Pro-kontra terkait penetapan Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berdasarkan zonasi sangat besar kemungkinan akan terjadi. Dalam hal ini, pihak (calon siswa dari tingkat dasar dan menengah) pasti akan ada yang merasa "dirugikan" Â ataupun "diuntungkan" oleh pelaksanaan sistem ini.
Sebab sebelumnya kebijakan atau solusi untuk pengembangan pendidikan di negara ini  belum seperti situasi yang sekarang ini. Ini adalah hal yang lumrah. Itulah namanya perubahan. Semuanya bisa berbeda oleh waktu dan kondisi pada saat tertentu.
Dulunya, para pengambil kebijakan terkait pembangunan sekolah-sekolah belum mengacu kepada pemerataan pendidikan, mungkin. Mengingat juga bahwa pendirian suatu sekolah tidak semudah apa kita bayangkan. Â Sehingga sekolah pun didirikan "seadannya" saja tanpa benar-benar mempertimbangkan hal yang akan berkaitan di kemudian hari. Yang penting kebutuhan pendidikan masyarakat pada saat itu terpenuhi. Â Â
Ada beberapa sekolah di beberapa daerah mungkin yang tidak cocok diterapkan sistem zonasi ini.  Seperti akibat letak geografis dari sekolah  tidak sesuai dengan penyebaran penduduknya.  Sehingga memungkinkan untuk banyaknya pihak yang merasa dirugikan.
Dan terjadilah masalah-masalah seperti yang kita lihat sekarang ini. Tetapi tidak juga bagi semua orang kebijakan " sistem zonasi" ini jadi permasalahan. Ada banyak pihak juga yang merasa "diuntungkan" dan juga sangat mendukung program ini walaupun merasa "dirugikan" namun bisa memahami maksud pemerintah dalam menerapkan sistem ini di PPDB.
Salah satu tujuan utama penerapan sistem zonasi di PPDB adalah untuk mensukseskan tujuan pemerintah dalam hal terwujudnya "pemerataan kualitas pendidikan" dan pembenahan delapan standar pendidikan di Indonesia.
Tentang  Sistem PPDB
PPDB terdiri dari tiga jalur yaitu zonasi, prestasi, dan jalur perpindahan orang tua/wali. Dan masing-masing jalur ini memiliki kuota, jalur  zonasi  90 persen, prestasi 5 persen dan jalur penpindahan orangtua/wali 5 persen. Untuk jalur prestasi dan jalur perpindahan orang tua/wali, si Abang kurang tahu pasti cara penilaiannya.
Untuk jalur zonasi, cara penilaiannya atau sejenisnya berdasarkan nilai zonasi, UN dan  Rapor SD (untuk calon SMP) dan SMP (untuk calon SMA). Dalam hal ini, semakin dekat tempat tinggal calon siswa dengan sekolah maka memiliki nilai "zonasi" yang lebih tinggi. Inilah kelebihan si calon siswa yang lebih dekat  tempat tinggalnya dengan sekolah.Â
Dan bukan berarti tidak bersaing dengan calon siswa yang masih dalam lingkup zonasi yang ditetapkan oleh sekolah.  Hal ini berdasarkan sistem yang Abang ketahui tahun 2018 lalu, ketika ikut berbincang dengan orangtua keponakan si Abang  ketika mendaftarkan anaknya ke salah satu SMP Negeri di Kota Bandung. Mohon koreksiannya jika kurang tepat.  Hehehe.
Ketidaksesuaian penerapan PPDB sistem zonasi di beberapa daerah dan untuk pihak-pihak tertentu.
Seperti dilaporkan oleh Detik.com pada 14 Juni 2019 bahwa  di Jawa Tengah Pelaksanaan PPDB mendapatkan kritik dan protes dari masyarakat. Dengan alasan sistem zonasi ini, minim mengakomodasi siswa berprestasi.
Sehingga gubernur Ganjar Pranowo sampai memutuskan untuk mengambil sikap, dan menyarankan kepada Menteri Pendidikan untuk menaikkan persentasi jalur prestasi menjadi 20 persen. Mudah-mudahan saja saran pak Gubernur ini, telah melalui pertimbangan yang matang.
