Mohon tunggu...
Raden Muhammad Wisnu Permana
Raden Muhammad Wisnu Permana Mohon Tunggu... Lainnya - Akun resmi Raden Muhammad Wisnu Permana

Akun resmi Raden Muhammad Wisnu Permana. Akun ini dikelola oleh beberapa admin. Silakan follow akun Twitternya di @wisnu93 dan akun Instagramnya di @Rwisnu93

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memeluk Agama Mayoritas Itu Sama Susahnya dengan Memeluk Agama Minoritas

6 Mei 2021   06:36 Diperbarui: 6 Mei 2021   07:16 1787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita semua tahu, menjadi minoritas di Indonesia itu sangat sulit. Bahkan tidak hanya di Indonesia saja, di belahan Bumi manapun, menjadi minoritas itu sulit. Di Amerika Serikat, keturunan Asia selalu mendapat perlakuan tidak menyenangkan oleh masyarakat sana. Pemeluk agama Islam pun mengalami kesulitan yang sama setelah kejadian 11 September 2001 seperti yang digambarkan Shah Rukh Khan dalam film My Name is Khan.

Di Indonesia, umat beragama selain agama mayoritas (Islam), hidup betul-betul sulit. Tapi dari apa yang saya alami, memeluk agama mayoritas itu sama sulitnya karena agama Islam saat ini terbelah menjadi beberapa mahzab, beberapa aliran, dan banyak organisasi yang berbeda-beda. Terlebih, masing-masing mahzab aliran, dan organisasi merasa yang paling benar.

Hal ini dialami oleh saya sendiri yang sedang mengerjakan skripsi di perpustakaan 4 tahun yang lalu. Saat itu saya mengunggah suasana perpustakaan lengkap dengan buku-buku ilmu komunikasi karya Jalaluddin Rakhmat yang menjadi referensi seluruh akademisi ilmu komunikasi Indonesia. Salah satu teman saya membalas unggahan saya tersebut dengan, "Hati-hati Jalaluddin Rakhmat itu Syiah!"

Padahal saya tidak peduli apakah Mendiang Jalaluddin Rakhmat atau yang dikenal dengan sebutan Kang Jalal itu Syiah atau tidak, karena yang saya ambil adalah keilmuwan beliau dalam ilmu komunikasi.

Di lain waktu, untuk mengisi waktu luang perjalanan kereta api antara Bandung dan Jakarta, saya membaca karya Prof. Quraish Shihab, lalu saya iseng mengunggah buku yang saya baca ke internet dan ada teman saya yang juga membalas unggahan saya dengan "Quraish Shihab itu liberal, sekuler, dan Syiah, hati-hati!"

Padahal yang berkata bahwa Prof. Quraish Shihab itu liberal, sekuler dan Syiah bukan siapa-siapa, sedangkan Prof. Quraish Shihab itu ahli tafsir lulusan Mesir, yang belajar ilmu tafsir puluhan tahun, dan menuliskan ratusan buku. Bahkan tidak ada satu buku pun yang pernah ia tuliskan selama hidupnya, tapi asal menuduh orang lain dengan sebutan seperti itu.

Beberapa jam sebelum saya menuliskan tulisan ini, saya membaca tulisan dan menonton video Habib Husein Ja'far Hadar di Mojok.co dan kanal YouTubenya. Kemudian saya melihat komentar netizen yang mengatakan bahwa Habib Husein Ja'Far ini adalah tokoh Syiah, liberal, dan juga sekuler karena kerap kali membuat konten dengan Tretan Muslim dan Coki Pardede yang dianggap sering mengolok-ngolok agama Islam.

Di waktu yang berbeda pula, ketika saya mengunggah beberapa kutipan perkataan Almarhum Gus Dur yang dianggap sebagai Bapak Toleransi Indonesia, karena telah berjasa memberikan perlindungan pada Etnis Tionghoa dengan memberikan hari libur saat Tahun Baru Imlek, saya melihat netizen yang membalas unggahan saya dengan, "Kamu begitu toleran kepada agama lain, tapi diam ketika agama kamu dinistakan oleh penista agama dan tidak ikut membela saat agama kamu dihina oleh Ahok."

Pengalaman saya di atas adalah bukti, bahwa memeluk agama mayoritas di Indonesia sama ribetnya dengan menjadi pemeluk agama minoritas di Indonesia karena agama Islam sendiri terdiri dari berbagai golongan yang berbeda-beda. Dan masing-masing golongan merasa paling benar. Beberapa golongan merasa tahlilan itu bid'ah dan tidak dicontohkan Nabi Muhammad. Golongan yang satu lagi merasa bahwa ibadah salat subuh itu harus menggunakan qunut. Golongan lainnya berkata bahwa musik itu haram. Dan berbagai macam klaim dari masing-masing golongan yang merasa paling benar lainnya.

Dari berbagai keributan antar umat Islam di atas, saya selalu mengkampanyekan "Humanity above religion", dimana kita harus berbuat baik kepada sesama tanpa memandang agama, etnis, dan kesukuan orang lain. Eh disebut liberal dan sekuler layaknya orang kafir dan atheist Eropa dan Amerika sana oleh golongan lainnya. Pusing kan?

Sampai sekarang, saya masih bertanya-tanya, yang mana sih yang benar? Golongan mana yang benar? Golongan mana yang merupakan Islam yang sesungguhnya? Kok susah sekali untuk beragama dengan tenang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun