Francis Bacon "jika kita tidak menjaga keadilan, keadilan tidak akan menjaga kita" pesan yang mengisyaratkan bahwa kita tetap harus menciptakan dan menjaga keadilan dalam kehidupan. Petuah tersebut seperti tujuan didirikan Negara. Negara yang sejahtera adalah negara yang mampu menjaga keadilan bagi setiap orang, khususnya lembaga peradilan dalam hal ini adalah mahkamah konstitusi.
Sesungguhnya keberadaan Mahkamah Konstitusi tidak bisa dilepaskan dengan keadaan politik dan hukum ketatanegaraan modern yang terjadi pada abad 20. Seorang tokoh berwarga negara Austria Hans Kelsen menggagas dibentuknya sebuah lembaga yang berwenang menguji produk hukum untuk menilai apakah produk tersebut melanggar hak konstitusional ataukah tidak. Sehingga produk tersebut bisa diberlakukan kepada masyarakat sebagai sebuah peraturan perundang-undangan. Atas dasar sistem check and balances inilah menjadi sebuah prinsip dalam negara demokratis, didirikan lembaga yang mempunyai kewenangan untuk menjaga konstitusi.
Di Indonesia, pembentukan Mahkamah Konstitusi terjadi setalah adanya amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang menambahkan pasal 24 ayat (2) sehingga berbunyi " Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi"
Atas dasar itulah dibentuk Undang-undang No. 24 Tahun 2003 yang diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konatitusi.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi terdapat dalam pasal 24 c ayat (1), yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar NRI 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang diberikan oleh UUD NRI 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselesihan hasil pemilihan umum. Kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
Disisi lain menurut pakar hukum tata negara jimly ashidiqqie kewenangan yang dimilik Mahkamah Konstitusi mempunyai peran, sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitusion), penafsir konstitusi (the interprete guardian of the constitution), pelindung hak asasi manusia ( the protector of human rights), dan pengendali keputusan berdasarkan sistem demokrasi ( the protector of the citizens constitusional rights).Â
Indonesia menuju masa transisi kekuasaan, memasuki tahun politik. Pergantian kekuasaan adalah hal yang lazim dalam negara demokrasi. Tanggal 14 Februari 2024 akan diadakan Pemilu serentak, Untuk memilih Presiden dan wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah, Dewan perwakilan daerah. Komisi pemilihan umum (KPU) telah menetapkan 24 partai peserta pemilu yang terdiri dari 18 partai nasional dan enam partai aceh yang akan ikut terlibat dalam konstetasi politik di tahun 2024. Partai politik telah mengusungkan calon presiden begitu juga dengan calon legislatif pada tingkat pusat dan daerah.Â
Aktivitas politik semakin hari semakin masif muncul di kehidupan masyarakat. Media sosial semakin intens menaikkan figur-figur yang dianggap layak menjadi pemimpin.Â
Namun pemilihan umum bukan hanya tentang hak dipilih dan hak memilih tetapi bagaimana menciptakan pemilu yang jujur, adil, langsung, umum, Â bebas, dan rahasia. Prinsip ini harus ditegakkan dalam pemilu. Terkadang realitas berkata lain berdasarkan data dari Bawaslu pada tahun 2019 banyak terjadi pelanggaran yang ditemukan, dan bahkan sampai pada penegakan hukum. Pelanggaran administrasi dengan jumlah 16.134, pelanggaran kode etik 373, pelanggaran pidana 582, pelanggaran hukum lainnya 1475 dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat pelanggaran terjadi saat pemilihan umum.
Ketika pelanggaran tersebut berpotensi terjadi di pemilu yang akan datang maka sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi akan menjadi benteng terakhir dalam memperjuangkan keadilan.Â