[caption caption="Begraount/Fhoto Rakernas PDIP/Tempo.Co."][/caption]Sikap yang diperlihatkan oleh Megawati Soekarno Putri selaku ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), merupkan sikap yang terpuji, selaku partai yang mengusung Jokowi-JK pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang lalu.
Selaku partai politik, dalam sejarah PDIP, baru dalam pemerintahan Jokowi-JK PDIP menyatakan sebagai partai pendukung pemerintah. Selama ini dalam catatan sejarahnya PDIP adalah merupakan partai oposisi yang berseberangan dengan kekuasaan.
Walaupun PDIP merupakan partai pendukung pemerintah, PDIP tidak semata manut, maupun memuji-muji kinerja pemerintah yang didukungnya, melainkan di sisi lain PDIP tetap melakukan kritikan dan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro dengan rakyat.
Sikap kritis yang diperlihatkan oleh partai berlambang banteng dengan moncong putihnya itu, tercermin dari kritikan kritikan yang disampaikan oleh para kader kader PDIP. Megawati selaku Ketua Umum PDIP seakan melepas kendali terhadap kader-kadernya, sehingga kader-kadernya bebas untuk menyampaikan kritikan terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Jokowi-JK yang didukungnya.
Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP yang berlangsung di Jakarta International Expo Kemayoran 10–12 January 2016, dihadiri oleh seluruh pimpinan PDIP se-Indonesia, para pejabat tinggi Negara, para tokoh nasional yang dibuka secara resmi oleh Presiden Jokowi, Megawati selaku ketua umum PDIP dalam pidato politiknya juga menyampaikan kritikan terhadap kepemimpinan Jokowi-JK dalam menata pemerintahan tentang kelangsungan berbangsa dan bernegara.
Banyak hal yang disampaikan oleh putri Alm. Presiden Soekarno itu dalam menyampaikan kritikannya, mulai persoalan BUMN sampai reformasi mental dan nawacita, serta GBHN. Bahkan Megawati membandingkan kepemimpinan Bung karno dalam menata pemerintahan masa lalu.
Tajamnya kritikan yang disampaikan oleh Megawati terhadap pemerintahan Jokowi-JK, tentu melahirkan pradiksi di kalangan banyak pihak. Bahwa kritikan yang disampaikan oleh Ketua Umum PDIP dalam Rakernas itu merupakan sinyal bagi pemerintahan Jokowi-JK bahwa perahu yang pernah ditumpangi oleh Jokowi-JK akan menarik jangkarnya, berlayar meninggalkan dermaga.
Dalam konteks seperti ini tentu menimbulkan sebuah pertanyaan benarkah perahu yang dinakhodai oleh Megawati yang telah mengantarkan Jokowi-JK menjadi orang nomor satu dan dua di Indonesia akan meninggalkan dermaga di mana dalam pemerintahan Jokowi-JK perahu PDIP ini dengan kokohnya menyandar di dermaga itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat situasi politik yang terjadi di Tanah Air saat ini. Gonjang-ganjing politik yang terjadi di tanah air, mulai dari perseteruan partai-partai di parlemen, sampai kepada persoalan politik di internal partai politik itu sendiri, membuat kita sulit untuk menjawab benar atau tidaknya sinyal yang diperlihatkan oleh Megawati, bahwa perahu yang dinakhodainya akan meninggalkan dermaga.
Golkar Pasca Keputusan MK:
Jika mengamati hasil keputusan Rapimnas Partai Golkar yang dipimpin oleh Aburizal Bakri (Ical) di Hotel Sangri-la Jakarta 13 Juni 2015, dan pasca keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan gugatan Partai Golkar pimpinan Ical dengan seterunya Agung Laksono, di mana dalam Rapimnas itu melahirkan keputusan, bahwa partai Golkar akan kembali kekhittahnya sebagai partai pendukung pemerintah.
Dalam rentang sejarah sejak dilahirkannya partai Golkar oleh Mantan Presiden Soeharto (Alm.), partai Golkar dengan lambang pohon beringin, belum pernah memosisikan partai Golkar sebagai partai oposisi yang berseberangan dengan pemerintahan. Baru kali inilah dalam pemerintahan Jokowi-JK partai Golkar memosisikan diri sebagai partai oposisi yang berseberangan dengan pemerintah, dengan membentuk koalisi di parlemen. Partai Golkar bersama dengan Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, dan PBB mendeklarasikan koalisi yang mereka bentuk dengan nama Koalisi Merah Putih (KMP) pada tanggal 14 Juli 2014.
