“Jihadnya seorang wanita adalah dengan mempergauli suami secara baik, mengatur rumah tangga, dan ulet dalam mendidik anak-anak.” (Ali bin Abi Thalib)
Mengurus rumah tangga adalah jihadnya seorang wanita?! Kalau dipikir-pikir, pekerjaan seorang ibu di dalam rumahnya itu memang benar-benar pekerjaan berat, seperti seseorang yang berperang di medan tempur. Tidak percaya? Coba deh bertukar posisi dengan saya. Deskripsi pekerjaan saya, antara lain:
Mengatur uang belanja bulanan agar cukup selama satu bulan sampai suami gajian lagi: Ini bukan pekerjaan ringan, apalagi kalau uangnya pas-pasan. Pokoknya harus cukup, mau ada pengeluaran mendadak atau tidak, dicukup-cukupkan deh. Tak heran kalau saya sering migren memikirkan pengeluaran rumah tangga ini. Biarpun sudah diperkirakan dan dialokasikan ke pos-pos penting, tetap saja defisit. Padahal, saya sudah menghitung dengan detil: membayar tagihan-tagihan rutin, belanja harian, belanja bulanan, dan lain-lain. Bulan lalu, saya sudah senang karena ada sisa uang belanja beberapa ratus ribu, eh ternyata uang SPP si sulung lupa dibayar. Ya pantas kalau ada sisanya. Hmmffh…. Saya sudah mengkhayal beli baju baru lho, xixixi…..
Masak apa hari ini: Ini juga tidak mudah. Nah, yang tinggal makan sih enak saja mengeluh, “Kok menunya cuma ini aja sih?” atau… “Bosen nih, tiap hari makan ini terus.” Mereka tidak tahu kalau chefnya pusing memikirkan menu masakan setiap hari yang sesuai dengan anggaran rumah tangga. Sop lagi, bayam lagi, ikan goreng lagi, ayam goreng lagi, dan lain-lain. Masih mending bisa makan, ya? Setiap saya sampai di tukang sayur, pasti bengong dulu. Masak apa, ya? Ibu-ibu lain juga terlihat bingung. Akhirnya, kami nongkrong dulu di tukang sayur dan ngobrol sampai ingat mau masak apa, hehehe….
Mengurus urusan anak-anak dan suami: Pagi hari adalah waktu yang sibuuuk bagi seorang ibu rumah tangga. Membuatkan sarapan, menyiapkan tas kerja suami dan tas sekolah anak-anak, menyiapkan baju seragam anak-anak, mencari kaus kaki suami yang entah berada di mana, memandikan anak-anak, dan sebagainya. Sampai-sampai malah saya yang senang kalau anak-anak libur, jadi saya tidak pusing memikirkan urusan mereka!
Mendidik anak-anak: Jangan dipikir kalau kita sudah menyekolahkan anak-anak di sekolah formal, lalu orangtuanya bisa leha-leha, apalagi seorang ibu. Katanya, Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Tak heran, kalau anak-anak bermasalah, pasti yang disalahkan pertama kali adalah ibunya. “Siapa sih ibunya? Kok anaknya jadi begitu?” Lah, padahal yang namanya orangtua itu kan IBU dan AYAH. Kenyataannya memang porsi mendidik anak itu lebih banyak ada di pundak ibu daripada ayah. Terutama ibu yang selalu ada di rumah, otomatis selalu berinteraksi dengan anak-anaknya.
Mengurus rumah tangga: Pekerjaan rumah tangga itu bukan pekerjaan ringan, dari mulai mencuci baju, menyetrika, cuci piring, nyapu, ngepel, masak, dan sebagainya. Saya memang mendapatkan bantuan dari asisten paruh waktu, tapi saya tetap harus memastikan semua pekerjaan itu selesai dengan baik. Kalau tidak, tetap saja saya yang dikomplen suami dan anak-anak. Namanya juga asisten rumah tangga, tugasnya hanya membantu. Kadang-kadang ada saja pekerjaannya yang kurang beres, seperti mencuci gelas kurang bersih. Pastilah saya yang harus mencucinya lagi, karena dia kerja hanya sampai jam 10 pagi. Setelah dia pulang, kerjaan rumah tangga jadi urusan saya. Kadang saya juga harus mengepel ulang kalau anak-anak sedang sakit dan muntah-muntah terus. Atau, memasak makanan tambahan karena anak-anak minta dibuatkan kue dan sebagainya.
