Sastra sudah menjadi pelengkap kehidupan dari masa ke masa. Tanpa ada perubahan, tetapi selalu tumbuh berkembang dan tak mungkin mati. Orang menyebut sastra dengan sebutan gaya bicara yang nyeni atau mengandung seni, terlebih pada orang-orang zaman dahulu ketika Nusantara masih dikuasai oleh beberapa kerajaan, hingga melahirkan beberapa penyair dan penulis pada zamannya.
Mengenai sastra itu sendiri, sebenarnya yang menjadikan sastra menarik adalah ketika kita menggunakan sastra di dalam kehidupan sehari-hari, kita dibiasakan oleh sikap berpikir mengenai pemilihan kata atau diksi.Â
Maksudnya bagaimana? Orang kalau sudah bersastra, pasti ngomong-nya hati-hati atau kalau menyindir supaya tidak menyinggung atau bersifat lucu biasanya menggunakan satire atau majas/pengolahan gaya bahasa yang digunakan untuk menyindir objek yang akan kita tuju. Terkesan asyik memang, kelihatannya kita memiliki keilmuan yang mendalam. Tetapi, naasnya hal tersebut tidak berlaku di zaman milenial, terutama pada anak generasi emas.
Kenapa saya menyebut generasi emas? Saya hitung secara periodik, yang saya tahun generasi X adalah kita yang lahir di tahun 1990-1999, sifatnya adalah kita dituntut untuk kreatif, kerja keras, wani perih atau segalanya diperjuangkan untuk apa yang ingin kita tuju dan berani mati untuk melakukan perubahan.Â
Faktornya adalah pada saat rezim Soeharto, yang menjadikan manusia yang lahir pada saat itu adalah manusia-manusia yang kreatif, aktif, kritis dan revolusioner, terlebih orang-orang ibukota dan sekitarnya. Bisa dibuktikan kepada Anda yang lahir di tahun tersebut.
Nah, generasi X ini punya kewajiban untuk generasi Y, kisaran lahir tahun 2000-2010, dimana generasi Y ini sudah mengenal teknologi. Apapun yang dipegang adalah teknologi, namun jiwa kerasnya masih tetap ada. Tugasnya adalah menempa dan membimbing generasi Y ini supaya tidak terjerumus pada teknologi, apalagi mengenai keilmuan dan kebahasaan, serta sastra.
Generasi Y yang sudah matang, dihadapkan dengan generasi Z, yang manjanya minta ampun, apa-apa tiap hari gadget dan teknologi yang digunakan. Ini menjadi tugas berat bagi X dan Y. Bahkan kabarnya, di generasi ini kesusastraan, kebudayaan lokal dan tata bermasyarakatnya makin berkurang, mentalitas ngkramani atau sopan santunnya masih di bawah rasio lumayan. Nah, apa sih korelasinya dengan sastra? Kok bisa nyambungnya jadi perbandingan generasi?
"Begini, saya coba ulas mengapa sastra di zaman milenial makin kurang diminati? Apakah ada yang tidak menarik? Atau justru harus dengan perpaduan atau kolaborasi?"
Justru para pegiat sastra saat ini mengupayakan bagaimana sastra ini bisa tumbuh secara nyata dan menjadikan manusianya aktif dan bersikap seni dalam hidupnya. Pertama, kita punya problem yang bisa dianggap sangat serius. Kita punya anak bangsa yang belum mengenal bangsanya sendiri. Maksudnya bagaimana? Anak bangsa zaman sekarang dari kecil sudah dipegangi gadget, mending jika dibuat untuk searching knowledge or motivation of life, kalau yang dicari adalah game dan hiburan?
Kedua, kita tidak bisa melulu memberikan edukasi sastra kepada mereka dengan gaya klasik. Boleh gaya klasik tetapi bisa kita kolaborasikan dengan hal-hal yang mereka sukai, misalnya dengan hiburan, tontonan yang menarik, kemudian kita kemas dengan perpaduan sastra. Contoh, bikin film kartun tetapi cara bicaranya ada yang bersastra misalnya dua atau tiga tokoh, atau membuat kejutan kepada tokoh yang mereka idolakan. Dampaknya menarik nantinya jika sudah terjadi.
Ketiga, kita perlu belajar memahami mindset anak-anak serta masyarakat. Lagi-lagi ini pengalaman saya ketika saya belajar sastra, masyarakat selalu menanyakan, "Emang jadi penulis untungnya apa?", "Nulis terus, mbok ya kerja jadi cowok tuh," bahkan ada yang nyelekit lagi, "Bujang kok gaweane turon karo moco buku." (Laki-laki kok kerjaannya rebahan sambil baca buku). Tanpa mereka tidak tahu bahwa saya berusaha untuk belajar menulis dan menjadikannya sebagai penambah isi dompet.