Namun belakangan PPP, pada Oktober 2014, menyatakan PPP tidak lagi bergabung dengan KMP, melainkan menjadi partai pendukung pemerintah, bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Sikap PPP kemudian diikuti oleh PAN, Pasca Musyawarah Nasional (Munas) PAN September 2015, juga melahirkan keputusan bahwa PAN tidak lagi bagian dari KMP, melainkan bagian KIH selaku partai pendukung pemerintah. Sedangkan PKS setelah petinggi partainya bertemu dengan Presiden Jokowi, kini keberadaan PKS dalam KMP bersikap abu-abu.
Rentang sejarah yang dialami oleh partai Golkar, juga dialami oleh PDIP. Sejak kelahiran PDIP dari hasil perseteruan antara Megawati dengan Soeryadi dalam memperebutkan Posisi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI). PDIP belum pernah memosisikan partai itu sebagai partai pendukung pemerintah. Sikap PDIP tetap beku sebagai partai oposisi yang berseberangan dengan pemerintah.
Baru kali ini pulalah, dalam pemerintahan Jokowi-JK sikap beku yang dibungkus rapi oleh PDIP mencair dan memosisikan PDIP sebagai partai pendukung pemerintah. PDIP pun membentuk Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang pada awal pembentukannya hanya beranggotakan PDIP, Hanura, Nasdem, PKB, dan PKP Indonesia. Koalisi ini dideklarasikan pada tanggal 14 Mei 2015.
Dua Mata Hari:
Apakah karena akan masuknya partai Golkar sebagai partai pendukung pemerintah, PDIP menarik jangkar perahunya untuk meninggalkan dermaga? Sejarah memang mencatat antara partai Golkar dengan partai PDIP tidak memiliki benang merah di antara keduanya. Sehingga membuat kedua partai ini di parleman tidak dapat untuk mengambil keputusan bersama.
Atau boleh jadi dengan masuknya partai Golkar sebagai partai pendukung pemerintah, Megawati beranggapan bakal ada dua “matahari“ dalam pemerintahan Jokowi-JK. Tentu bagi Megawati di mana partainya telah mengantarkan pasangan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden tidak menginginkan adanya dua matahari dalam pemerintahan Jokowi-JK yang selama ini didukung oleh PDIP.
Lantas bagaimana sikap Istana dalam mencermati sinyal yang diberikan oleh Ketua Umum PDIP Megawati itu? Pramono Anung sebagai Menteri Sekretaris Kabinet yang juga kader PDIP itu kepada wartawan mengatakan, sikap pemerintah menyambut baik terhadap partai-partai politik yang menjadi pendukung pemerintah.
Namun, kata Pramono, masuknya partai-partai politik sebagai partai pendukung pemerintah, jangan karena untuk berebut jabatan Menteri. Karena jabatan menteri adalah hak prerogatif Presiden. Silakan bergabung, Istana menyambut dengan baik, tapi bukan untuk berebut jabatan menteri. Ujar Pramono kepada sejumlah media.
Keinginan partai Golkar untuk bergabung dengan partai-partai pendukung pemerintah memang tidaklah mulus seperti yang dibayangkan. Kendatipun bahwa Presiden Jokowi telah mengundang dua kubu partai Golkar yang saling berbeda, Aburizal dan Agung Laksono, Presiden meminta agar kedua kubu partai Golkar ini mencari jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di internal partainya.
Keputusan Rapimnas partai Golkar yang membawa partai Golkar untuk masuk bergabung dengan partai-partai pendukung pemerintah ditentang oleh kader senior partai Golkar Ir. H Akbar Tanjungbalai. Akbar yang juga pernah menjadi ketua umum partai berlambang beringin itu mengatakan, Golkar sebagai partai oposisi adalah hasil keputusan Munas Bali. Keputusan Munas tidak dapat diubah oleh Rapimnas. Jika Golkar ingin menjadi partai pendukung pemerintah harus diputuskan oleh Munas, bukan Rapimnas.
Bagaimana kelanjutan dari skenario drama politik ini? Sebagai rakyat Indonesia yang menginginkan terciptanya rasa aman damai dan sejahtera, tentu mengharapkan ending dari kisah kisruh dunia politik Tanah Air semoga berakhir dengan membawa kemamfaatan dan kemaslahatan bagi bangsa dan Negara. Semoga.
Tanjungbalai Siang Menjelang Sore, 13 Januari 2016
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H