Mengasuh si kecil: Pekerjaan mengasuh anak itu luar biasa besar kontrol emosinya. Diperlukan kesabaran tingkat tinggi. Wajahnya imut dan menggemaskan seperti malaikat, tapi kalau sudah bertingkah, membuat ibunya bertanduk. Menjadi ibu berarti harus lebih banyak bersabar menghadapi anak-anak dengan tingkah polah menggemaskan. Yang pasti, setelah itu saya butuh… LIBURAN!
Yap! Akhirnya, saya berkesempatan berlibur walaupun masih bersama anak-anak dan pergi ke tempat yang dekat saja. Kami sekeluarga pergi ke arena Theme Park terbesar di wilayah Bogor. Di sana ada beraneka ragam permainan untuk anak-anak, remaja, dan dewasa. Itu pertama kalinya saya pergi ke tempat wisata yang berisi wahana-wahana permainan untuk menguji adrenalin. Zaman saya kecil dulu, orangtua saya tidak mampu membeli tiketnya yang cukup mahal. Kalau kemarin, saya pakai tiket gratis yang saya dapatkan dari sebuah lomba.
Bahagia itu sederhana, bukan? Nikmat sekecil apa pun harus disyukuri, meskipun “hanya” berupa tiket gratis untuk berlibur di tempat yang lokasinya masih dekat dengan tempat tinggal kita.Selfie? Sudah pasti! Kalau dulu, susah mau selfie karena tidak punya kamera apalagi handphone. Sekarang kita bisa selfie-selfie, walaupun saya tidak punya tongsis. Untungnya, selfie sudah jadi tren, jadi saya tak malu foto-foto muka sendiri di beberapa spot menarik.
Selfie saat baru sampai ke tempat wisata.
Begitu masuk ke tempat wisata, langsung disambut dengan panorama alam yang memikat. Dari jauh terlihat jajaran candi buatan yang kelihatan seperti aslinya. Seolah-olah saya seperti sedang berwisata ke Candi Prambanan, padahal sih bukan. Makanya langsung selfie, deh.
Selfie di depan permainan yang menguji adrenalin.
Melihat hysteria para pengunjung yang menaiki permainan “berbahaya” itu, saya hanya tersenyum-senyum. Suami sudah menyuruh saya untuk ikut naik, tapi saya menolak. Saya takut dengan ketinggian, apalagi digoyang-goyang dengan kencang seolah-olah mau jatuh. Jadilah saya hanya selfie diiringi teriakan para pengunjung yang menaiki permainan tersebut.
Nah, akhirnya saya dapat permainan yang membawa ke tempat tinggi tapi tidak untuk diguncang-guncang seolah mau jatuh lho. Permainan ini bisa dinaiki oleh seluruh keluarga, termasuk anak saya yang terkecil berusia 3 tahun. Kalau di London, namanya London Eye. Menaiki alat ini, saya bisa melihat keseluruhan arena wisata tersebut.
Saat sedang menunggui anak-anak mencoba wahana khusus anak-anak, di belakang saya ada wahana lain yang tak kalah menariknya. Khusus untuk orang dewasa dan tentunya menguji adrenalin. Suami menyuruh saya mencobanya, tapi saya menolak. Suami bilang, “Nanti nyesel lho kalau nggak mau nyobain satu pun permainan (yang menantang adrenalin) di sini. Cobain dulu.” Akhirnya, saya pun mencoba. Kebetulan alatnya mau jalan. Ya, ampuuun… setelah itu, saya lemeeeess…. Benar-benar seperti mau dilemparkan dari atas. Padahal, pas selfienya ketawa-ketiwi hihihi…. Yang di belakang foto ini untuk anak-anak, tapi nanti saya akan menaiki yang untuk orang dewasanya dan lebih seruuuu.
Sore hari, hujan turun deras. Yaaah… padahal belum selesai menaiki permainan-permainan lain yang cukup aman. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Anak-anak masih mau bermain, tapi kaki saya sudah pegal. Kami istirahat dulu di tempat berteduh, tak lupa saya selfie. Itulah selfie terakhir saya di tempat bermain, karena sudah tidak bisa selfie lagi berhubung kamera handphone saya tidak memungkinkan untuk selfie. Kamera handphone saya hanya bisa digunakan berfoto di bawah cahaya matahari yang maksimal. Kalau sudah petang atau di dalam ruangan bercahaya minim, hasil fotonya pasti jelek.
Setelah berlibur dan selfie seru ala ibu rumah tangga, migren saya pun hilang. Ini benar-benar selfie moment yang menyegarkan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H