Dilansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, rumah adalah bangunan untuk tempat tinggal. Tidak saja berfungsi sebagai tempat tinggal, rumah pun berfungsi sebagai tempat tumbuh kembang seseorang, dari sejak lahir ke dunia, lulus sekolah, lulus kuliah, bekerja, hingga meninggal dunia. Rumah bisa berfungsi sebagai tempat bekerja, tempat beristirahat, hingga tempat bersenang-senang.
Saya pun mengamini hal tersebut. Rumah yang saya tinggali saat ini sudah lebih dari 25 tahun saya diami, sejak saya lahir. Ada begitu banyak suka dan duka yang saya alami selama tinggal di rumah ini. Rumah tempat saya tinggal ini terletak persis di pinggir jalan Kota Bandung. Pada tulisan ini, saya akan bercerita hal-hal gak enaknya punya rumah di pinggir jalan.
#1 Pajaknya besar
Punya rumah di pinggir jalan punya banyak keuntungan. Salah satunya dekat kemana-mana. Mau ke rumah sakit atau sekadar ke minmarket, tinggal jalan kaki. Mau urus dokumen kependudukan, tinggal jalan kaki ke kantor kelurahan atau kantor kecataman. Pesan ojek online atau nerima paket juga gampang, dan masih banyak lagi keuntungan lainnya yang sangat saya syukuri.
Di balik semua keuntungan tersebut, ada satu hal yang paling bikin saya nyesek punya rumah di pinggir jalan. Pajak bumi dan bangunannya besar banget! Jika teman sebaya saya banyak menghabiskan uangnya untuk ngopi di coffee shop atau buat beli Gundam saya malah menghabiskan uang saya untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan yang ditagihkan pada saya setiap tahunnya. Gak kira-kira, nominalnya lebih dari separuh UMK Kota Bandung.
Setiap satu tahun sekali, saya bolak-balik kantor pajak supaya dapat keringanan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Pasalnya, saya merupakan anak tunggal yang belum punya penghasilan tetap. Nominal pajak segitu ya gede banget buat saya. Sudah begitu, uang pajak yang saya setorkan dikorupsi dan dipake buat bayar buzzer. Hadeuh.
#2 Gak punya tetangga
Selain pajaknya yang besar, punya rumah di pinggir jalan pun bikin saya ansos. Sejak kecil, saya gak punya "tetangga" soalnya bangunan di depan rumah saya, merupakan ruko yang setiap beberapa bulan sekali, yang sewa ruko tersebut ganti orang. Bangunan di samping kiri dan samping kanan rumah saya pun cuma warung makan, laundry, dan tempat cuci motor.
Tetangga terdekat saya adalah rumah Pak RT dan rumah Pak RW yang jaraknya beberapa puluh meter di belakang rumah saya. Jadi sebagai warga yang baik, saya harus sering sowan ke rumah rumah Pak RT dan rumah Pak RW. Biar gak dibilang cuma pas ada butuhnya doang ke rumah blio-blio ini.
#3 Polusi suara
Punya rumah di pingir jalan pastinya berisik karena lalu lintas kendaraan bermotor yang berlalu lalang seharian. Lalu lintas kendaraan bermotor di depan rumah saya pun bisa semakin padat pada jam-jam pulang kerja, suara klaksonnya bisa bikin emosi. Apalagi kalau ada RX-King yang lewat atau motor yang maksain pakai knalpot racing, bisa tambah berisik. Seringkali saya meneriaki pengendara sepeda motor yang knalpotnya berisik. Tapi percuma juga, merekanya juga cuek meski sudah saya teriaki.
Bukan hanya aktivitas kendaraan bermotor yang bikin berisik, tapi aktivitas warga sekitar seperti pekerja bangunan yang lagi memperbaiki rumah, suara tetangga yang buka bisnis cuci motor samping rumah, hingga pesawat atau helikopter yang melintas pada jam-jam tertentu. Untuk mensiasati polusi suara tersebut, saya memasang pagar yang cukup tinggi dan menanam banyak pohon supaya polusi suara tersebut bisa sedikit berkurang. Â
#4 Sering disangka tempat indekos
Kalau kamu punya rumah di pinggir jalan, pasti banyak yang mengira rumah kamu tempat indekos. Sebelum pandemi, setiap beberapa minggu sekali, selalu ada mahasiswa atau karyawan yang mengetuk pagar rumah saya dan bertanya, "Kang, ini kosan? Berapa sewa per bulannya?"
Saya pun harus berkali-kali menegaskan pada para perantau tersebut bahwa rumah saya merupakan rumah pribadi, bukan tempat indekos. Banyak para perantau yang menyangka rumah saya merupakan tempat indekos karena menjadi satu-satunya bangunan berbentuk 'rumah' di tengah-tengah ruko dan berada di kawasan yang dekat dengan PTN/PTS di Kota Bandung. Pengen sih dibikin tempat indekos, tapi saya belum ada modalnya. Barangkali ada yang mau ngemodalin?
Nah, itulah empat hal nggak enaknya punya rumah di pinggir jalan. Meski begitu, saya tetap bersyukur punya rumah di pinggir jalan dengan segala dinamikanya yang saya sebutkan di atas. Ini kan cuma unek-unek doang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H