Ketika menggunakan pereaksi tersebut, tiba-tiba wadah gelasnya langsung pecah sewaktu diletakkan ke alas meja lab. Seluruh pereaksi tumpah begitu saja di ruang asam.
Kemudian si mahasiswa dengan jujur melaporkan kejadiannya kepada kepala lab. Namun, sayangnya ia justru "langsung" mendapat marah dari kepala lab tersebut yang juga dosen pembimbingnya, dihadapan beberapa orang, ada dosen lain dan juga pegawai lab.
Begini kira-kira langsung tanggapannya. " Kamu yang memecahin ya,? Iya pak, jawab mahasiswa. "kamu itu kalau bekerja hati-hati, kamu tidak tahu, itu semua mahal bahannya". Dengan nada yang meninggi. Â
Kemudian, pereaksi pun diizinkan kembali untuk dibuat. Â Besok harinya mahasiswa lainya pun, tiba-tiba memecahkan lagi botol pereaksi tersebut. Ia pun mengatakan bahwa dia sudah sangat hati-hati dalam menggunakannya.
Lalu, dilaporkan kembali kepada kepala lab. Tanpa berusaha untuk berpikir panjang. Kepala lab pun kembali marah-marah kepada  mahasiswa tersebut dengan alasan karena tidak hati-hati. Pereaksi pun terbuang lagi begitu saja dan botol pun pecah begitu saja.
Kemudian, diizinkan lagi untuk membuat pereaksi tersebut. Akibatnya pengguna pereaksi pun kadang takut-takut dalam menggunakannya. Dan tetap saja terjadi hal yang sama beberapa kali, gelasnya pecah, peraksi hilang begitu saja, terjadi kerugian oleh mahalnya bahan kimia, dan "marah-marah" pun berlanjut seperti biasa.
Hingga pada akhirnya kepala lab sepertinya menyadari ada yang tidak cocok di antara pereaksi kimia tersebut dan wadah gelasnya. Sehingga wadah gelasnya pun diganti dengan pertimbangan beberapa hal mulai dari jenis bahan gelasnya dan cara pembuatannya.
Kemudian, tidak terjadi lagi pecahnya wadah pereaksi tersebut.
Walaupun akhirnya disadari, lalu kemudian muncul solusi. Namun, ada unsur keterlambatan hingga sudah menelan korban marah, juga kerugian secara material.
Dari kasus ini, ternyata kata marah ataupun memarahi itu, bukan kata yang sederhana yang layak diaggap sepele. Ternyata  kita butuh belajar banyak untuk memaknai marah, terutama dalam proses pendidikan.
Coba kalau, kepala lab dari awal bertanya dan percaya bahwa mahasiswa kimia tersebut sudah hati-hati melakukannya, namun gelasnya masih pecah. Mungkin marah itu tadi tidak sampai merugikan energi, waktu, dan materi. Belum lagi tekanan psikis terhadap yang dimarahi tersebut.