Mohon tunggu...
Prawiro Sudirjo
Prawiro Sudirjo Mohon Tunggu... -

Technical Teacher of SMK Citra Mutiara. Smart, energetic, blog lover

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengky Priyocahyono > Majapahit (Wilwatikta) The Country of Chao-wa (Bagian dari catatan Ma Huan-YING-YAI SHENG-LAN) ‘The Overall Survey of The Ocean's Shores

13 Juni 2013   20:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:04 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Legenda masyarakat menceritakan tentang raja Setan, berwajah hitam, badan dan rambutnya merah. Kawin dengan monster air di negeri ini, dan memperanakkan lebih dari seratus anak, yang selalu menkonsumsi darah dan banyak orang menjadi santapan mereka. Tiba tiba, sebuah sambaranpetir membelah batu karang yang didalamnya duduk seorang pria. Semua orang takjub dan memuji dia, dan memlilhnya menjadi raja, dan dia memimpin orang2 yang ahli berperang, dan mengusir monster air dan gerombolannya. Setelah itu,masyarakat tumbuh dan berkembang dalam damai. Inilah sebabnya, pada masa berikutnya orang2 menyukai kekejaman dan keganasan.

Adalah sebuah ‘pertemuan tombak bambu yang diselenggarakan­ regular tiap tahun. Bulan kesepuluh sebagai awal pembukanya. Sang Raja menempatkan sang permaisuri di ‘kereta pagoda’ yang berjalan di depan, dan sang raja sendiri menumpangi kereta di belakangnya. Kereta pagoda ini tingginya lebih dari 1 chang (10 kaki 2 inci) dengan jendela pada keempat sisinya, dan di bawahnya ada poros putar. Dan (kereta ini) ditarik oleh kuda.

Di tempat pertemuan itu, kontestan membuat garis diantara mereka, dan masing2 meraih tombak bambu. Tombak bambu ini padat tanpa mata pisau, tapi dipotong runcing, sangat kuat dan tajam. Setiap petarung pria membawa istri atau budaknya, yang masing2 memegang kayu yang dililit ban besi (wooden stave) sepanjang 3 Ch’ih (3 kaki 1 inci), dan berdiri diantara garis. Mengikuti suara gendang yang ditabuh irama pelan dan cepat sebagai sinyal, dua petarung meraih tombaknya, maju dan saling menghujamkan tombaknya. Mereka beradu tiga kali, dan kemudian istri2 kedua petarung meraih kayu tongkatnya mendorong dan meneriak ‘Na-la, na-la’ (mungkin berarti ‘larak’ atau tarik kembali), ketika kedua petarung terpisah. Bila seorang petarung mati tertikam, Raja membuat sang juara memberikan satu keping uang emas bagi keluarga si mati, dan istri si mati mengikut sang juara. Begitulah olahraga menang kalah dalam pertempuran yang mereka buat. (olah raga ini mirip ‘senenan’ yang populer di jawa timur sampai abad 19).

Tentang ritual perkawinan; pertama mempelai pria bertamu ke rumah keluarga mempelai wanita, maka perkawinan bisa dilaksanakan. Tiga hari kemudian, mempelai pria mengawal mempelai wanita pulang, dimana keluarga pria menabuh drum & gong kuningan, meniup pipa batok kelapa (mungkin senterewe), menabuh drum dari tabung bambu (mungkin gong tiup), dan menyulut kembang api, dimana didepan dan belakang mereka dikawal sekeliling oleh pengawal pria dengan pisau pendek dan tameng. Wanitanya berambut kusut, anggota badan tak tertutup dan bertelanjang kaki. Dia mengkaitkan kain sutra bordir di sekelilingnya, di lehernya berhias kalung dan manik2 emas, dan pada pergelangan tangannya memakai gelang dengan ornamen emas, perak dan hiasan berharga lainnya. Famili, teman2 dan tetangga menghias perahu dengan daun sirih, biji pinang dan alang2 dan bunga yang dijahit, dan mengatur pesta untuk mengiringi pasangan mempelai dalam ritual peringatan pernikahan di kesempatan yang membahagiakan tersebut. Saat tiba dirumah mempelai pria, gong dibunyikan,drum­ ditabuh, minum angur (mungkin tuak) dan memainkan musik. Setelah beberapa hari mereka bubar.