Namun tulisan ini, tidak bermaksud untuk menanggapi langkah pak Ganjar dalam memberikan masukan baru tentang pelaksanaan sistem PPDB. Tetapi sebagai contoh bahwa pro-kontra tentang pelaksanaan sistem zonasi yang dituangkan dalam Permendikbud Nomor 15 Tahun 2018 ini akan terjadi oleh beberapa faktor.Â
Dan seperti yang Abang tuliskan sebelumnya, bahwa pendirian sekolah yang dulu-dulu bukan semata-mata untuk mendukung ide sistem zonasi yang dilaksanakan saat ini. Dan mungkin ide ini pun baru akhir-akhir ini pernah terpikirkan oleh pengambil kebijakan  di dunia pendidikan Indonesia.
Sistem zonasi, pemerataan kualitas pendidikan, dan hak  pendidikanÂ
Tentang adanya sekolah favorit terutama untuk sekolah negeri, bukan sekedar mitos. Tapi fakta yang hingga sekarang sebetulnya masih berlangsung. Baik di perkotaan maupun di daerah.
Ada sekolah tertentu yang siswanya adalah siswa-siswa yang terbaik di suatu daerah. Bahkan ada yang datang dari daerah lain. Jika prestasi dan nilainya memungkinkan maka bisa bersekolah di sekolah tersebut. Â Dan alhasil, sekolah ini pun biasanya akan menghasilkan lulusan-lulusan terbaik. Mungkin saja indikatornya rata-rata nilai UN atau juga jumlah murid yang bisa lolos ke Perguruan Tinggi Negeri setiap tahunnya. Â Sehingga sekolah ini akan menjadi "sekolah unggulan/ favorit".
Apakah ini menjadi masalah?. Mungkin bagi sebagian pihak, tidak. Tapi bagi sebagian pihak lagi, iya. Dalam kasus ini pemerintah adalah salah satu pihak yang memandang ini sebagai sebuah masalah. Harus dicari solusinya.Â
Dan yang tidak kalah penting bahwa permasalahan ini pastinya sudah digodok sedemikian matang. Iya, tujuannya adalah untuk mengubah paradigma masyarakat dan calon siswa tentang sekolah unggulan tersebut. Supaya kedepannya, upaya pemerintah dalam menjamin keadilan pendidikan bagi setiap warga semakin terwujud. Dan juga dalam upaya pemerataan kualitas pendidikan di setiap daerah tentunya.
" Sekolah favorit" umumnya didominasi oleh siswa dari kalangan yang berekonomi menegah ke atas. Apakah fakta?. Bisa saja "iya" atau "tidak". Namun dalam pernyataan Menteri Pendidikan, Muhadjir Effendi, adanya indikasi, "iya". "Sekolah unggulan itu hanya identik dengan siswa yang pintar dan berekonomi menengah ke atas", Detik.com, 19 Juni 2019.
Sederhananya, keluarga dari ekonomi menengah ke atas mampu memberikan tambahan jam belajar kepada seorang anak. Dengan misi, meluluskan anak ke sekolah favorit yang diinginkan. Bahkan ada yang berani membayar "mahal" suatu pihak tertentu seperti guru private dan atau bimbingan belajar untuk mewujudkannya.
Akibatnya terjadi kesenjangan dalam hal penerimaan siswa baru si suatu sekolah pada daerah tertentu. Anak di sekitar sekolah yang tidak memiliki nilai bagus harus tersisihkan oleh anak yang nilainya  lebih tinggi. Â
Padahal, siswa yang memiliki nilai lebih tersebut adalah siswa dari daerah yang lain dan atau jauh dari sekolah tersebut.  Sehingga bisa memicu terjadinya, masalah lain di dunia pendidikan seperti anak dari keluarga kurang mampu harus bersekolah ke swasta dengan biaya yang lebih mahal. Dan bisa berujung pada  putusnya sekolah anak karena tidak mampu.
Sistem zonasi mudah-mudahan bisa menjadi solusi yang tepat  dalam percepatan pemerataan kualitas pendidikan, dan juga terwujudnya keadilan bagi setiap warga negara dalam hak pendidikannya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H