Catatan Kritis Atas Ranperda RZWP3K Babel
Dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) IV Pariwisata 2017 lalu, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pariwisata mengagendakan Visit Indonesia Wonderful Indonesia (VIWI) 2018 dengan target 17 juta wisatawan mancanegara (wisman) yang meliputi 17 destinasi unggulan termasuk Belitung. Tentu saja kabar ini menjadi angin segar bagi masyarakat dan perpariwisataan kepulauan Belitong. Betapa tidak, selama hampir 20 tahun negeri dan masyarakat laskar pelangi tersebut harus jatuh bangun pasca Timah dan ditinggalkan begitu saja oleh PT Timah dengan alasan economic of scale tahun 1998.
Puluhan ribu keluarga harus kehilangan pencaharian. Tidak sedikit yang keluarganya berantakan karena penghidupan ekonominya terenggut. Usaha lainnya juga terpukul karenanya. Tiada yang tersisa, hanya kulong bekas tambang timah yang masih berjejak hingga hari ini. Namun seiring dengan waktu, tanpa dukungan cukup dari pemerintah sekalipun, juga tidak berharap, keluarga-keluarga Belitong dengan inisiatif sendiri mulai merangkak dan merintis perlahan usaha baru non-Timah. Data BPS Babel 2011-2015 menunjukkan ada peralihan tenaga kerja yang signifikan dari bidang minerba ke perikanan, perkebunan dan pariwisata. Ironisnya, baru sedikit bernapas lega, eksploitasi Timah "jaman now" (tambang laut),kembali mengancam perairan dan pesisir yang menjadi modal utama ekonomi pariwisata dan perikanan.
Pasca likuidasi PT Timah di Belitung tahun 1998 ternyata tidak mengendorkan pelaku usaha bahkan Pemerintah Daerah Babel umumnya dan Belitung khususnya untuk mengais rejeki timah tersebut. Sekalipun sudah tergolong sunset industry (menurun). Bukan saja lantaran harga internasionalnya yang merosot, tapi cadangannya di Babel (Indonesia) berdasarkan data United States Geological Survey (USGS) 2011, cadangan timah di Indonesia (Babel) akan habis per tahun 2020. Â Bahkan dalam perkiraan PT Timah sendiri, cadangan Timah tersisa yang kadar orenya rendah (low grade). Dalam banyak benak pelaku usaha atau bahkan pejabat di Babel, Timah merupakan anugerah Yang Maha Kuasa yang memang harus dieksploitasi. Bahkan ada fantasi, bahwa Babel akan disejajarkan dengan Phuket. Ekspoitasu dahulu timahnya, setelahnya pariwisata akan berkembang. Padahal Phuket beralih ke pariwisata salah satunya dipicu oleh demonstrasi 50.000 massa yang berakhir atas penghancuran pabrik tantalum pada tahun 1986.
Pejabat-pejabat di Provinsi Babel seyogyanya bercermin kepada sikap mantan Bupati Wakatobi, Ir. Hugua yang menolak eksploitasi blok minyak di Wakatobi. Â "Cadangan minyak bumi, suatu saat akan habis terkuras. Kalau sumber daya kelautan diperlihara sebagai kawasan ekowisata, sampai dunia kiamat tidak akan pernah habis sebab para wisatawan menghasilkan devisa negara, tanpa mengambil apapun dari dalam", Â demikian kata Ir. Hugua. Dan alhasil, Wakatobi menjadi 10 destinasi prioritas pariwisata nasional. Bumi dan alam dikaruniakan kekayaan melimpah oleh Yang Maha Kuasa, namun manusianya dibekali akal dan kebijaksanan tentang mana yang "manfaat" dan "mudharat" dalam pemanfaatannya. Kegagalan manusia dalam menggunakan akalnya pada akhirnya berakibat kepada ratusan ribu hektar daratan Babel menjadi "rongsokan" tak terehabilitasi.
