Menulis gerai hujan
sekitar Traffic Light
Usai garis batas matahari padam
yang karam mengikuti riuh resah ‘Ngalam’
Ada juga kekasih yang kuyup,
sebab kekasih lainnya tak kunjung guyub
Yang sayup menanti diujung peron
Kini sudah dihitung dasa warsa lamanya
Buah janin dikandung kadung kian ranum
Hampir saja nafasnya terhempas lepas, sirna
Tak kuasa menampik muka, katanya
Maka dilampiaskan saja secara sumbang,
sekitar Traffic Light
Â
Ada juga kerdil berlarian memecah riak gelombang
Tak ada sebab kehadirannya mengatup dunia
Konon buah janin yang getir menapakkan wajah,
yang dirundung kealpaan keturunan
Maka ditengadahkannya secuil telapak murni,
dijadikannya sesembahan
Tak hentinya mengucap puja dan puji kala diberi,
dicontohnya dari santri sekitar sini
Masih kuyup,
sekitar Traffic Light
Â
Ada juga tubuh yang tergolek ringkih,
menanti turunnya pengharapan pintu langit
Tawadhu, Tawadhu, Tawadhu, ujarnya lirih
Masih teringat, dibaca hafalkan wahyu
yang menggetarkan alam, ketika santri
Jelas bukan mencipta raut kebohongan dan kemashuran,
sebab hidup apalagi yang dicari selain budi
Jelas perangai tubuhnya tak lengkap sejak dini,
seperti banyakan orang yang kuyup
sekitar Traffic Light
Â
Ada juga kekasih yang tak kunjung guyub
yang lama dinanti kekasihnya diujung peron
Inginnya menghapus getir dan alpa diri, pikirnya
Mencari penghiburan yang semesta tak mampu digapai
Dikejarnya dunia yang fana, dari ujung hingga ujung
Hanya dengan motor butut
Tak pernah dipegangnya kuasa ilahi
Namun jelas, siapa yang tahu kuasa yang ditawarkan Tuhan
yang merekah bertaut cerita
sekitar Traffic Light
Â
Â
02/01/2015
Â
Malang, sekitaran Traffic Light
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H