Mohon tunggu...
wishnu sukmantoro
wishnu sukmantoro Mohon Tunggu... Administrasi - Saya suka menulis dan fotografi. Suka menulis tentang politik, militer, humaniora, lingkungan dan kesehatan

Saya ekolog satwa liar, menyelesaikan S1 Biologi Universitas padjadjaran, Master degree ekologi di Institut Teknologi Bandung, fellowship program di Pittsburg University dan Doktoral Fakultas Kehutanan di Institut Pertanian Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Covid-19, Look Down atau Lockdown?

23 Maret 2020   20:41 Diperbarui: 23 Maret 2020   20:45 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
@www.liputan6.com Penumpang KRL yang berdesakan di salah satu stasiun di Jakarta 23 Maret 2020

Tulisan sebelumnya, penulis membahas mengenai eliminasi Covid-19, kuncinya adalah kedisiplinan masyarakat. Kita sudah tahu bahwa Lockdown bukanlah salah satu pilihan. Implikasi pembatasan aktivitas masyarakat sudah terbukti menurunkan kinerja ekonomi di Indonesia dan mau tidak mau dalam situasi wabah ini, sebagian kegiatan tetap berjalan termasuk ekonomi masyarakat terutama buruh harian atau yang mengandalkan pada pendapatan harian.

Tetapi lockdown bisa menjadi pilihan apabila angka penularan tetap tinggi dan tidak bisa dikontrol akibat masyarakat tidak dapat menerapkan pola disiplin diri dan pemerintah merasa terbebani dengan situasi ini. Skenario social distancing dan self isolation tidak berhasil dilakukan. Lockdown dilakukan dalam suasana represif (kemungkinan), dengan personel militer dilibatkan secara masif (BNPB telah dipersiapkan untuk itu jika situasi sudah darurat).

Di beberapa negara seperti Jerman, menerapkan sistem denda bagi masyarakat yang keluar rumah tanpa menyertakan surat ijin, termasuk hanya untuk membeli kebutuhan pokok di warung. Alat angkut tidak difasilitasi, sudah pasti model Gosend pun tidak diperkenankan. Semua diisolasi tanpa kecuali.

Bagi sebagian pengamat sosial masyarakat, tipe masyarakat Indonesia tidak bisa dengan model militeristik misalnya untuk lockdown, gejolak di masyarakat bisa saja terjadi, mungkin akan dibumbui agitasi-agitasi via medsos untuk mereduksi apapun skenario pemerintah. Intinya implikasi lockdown adalah kompleks meskipun bisa saja terjadi.

Look Down

Look down bisa diartikan tanpa idiom sebagai melihat kebawah atau terlihat turun, tetapi secara idiom adalah sepele terhadap situasi atau tidak peduli terhadap sesuatu (melihat sesuatu itu nggak penting). Ambillah dari konteks idiom, dimana masyarakat sepele atau tidak peduli terhadap social distancing atau self isolation.

Implikasinya adalah seperti yang dikemukakan artikel penulis sebelumnya yaitu peningkatan dalam jangka panjang penularan Covid-19 dengan penderita yang membludak semakin banyak, apalagi kemudian dilakukan dengan rapid test yang bisa menjaring masyarakat secara massal.

Rumah sakit penuh bahkan tidak menampung pasien, tempat tempat yang difungsikan pemerintah sebagai rumah sakit daruratpun penuh dan tidak menampung penderita positif Covid. Inilah yang dikhawatirkan semua pihak terutama pemerintah.

Penderita tidak dapat ditampung d rumah sakit dan tenaga medispun terbatas, sehingga persentase kematian semakin tinggi. Hari ini saja dengan kondisi yang relatif tidak sebanyak negara lain saat pandemi, kematian sudah mencapai 49 orang dari penderita lebih dari 550 orang.

Sampai hari kemarin, petugas medis di salah satu medsos sudah teriak teriak untuk menurunkan angka penularan dengan pencegahan secara total dan tentunya semua adalah bentuk kepedulian dan kedisiplinan yang besar dari masyarakat.

Sampai hari ini, kita masih mendengar petugas tidak mampu mengontrol penumpang KRL sehingga menyebabkan manusia berjubel di dalam kereta, stasiun yang penuh sesak manusia, kemudian ada pemda yang lupa wilayahnya terbanyak penderita tetapi membuka pasar murah, sehingga pengunjung tidak terkontrol dan tidak menjaga jarak (akhirnya kegiatan itu ditunda), tidak patuhnya masyarakat di jalan-jalan protokol tanpa masker pelindung terutama yang sedang flu, anak muda yang tetap main game online ramai-ramai di internet cafe, artis - artis ibukota yang membagikan masker massal sehingga menciptakan kerumunan massal, antrian yang tidak menjaga jarak.

Banyak pekerja tidak distirahatkan untuk WFH (Working from home) sehingga terpaksa tidak ada pilihan untuk mendapatkan kendaraan umum yang massal.

Akhirnya kita bisa mengetahui yaitu betapa tidak pedulinya sebagian masyarakat terhadap bahaya penularan virus ini, dan tentu kumpulan masyarakat demikian sudah pasti akan merugikan masyarakat banyak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun