[caption id="attachment_408090" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi/Fhoto KBP RMOL"][/caption]
Tradisi Perayaan Cembeng atau Qing Ming dalam pengertian “ Cerah Dan Cemerlang “ di laksanakan lima belas hari setelah Chunhun, atau Cap Gomeh, atau tiga puluh hari setelah perayaan Imlek Tahun Baru masyarakat Tionghua. Biasanya setelah Chunhun masyarakat Tionghua meyakini merupakan hari yang baik dan cerah, dan cocok untuk melaksanakan ziarah kubur atau ziarah makam.
Sebelum Dinasti Qin, jiarah makam hanya di monopoli dan hak para bangsawan. Namun setelah Qin Shi-huang mempersatukan Tiongkok dan mengabolisi para bangsawan, rakyat kecil pun mulai meniru tradisi ziarah makam ini setiap perayaan Ceng Beng.
Lagenda asal mula di lakukan nya perayaan Cembeng, bermula dari tradisi masyarakat Cina dalam memperingati leluhurnya atau di sebut “ Kia Hoa atau Filial Piety “, rasa hormat anak kepada orang tuanya atau leluhurnya.
Ceng Beng di mulai pada zaman Chun Qiu Zhan Guo di saat musim semi gugur, abad 11-3 Sebelum Masehi dan Negara pada saat itu di lenda peperangan, Ceng Beng adalah salah satu hari perayaan tradisional yang di lakukan oleh suku Han yang merupakan suku mayoritas di Tiongkok. Ceng Beng di laksanakan pada sebelum tanggal 5 April Masehi setiap tahunnya.
Berawal dari penghormatan terhadap orang tua dan leluhur inilah, pelaksanaan Ceng Beng di laksnakan oleh masyarakat Tionghua dari tahun ketahun, dalam pola yang berbeda beda. Namun tidak mengurangi dari maksud dan tujuan Ceng Beng itu di lakukan. Para perantau di manapun dia berada akan kembali kekampung halaman nya untuk melakukan Ceng Beng, karena bagai manapun di kampung halamannya tempat berkubur para orang tuanya atau leluhurnya. Untuk mengadakan penghormatan kepada orang tua dan leluhurnya inilah para masyarakat Tionghua merasa berkewajiban untuk turut merayakan Ceng Beng.
Berbeda dengan perayaan Tahun Baru Imlek dan Cap Gomeh, para perantau merasa tidak berkewajiban untuk mudik kekampung halaman untuk turut merayakan Imlek maupun Cap Gomeh, Karena Imlek dan Cap Gomeh dapat di rayakan di mana saja, tidak harus mudik untuk pulang kampung, walaupun sebenarnya Perayaan Imlek dan Cap Gomeh itu lebih terasa nuansa nya jika di rayakan di kampung halaman beserta keluarga dan teman sejawat.
Akan tetapi karena penggeseran waktu dan kesibukan yang masing masing di miliki oleh masyarakat tionghua menjadikan perayaan Imlek dan Cap Gomeh tidak mesti harus di laksanakan di kampung halaman. Tapi melainkan Imlek dan Cap Gomeh dapat di rayakan di mana para masyarakat Tionghua itu ber domisili.
Tapi dalam hal penghormatan kepada orang tua dan leluhur yang telah tiada, adalah merupakan suatu ke wajiban bagi masyarakat Tionghua untuk melakukan nya di mana orang tua dan leluhurnya menempati tempat peristerahatannya terakhir. Ketempat itulah seorang anak melakukan Ceng Beng, untuk membuktikan bhaktinya kepada orang tua dan leluhurnya.
Walaupun juga tidak sedikit anak yang tidak menghormati orang tua dan leluhurnya. Seperti yang di ceritakan oleh lagenda Malim Kundang di Padang dan Sampuraga di Tapanuli Selatan, serta Simardan di Kota Tanjungbalai. Bagi anak yang tidak menaruh hormat kepada orang tua dan leluhurnya sering di cap sebagai anak durhaka, dan hidupnya sepanjang usia tidak pernah merasa tentram dan damai. Dan bagi masyarakat Tionghua penghormatan kepada orang tua dan leluhurnya sejak ber abad abad lalu mereka lakoni.
