Dalam buku ini,pembahasan terbagi dalam tiga tema besar yaitu Islam dan Kepemimpinan Perempuan,Islam dan Seksualitas Perempuan  serta Perempuan,Islam dan Negara.Pada pembahasan mengenai Islam dan Kepemimpinan Perempuan,dibahas mengenai salah satu keutamaan ajaran Islam yaitu memandang manusia secara setara dan tidak membeda-bedakannya berdasarkan kelas sosial,ras,maupun jenis kelamin.
Neng Dara Affiah merupakan seorang yang memiliki pengalaman hidup dan pengetahuan yang banyak serta menarik terutama mengenai perempuan dan feminisme.Ini terbukti dari hasil karyanya dalam menyunting dan menulis beberapa pemikirannya sehingga menjadi sebuah buku seperti: Rekam Juang Komnas Perempuan : 16 Tahun Menghapus Kekerasan terhadap Perempuan ( Komnas Perempuan,2014); Muslimah Feminis : Penjelajahan Multi Identitas (2009); Islam,Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas (2017), dan karya-karya lainnya yang Neng Dara Affiah tulis,bukan hanya mengenai perempuan atau feminisme melainkan juga tentang politik,organisasi dan islam.
1. ISLAM DAN KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
Pada bab pertama ini penulis menjelaskan,mengenai islam dan kepemimpinan perempuan.Dalam ajaran Islam memandang manusia adalah setara dengan tidak membeda-bedakannya berdasarkan kelas sosial (kasta), ras dan jenis kelamin.Tetapi,islam mebedakannya dalam kualitas ketakwaan,kebaikannya dalam kehidupan dan amalan yang diperolehnya.Maka dari itu semestinya tidak ada alasan bagi seseorang untuk menolak kepemimpinan yang dijalankan oleh perempuan.Seperti dalam sebuah ayat Al-Quran yang berbunyi: "Laki-laki adalah qowwam dan bertanggung jawab terhadap kaum perempuan"(An-Nisa : 34).
Ayat ini menuai perdebatan yang terdapat pada kata "qowwam",yang diartikan oleh para tafsir klasik dan modern yaitu : penanggung jawab, memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan,pemimpin,penguasa, dan pengertian lain yang dalam maknanya adalah menempatkan posisi pria sebagai superior dan perempuan di posisi yang imperior.Ayat tersebut juga didukung oleh hadis-hadis lain yang serupa,dimana mereka membedakan perempuan sebagai derajat yang lebih rendah daripada laki-laki.Hal lainnya yang menghambat kepemimpinan perempuan dalam islam ini adalah adanya pemahaman yang salah kaprah tentang ajaran islam itu sendiri,serta ego masyarakat muslim yang terus mengutamakan nilai patriarki yang merujuk pada ayat Al-Quran serta hadis-hadis yang dimanipulasi untuk kepentingan ego penafsiran.
Di Indonesia sendiri sebagai mayoritas pemeluk agama Islam dan kuat akan sistem patriarki nya,menjadikan perempuan sebagai kelas kedua setelah laki-laki.Megawati Soekarnoputri pernah ditolak mencalonkan diri sebagai presiden,dan penolakan ini datang dari para ulama-ulama dan organisasi-organisasi islam.Dengan mengatakan "Islam melarang dan mengharamkan seorang perempuan menjadi khalifah atau pemimpin suatu bangsa dengan sandaran Al-Quran surah " An-Nisa : 34" pada kata "qowwam".Menurut penulis,segharusnya sebuah kata akan bergeser maknanya seiring dengan konteks ruang dan waktu.
Maka,perlu diketahui makna dari kata tersebut apakah masih relevan jika dikaitkan dengan kepemimpinan diluar dari konteks pengaturan suami istri dalam rumah tangga.Kesimpulan bab pertama ini yaitu bahwa perempuan dalam islam masih sulit dijadikan sebagai seorang khalifah atau pemimpin.Dikarenakan pertentangan dalam teologis,adanya sistem patriarki,pola pembentukan kepemimpinan anak terfokus pada laki-laki,serta streotip masyarakat yang menganggap perempuan sebagai manusia yang lemah.
2. ISLAM DAN SEKSUALITAS PEREMPUAN
Dalam bab kedua ini penulis menjelaskan bagaimana perkawinan dalam perspektif Agama  yaitu Agama Yahudi, Kristen, dan Islam.Perkawinan merupakan sesuatu yang dianggap sakral dalam agama,dalam islam sendiri hal tersebut merupakan bagian dari bentuk ibadah kepada Allah.Adapun fungsi dan aturan dalam perkawinan itu sendiri menurut ketiga agama tersebut ialah pertama,untuk menciptakan ketentraman dan kedamaian diantara dua orang anak manusia.
Masalahnya,peran yang dimainkan perempuan sebagai seorang istri tidak sepenuhnya seperti apa yang ia inginkan,seorang istri atau ibu dapat dikatakan sebagai manusia yang tidak utuh yaitu tidak memiliki hak atas kemerdekaan dan kebebasan dirinya atas peran yang ingin dimainkan.Kedua, perkawinan untuk melahirkan keturunan, jika perempuan mengalami kemandulan akan dianggap tidak berguna dan mendapatkan cibiran.Ketiga,menghindari praktik zina,biasanya seorang laki-laki melihat derajat perempuan dari perspektif perawan atau tidak.Banyak hal dimana manusia itu dirugikan apabila melanggar salah satu dari yang telah disebutkan sebelumnya,sehingga perempuan tidak memiliki kebebasan untuk melakukan pilihan mereka sendiri.
Pada intinya, penulis mengatakan bahwa perempuan seharusnya memiliki kebebasan untuk melakukan berbagai pilihan, dengan siapa ia harus menikah, menolak perintah suami jika bertentangan dengan keinginan nuraninya, dan menolak untuk dipoligami. Ia berharap bahwa perempuan harus berjiwa kepemimpinan dan juga dapat memimpin dirinya sendiri. Dalam bab ini juga ia menjelaskan bahwa pada Era Reformasi 'jilbab' dipolitisasi untuk kepentingan politik demi meraih suara untuk mendapatkan jabatan baik bupati, gubernur, ataupun anggota DPR.