Mohon tunggu...
Wirtoyo Kamarudin
Wirtoyo Kamarudin Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Brokerpreneur, Freelance Marketing, WebDesign,

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kualitas Demokrasi Antara Pilkada dan Pandemi

24 November 2020   06:18 Diperbarui: 24 November 2020   06:23 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pandemi dan Pilkada nampaknya akan berkorelasi dengan upaya mereduksi politik uang di tengah hajatan politik lokal, dan ini tentunya akan menjadi tantangan besar bagi aparat dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam penegakan demokrasi yang bersih jujur dan terbebas dari noda kecurangan politik. 

Membangun iklim demokrasi memang idealnya diterapkan dengan prinsip kejujuran yang berkeadilan namun kita juga harus melihat fakta dilapangan seperti apa.

Pilkada merupakan prosesi membangun demokrasi untuk menentukan arah kebijakan pemerintah daerah yang tentunya melibatkan unsur terbesar didaerah pilihan yaitu masyarakat daerah tersebut untuk menentukan pilihan politik melalui sosok calon kepala daerah yang dianggap bisa dan mampu merepresentasikan harapan dan impian untuk kesejahteraan masyarakat didaerahnya.

Berdasarkan rilis BPS tahun 2019 menunjukan bawah index demokrasi kita meningkat, itu artinya membangun demokrasi di masyarakat kita mudah dan sangat bisa dilakukan melalui sosialiasi dan membangun kesadaran di masyarakat. 

Akan tetapi ada satu hal yang perlu kita sadari bahwa demokrasi yang terbangun dan tercipta ternyata belum bisa dan mungkin tidak akan berdampak pada penurunan politik uang.

Masyarakat Berdemokrasi Belum Tentu Bebas Dari Politik Uang

Kenyataan yang terjadi hasil dari kemenangan pilkada hanyalah sebuah proses akhir perhitungan suara yang menciptakan euforia kemenangan dari salah satu pihak saja, dan itu sekali lagi toloukurnya adalah kuantitas bukan kualitas dari demokrasi itu sendiri, jika kita memandang demokrasi hanyalah faktor besaran suara yang didapatkan dengan mengkesampingkan kualitas demokrasi itu sendiri, maka yang akan terjadi menurut saya adalah demokrasi semu yang berdasarkan pada pondasi yang rapuh.

Jika memang yang demikian dijadikan acuan utama dalam penentuan kemenangan pilkada, maka tidak heran jika semua pemenang pilkada adalah mereka yang memiliki modal kuat dan sokongan dari donatur-donatur yang memiliki kepentingan setelahnya. 

Namun kita juga harus fair dalam bersikap memang tidak semua pememang pilkada yang memiliki modal kemudian mereka menjadi pemenang lantas kita menganggapnya sebagai pemain politik uang, tidak boleh juga kita bersuudzon seperti itu.

Sepertinya harapan kita untuk menghilangkan Politik Uang dari hajatan politik masih jauh dan sulit terrealisasi selama kesejahteraan masih belum terdistribusi secara merata, kenyataan berdemokrasi akan tetap identik dengan politik uang. 

Demokrasi harus tetap berjalan namun bagaimana untuk menyelaraskan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran itu adalah PR besar bagi kita semua untuk menyadarkan mereka-meraka yang terlibat dalam proses demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun