Harus ada hal lain yang bisa mengalihkan fokusnya dari duka yang mendalam ini. Yang bisa membuat dirinya menjadi produktif kembali. Hal itu ia temukan dalam bisnis yang akan ia miliki sepenuhnya, bukan lagi milik bersama suaminya. Ia memutuskan menekuni bisnis kain tenun, sebuah keterampilan yang telah ia kuasai. Ia pun sudah memiliki modal jaringan kecil dari teman-teman arisan ataupun dari pelanggan bisnis Cahaya Bone yang juga ia kelola.
Kerja kerasnya terbayar dengan banyaknya orang yang membeli kain tenunnya, dan banyak yang menjadi pelanggan tetapnya. Jerih payahnya telah menghidupkan lagi cahaya yang sempat redup. Bukan hasil keuntungan yang paling berharga baginya, tapi bagaimana ia tetap bisa aktif, menjaga keutuhan jiwa anak-anaknya, dan menyalurkan energinya ke hal-hal yang produktif.
Meski mendapat banyak keuntungan dari bisnisnya, ia tak menjadi sombong terhadap suaminya, ataupun menghambur-hamburkan uang untuk bersenang-senang. Malah ia banyak menabung, dan tetap hidup dalam kesederhanaan yang berwibawa. Ia menabung berbatang-batang emas, yang di kemudian hari menjadi penopang keluarga dan suaminya di saat bisnis Hadji Kalla di ambang keruntuhannya.
Athirah juga aktif dalam organisasi perempuan Muhammadiyah, Aisyiyah. Ia makin rajin mengikuti pengajian organisasi, dan juga terlibat dalam program-program di dalamnya. Rumahnya terkadang dijadikan tempat berkumpul perempuan Aisyiyah, di mana ia turut menjadi pengisi pengajiannya.
Wujud Kearifan Lokal Perempuan Indonesia
Kisah Athirah layak menjadi salah satu kearifan lokal perempuan Indonesia. Bahwa sejatinya perempuan bukanlah makhluk yang diciptakan untuk bergantung pada laki-laki atau suami, tapi juga manusia yang mampu berdaya dengan keterampilan dan kekuatan batin yang ia miliki. Perempuan bukanlah manusia yang konsumtif, tapi sebaliknya ia sangat produktif sejak bangun hingga tidur kembali. Sikap kerja keras, kesabaran, dan kefokusan, membawa Athirah melebihi keseuksesan bisnis suaminya dan membalik keadaan menjadi tangan di atas. Ia menyelamatkan bisnis Hadji Kalla yang tergoncang hebat karena krisis ekonomi di tahun 1965an.
Walaupun melabuhkan energinya untuk berbisnis, Athirah tetap mampu mendidik kesepuluh anaknya hingga mereka dewasa tanpa ada yang terlibat kenakalan remaja ataupun kejahatan lainnya. Ia menjadi sosok ibu sekaligus ayah ketika suaminya tak ada di rumah. Ia menjadi kawan curhat, dan memperhatikan perkembangan pendidikan ataupun pergaulan anak-anaknya. Ia mendidik anaknya untuk selalu menjaga agama dan rajin beribadah. Ia sangat dekat, meski memiliki 10 orang anak, dan rajin saling berkirim surat pada anaknya yang merantau di luar Sulawesi ataupun luar Indonesia. Ia ingin agar anak-anaknya yang jauh dari rumah, tetap tertanam nilai budaya tempat tinggalnya.
Ketika seorang perempuan menjadi berdaya, tidak bergantung pada orang lain, ia takkan lagi diposisikan lemah. Bahkan makin tinggi derajatnya karena bisa memberdayakan dan menolong orang lain untuk ikut berdaya. Ia memilih untuk berdaya, dan melepaskan diri dari pilihan suaminya, mungkin karena pada akhirnya tiap jiwa akan dimintai pertanggungjawabannya masing-masing di hadapan Tuhan. Meskipun di dalam batinnya masih ada luka yang terus membayanginya, namun ia mampu mengelolanya.
Athirah juga mengajarkan bahwa dikhianati tak harus membuat dirinya juga berkhianat pada suaminya. Ia memilih untuk tetap setia hingga akhir hayatnya. Untuk bangkit tak harus memusuhi orang yang menyakiti kita. Ketulusan dan kesabarannya yang luar biasa menjadi teladan bagi anak-anaknya bahwa konflik tak harus disikapi dengan kemarahan dan permusuhan, tapi dengan jalan yang damai, dan terus maju bersama.
Akhir Kehidupannya
Athirah menutup usia pada tahun 1982, karena sakit sirosis yang parah. Ia meninggalkan duka yang mendalam pada kerabat, kesepuluh anak-anaknya, dan terutama suaminya. Setelah kepergian Athirah, orang-orang berucap bahwa cahaya di wajah Hadji Kalla telah hilang, ia tak pernah lagi tersenyum, apalagi tertawa. (Endah, 2013:379). Ia sangat berduka, dan menyesal telah menyakiti Athirah, perempuan yang sangat dicintainya. Akhirnya Hadji Kalla pun tutup usia tak sampai 100 hari setelah Athirah wafat.
Athirah ialah salah satu wujud kearifan lokal perempuan Indonesia. Kearifan lokal tentang perempuan yang memilih kehidupan daripada kematian jiwa, yang mengedepankan produktivitas daripada konsumtif, yang selalu menanam kasih sayang bagi anak-anaknya meski ia terluka dalam batinnya. Yang selalu mengedepankan pikiran yang jernih dan pengelolaan emosi. Serta kearifan untuk menggali potensi diri dan lingkungan yang dimiliki menjadi modal untuk berdaya.
Dari kisah Athirah, sangat mungkin ada hal yang tidak akan disepakati oleh perempuan masa kini, khususnya sikapnya saat dipoligami. Namun, hal itu pastilah terikat dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat pada masanya. Mengingat Athirah dilahirkan di tahun 1924, di mana perempuan sangat terbatas hak-haknya dalam menentukan pilihan hidup, tidak sebagaimana perempuan di masa kini yang lebih diakui hak-hak pilihnya.