mengambilnya diwarung sebelah. Sebenarnya kak Meilan marah kalau kami masih bekerja. Tapi kami tidak mengindahkannya. Kami tetap juga bekerja. Akhirnya kak Meilan tidak bisa bilang apa apa “. Ujar Sasa menjelaskan kepada abangnya ini.
“ Besok abang akan ketemu dengan kak Meilan. Setelah itu kalian ikut dengan abang pindah ke Medan, kalian tinggal disana dengan abang, kalian sekolah disana?”, Kata Azis kepada kedua adiknya ini. Salmi dan Sasa saling pandang. Ada rasa berat dihati keduanya untuk meninggalkan Meilan.
“ Bagaimana dengan kak Meilan?”. Tanya Sasa, membuat Azis memandang kearahnya.
“ Tentu kak Meilan akan merasa bersedih kalau kami tinggalkan?”. Ujar Salmi.
“ Biar abang besok yang membicarakannya dengan kak Meilan?” Jawab azis lalu ia mengeluarkan isi koper yang dibawanya. Dan memberikan oleh oleh kepada kedua adiknya ini.
“ Apa kak Meilan mau ikut dengan kita?” Tanya Sasa, yang tidak mengerti apa apa ini.
“ Bang menikahlah dengan kak Meilan ?”. Ujar Salmi. Lama azis terdiam, ditatapnya wajah kedua adiknya ini. Alangkah bahagianya mereka ini jika Meilan mau nikah denganku, katanya didalam hatinya.
“ Iya, nanti abang Tanya dia “, jawab azis singkat, karena dihatinya kini ada desakan agar dia bertemu dengan Meilan. Malam semakin larut. Kedua adiknya sudah terlelap tidur, karena mungkin tadi siang mereka kelelahan dalam pekerjaannya. Dipandanginya wajah kedua adiknya ini dalam tidur mereka yang lelap. Kembali air matanya metes. Betapa menderitanya hidup mereka. Pikirnya dalam hati.
Bersambung…….
Bagan Siapi Api 2016
Tulisan ini diikut sertakan dalam Tantangan 100 Hari Menulis Novel – Fiksianacommunity di Kompasiana
“ Cerita yang di kemas dalam bentuk Nopel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka, jika ada nama dan tempat serta kejadian yang sama atau mirip terulas dalam nopel ini hanyalah secara kebetulan saja. Tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian yang sebenarnya “ (Penulis)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H