Kebiasaan ritual kematian; jika ada bapak atau ibu yang akan meninggal, anak 2 nya akan menanyakan pada bapak atau ibunya tsb apakah setelah meninggal ingin diumpankan kepada anjing, atau dibakar (ngaben) atau dihanyutkan ke air; bapak atau ibunya akan menyampaikan keinginannya, kemudian, setelah kematian, anak2nya akan menuruti keinginan tsb. Jika keinginan yg disampaikan adalah untuk diumpankan anjing, maka jenasah akan dibawa ke tepi laut atau tanah yg terbengkalai (kosong) dimana lusinan anjing telah mengikuti. Jika daging jenasah habis sempurna dimakan tanpa sisa, maka itu dihargai sebagai sesuatu yg baik. Tetapi jika tidak habis sempurna, maka anak2 si mati akan menangis sangat sedih, berteriak dalam duka, dan mambawa sisa2 tulang, menghanyutkan ke air dan pergi.

Selain itu, saat orang kaya atau pemimpin atau seseorang berkedudukan tinggi akan meninggal, pelayan2nya yang paling dekat dan gundik2nya pertama akan mengangkat sumpah pada dewa2, mengatakan ‘kami akan mati bersamamu’. Setelah kematian, pada hari pemakaman, dibangunlah kerangka kayu yang tinggi. Dimana dibawahnya terdapat tumpukan kayu bakar yang disiapkan untuk membakar peti mati. Dua atau tiga gadis pelayan dan gundik yang telah mengangkat sumpah menunggu sampai kobaran api mencapai puncaknya; dan kemudian, dengan memakai hiasan daun2an dan bunga2 dikepala ,tubuh berbalut kain berpola lima warna, mereka menaiki rangka kayu sambil menari, meratap, untuk waktu baik yang telah lalu, kemudian mereka melemparkan diri ke bara api, dan dilalap api bersama tuannya, sesuai dengan ritual pengorbanan hidup kepada si mati.

Orang2 asing yang kaya sangat banyak. Dalam transaksi perdagangan, koin tembaga dari dinasti turun temurun di pusat negeri digunakan secara langsung.

Untuk mencatat mereka telah mengenal huruf sama dengan aksara So-li (Chola-Coromand­el /­ India selatan). Tidak ada kertas atau pena, mereka menggunakan Chiao-chang (kajang-Melayu) atau daunlontar, diatasnya ditulis dengan menggores menggunakan pisau tajam. Mereka juga memiliki tata bahasa. Cara bicara masyarakat negeri ini sangat indah dan lembut.

Dalam sistim berat (timbangan); setiap chin adalah 20 liang; tiap liang setara 16 Ch’ien, dan setiap Ch’ien setaraempat ku-pang. Tiap ku-pang setara 2 fen.

Sistim ukuran mereka memotong bamboo untuk membuat ‘sheng’; setara 1 ku-la; setara dengan8 ‘ko.

Pada hari ke limabelas atau enambelas malam hari setiap bulan, pada malam bulan purnama yang terang dan cerah lebihdari 20 atau bahkan lebih dari 30 wanita asing bersama2 membuat suatu rombongan dengan dipimpin seorang dari mereka, masing2 memegang pundak orang didepannyamembu­at barisan yang tak terputus dan berjalan dibawah sinar purnama memimpin nyanyian asing dan seluruh rombongan membalas nyanyian secara berbarengan , dan bila mereka tiba di beranda rumah family atau orang kaya dan berdiri menunggu, maka mereka akan menerima hadiah koin tembaga atau barang lainnya. Ini disebut “jalan2 musikal bulan purnama”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun