[caption caption="Sumber fhoto/Hr Medan Bisnis"][/caption]Sebelumnya
Didalam perjalanannya banyak Tanya yang berkecamuk dihatinya. Ia teringat dengan kata kata Meilan kepadanya tentang kelanjutan sekolahnya. Tapi disisi lain dia juga tidak ingin terlalu memberatkan gadis itu untuk membiayai pendidikannya. Tentang ibunya, Azis juga belum mengetahuinya apakah ibunya akan menyetujui jika dia berhenti sekolah dan bekerja, atau dia berterus terang bahwa dia tetap sekolah dengan bantuan Meilan?, inilah yang sedang berkecamuk dihatinya.
Azis baru saja menyelesaikan sholat Isya, sholat adalah merupakan hal yang tidak pernah ditinggalkannya sejak dia berguru silat pada seorang khalipah Mukmin di daerah Kubu. Nasehat gurunya ini sering diingat ingat oleh Azis. Gurunya pernah mengatakan bahwa Sholat adalah tiang agama. Agama tampa mengerjakan sholat, sama dengan orang tak punya arah dan tujuan. Dengan melaksanakan sholat lima kali sehari semalam itu bisa membuat kita terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Sejak mendengar nasehat guru tempat dia belajar ilmu silat, Azispun tak pernah meninggalkan sholatnya.
Selesai makan malam, Azis duduk di bale bale teras rumahnya yang terbuat dari papan. Cahaya lampu lima wat yang menerangi ruangan teras itu, membuat cahaya yang temaram. Akan tetapi lampu jalan yang berada didepan rumahnya tampak tereng benderang.
“ Zis, kata orang orang desa acara perpisahan kalian itu meriah ya?”, Azis agak terperanjat tiba tiba saja ibunya sudah berada diteras itu.
“ Oh, ibu, iya bu, kawan kawan tampak gembira sekali”, Azis menggeser duduknya, member ruang kepada ibunya agar bisa duduk
“ Rencanamu kau mau menyambung sekolah kemana?, apakah ke SMA, atau ke SMK, atau juga ke sekolah agama?”, Azis tak langsung menjawab, dia tampak diam, matanya memandang lurus kedepan kearah hutan kecil yang ada didepan rumah.
“ Kenapa kau diam!, apa kau tak ingin sekolah lagi?”, mata orang tua itu menatapnya dengan penuh selidik.
“ Kalau ibu mengizinkan aku ingin bekerja”.
“ Maksudmu, kau berhenti sekolah?”.
“ Iya bu?”. Keduanya lalu membisu. Ibu Azis melayangkan pandangannya kearah lampu ruangan teras, pikirannya menerawang jauh. Ada perasaan sedih dihatinya, karena ia tahu kalau putranya ini sadar diri dengan keadaan mereka. Yang suram dan temaran seperti cahaya lampu yang menerangi teras itu.