Tidak heran, bagaimana dana jaminan reklamasi yang hanya diwajibkan Rp 6 juta paling besar 14 juta per ha, sedangkan biaya nyata untuk memulihkan kembali lahan bekas tambang dibutuhkan Rp 200-300 juta per ha. Boro-boro direvisi, bahkan entah berapa kerugian yang dipikul negara ketika Kementerian Kehutanan terpaksa harus melakukan reklamasi. Bahkan praktek buruk justru akan diterapkan kembali dalam pertambangan laut? Dan dengan heroik sang kepala daerah akan berkata : saya sedang melaksanakan UU Minerba.Â
Selain minerba, daratan dan perairan juga diberkahi kemampuan produktif hayati yang tidak berkehabisan apabila dipelihara dengan baik. Sifat ekstraktif minerba tidak dapat dimanfaatkan dengan bidang hayati secara bersamaan (zero-sum). Sungguh naif, klaim bahwa perikanan dan pariwisata pesisir dapat berjalan seiring dengan kegiatan ekstraktif di perairan. Ada resume menarik dari Laporan 2016 The International Tin Research Institute (ITRI) yang menggambarkan sebagai berikut : "Significant deposits of tin are known to exist further offshore, but THESE HAVE NOT PROVEN TO BE AMENABLE TO THE DREDGING METHOD THAS HAS BEEN SO SUCCESSFUL in the shallow waters over the last couple of decades. Several private Indonesian companies have been investigating whether borehole mining would be a practical and economically viable way of exploiting these deeper deposits. Â
Resiko terbesar dari pertambangan selain kekeruhan air laut adalah kerusakan terumbu karang. Ada tesis menarik dari Intan Adhi Perdana Putri (IPB, 2009) yang meneliti valuasi ekonomi terumbu karang di Kepulauan Seribu. Dengan luas kurang lebih 4.397,06 ha terumbu karang mampu menghasilkan manfaat ekonomi senilai  Rp. 423.339.925.336,04 per tahun atau atau Rp. 96.277.950,57 per hektar per tahun. Terbayangkah besarnya potensi nilai ekonomi terumbu karang yang serupa di Babel yang berkisar 12.474,54 ha (paparan KLHS 15122017)? Ironisnya  5.270,31 ha terumbu karang tidak saja dibiarkan dalam kondisi mati, bahkan sebaliknya kehadiran pertambangan laut dengan Kapal Isap Produksi (KIP) beserta Tambang Inkonvensional (TI) Apung justru akan dan sedang mengancam 7.204,23 ha terumbu karang tersisa. Yang cukup menyesakkan, nilai dan potensi ekonomi terumbu karang sekitar Rp 693.616.202.070,96 (Rp 96.277.950,57*7.204,23 ha) per tahun akan terhancurkan demi industri yang dalam puluhan tahun belum mensejahterakan masyarakat Babel. Dan hari ini "pengrusakan" tersebut akan dilegalisasi atas nama zona pertambangan dalam RZWP3K Babel yang sedang ancar-ancar disahkan dalam waktu dekat.
Ancaman pertambangan laut  terhadap ektor perikanan, pariwisata, dan bidang lainnya bukanlah isapan jempol. Zero sum perikanan, pariwisata dengan pertambangan dapat dilihat pada data BPS Babel 2008-2014 (Produksi Biji Timah vs Produksi Penangkapan Ikan). Penurunan produksi biji timah berdampak kepada peningkatan produksi penangkapan ikan, sekalipun kenaikan pada sektor perikanan tersebut agak statis dikarenakan faktor cuaca dan dampak ekologis yang sudah berpengaruh. Rehabilitasi terumbu karang yang rusak baru akan pulih dalam waktu 50 tahun, dengan catatan tidak terjadi kerusakan susulan. Dengan kondisi ekologis dan ekonomi saat ini, maka kembali menggiatkan lagi industri pertambangan laut akan membawa mudharat ketimbang manfaatnya, apalagi di perairan Belitung yang menyumbang 50% lebih produksi penangkapan ikan Provinsi Babel. Ekstraksi minerba yang berumur jagung, akan  menenggelamkan potensi ekonomi perikanan, pariwisata dan lainnya yang sedang mekar untuk waktu yang sangat panjang dan bergenerasi-generasi.
Sedang menjadi keresahan besar di Belitung saat ini adalah kehadiran KIP Kamila dengan IUP PT KTU yang sudah dinyatakan berhenti sementara namun masih berhilir mudik di perairan Beltim. Desakan masyarakat Belitung kepada Gubernur Babel untuk mencabut IUP justru dijawab bahwa IUP KTU sudah berstatus Clean and Clear. Tegasnya Gubernur tidak akan mencabut IUP tersebut. Pernyataan Gubernur tersebut sontak mendapatkan reaksi kemarahan masyarakat Belitung yang menuntut referendum keluar dari Provinsi Babel. Mungkin berlebihan tuntutan tersebut dan bisa aja musykil, namun sebagai aspirasi kekecewaan jelas sah-sah saja. Apalagi dengan sejarah pilu masyarakat Belitung kepada tambang timah. Bagaimana masyarakat dapat percaya timah akan mensejahterakan yang umurnya hanya sampai 2020. Bagaimana tambang laut tidak akan merusak ekosistem perairan, kalau kerusakan daratan masih berjejak tanpa tanggung jawab, bahkan oleh perusahaan pelat merah sendiri?
Adalah kewajiban seorang Gubernur ataupun Kepala Daerah untuk tunduk dan menjalankan UU. Namun bukanlah Gubernur dan Kepala Daerah  "minerba" yang hanya tunduk dan menjalankan UU Minerba atau  tentunya UU Pemda. Sebagai negeri kepulauan, Gubernur beserta jajaran Walikota dan Bupati juga wajib tunduk pada amanat UU lainnya terutama UU pengelolaan lingkungan hidup (PPLH) ataupun UU pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil (PWP3K). Menjadi catatan untuk Gubernur dan jajaran Pemerintahan Provinsi, jelas bahwa segala IUP yang sudah ada terutama IUP PT. KTU beserta ijin KIP-nya di Belitung Timur ataupun lainnya jelas belum didasarkan kepada UU No.27 tahun 2007 jo UU No.1 tahun 2014 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Sedang berprosesnya pembahasan Rencana Zona Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang merupakan amanat dan syarat dari IUP selain ijin lokasi dan ijin pengelolaan, jelas merupakan bukti pelanggaran UU, apapun status Clear and Clean (CnC) berdasarkan UU Minerba.