Ketika Ceng Beng datang merekapun berbondong bondong datang atau pun pulang kembali kekampung halaman untuk melaksanakan ziarah kubur. Di sini mereka merenung dan melakukan introspeksi diri, sudah sampai sejauh mana mereka memberikan bhaktinya kepada orang tuanya, baik semasa hidupnya maupun setelah orang tuanya meninggalkan dunia pana. Merenung dan introspeksi diri inipun terkadang di lakukan dengan tetesan air mata, mereka tidak perduli udara panas menyengat, atau hujan turun dengan lebatnya. Mereka seakan merasa menyatu dengan kuburan di mana orang tua maupun leluhurnya terkubur.
Cermin Kearifan Lokal :
Satu hal penting yang patut diketahui,  tentang ritual Ceng Beng  yang dilakukan oleh masyarakat Tionghua  tidak saja berkisah tentang puja-puji terhadap orang tua dan leluhur yang juga dipercaya bahwa arwah para orang tua dan leluhurnya yang senantiasa mendampingi nya dalam mengharungi kehidupannya di dunia, baik dan buruk, suka-duka, serta rezek dan bencana.
Akan tetapi perayaan Ceng Beng juga berkisah, tentang berbagi cerita, tentang kisah kisah sukses mereka di perantauan kepada sanak saudara dan teman sejawat serta kerabat yang berada di kampung halamam. Perayaan Ceng Beng juga mereka jadikan sebagai spirit terbangunnya hubungan soasial yang tetap terjaga di manapun mereka berada.
Disamping itu di balik  Perayaan ritual Ceng Beng terselip sebuah pesan, bahwa perayaan Ceng Beng  ini tidak semata merupakan acara Ritual belaka, tapi ada makna tersirat di dalam nya, yani sebuah cermin kearifan local di mana para perantau yang sukses di perantauaanya, akan membagi bagi angpau kepada kaum miskin tampa pandang bulu terhadap etnis dan agama si orang miskin yang di bantunya.
Di Indonesia Perayaan Ceng Beng mencerminkan kerukunan antar ummad beragama terlihat di sana. Bagi bagi rezeki terhadap agama lain juga terjadi dalam perayaan Ceng Beng. Setidaknya banyak warga yang mendapat rezeki dari perayaan Ceng Beng. Mulai dari membersihkan kuburan, sampai kepada pedagang musiman yang menggelar dagangannya pada saat perayaan Ceng Beng datang. Bahkan tukang parkir kenderaanpun kecipratan rejeki.
Sebagai mana perayaan Ceng Beng di peringati bukan hanya karena menjadi satu-satunya tradisi masyarakat Tionghoa yang tak dimiliki oleh masyarakat lain. Tapi  Lebih dari itu, dalam prosesi ritualnya,  Ceng Beng banyak memberikan pelajaran terhadap menghormati orang tua dan leluhurnya.
Di samping itu perayaan Ceng Beng, juga mendatangkan rezeki bagi masyarakat local. Setidaknya dalam melaksanakan Ceng Beng para perantau yang pulang kampung yang tidak lagi memiliki sanak saudara di kampungnya, tentu akan menginap di hotel, selama dia melaksanakan ritual Ceng Beng. Selama di kampung tentu dia akan menyinggahi rumah rumah makan, atau warung warung kopi untuk ngobrol sekedar melepas rindu dengan teman teman nya yang masih tinggal di kampung halamannya.
Perputaran uang akan tert jadi selama perayaan Ceng Beng Berlangsung. Pulangnya tentu dia akan berbelanja makanan makan tradisional yang ada di kampung halamannya untuk di bawa pulang, sekedar sebagai buah tangan yang akan di bagi bagikan kepada para tetangganya. Inilah sisi lain dari perayaan Ceng Beng yang terlihat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H