Mohon tunggu...
wiro naibaho
wiro naibaho Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Belajar menulis,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Masalah Guru Seutuhnya Harus Dibenahi

22 Maret 2019   22:33 Diperbarui: 23 Maret 2019   18:32 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: guru sedang mengajar (kompas.com)

Usai debat cawapres pada Minggu 17 Maret 2019, sejumlah isu mencuat dan meramaikan media dan media sosial. Isu debat yang manarik perhatian penulis adalah sektor pendidikan yang disampaikan oleh cawapres 02, Sandiaga Uno (Sandi).   

Dua poin solusi pendidikan yang disinggung oleh Sandi yakni tentang guru hononer dan penghapusan Ujian Nasional.

Topik guru dalam debat  antara Sandi dan Ma'ruf Amin ini memacu penulis untuk memberikan respon.  Respon ini kemudian diekspansi  menjadi isu secara umum tetang kondisi guru di Indonesia.

Di luar wacana "kampanye", topik pembicaraan masyarakat tentang guru sedang lagi viral-viral-nya di media. Kecanggihan teknologi saat ini membuat pemberitaan tentang kasus yang mengarah kepada "pelecehan" guru sering muncul di media dan media sosial. Seperti halnya murid menantang guru di kelas untuk berkelahi, murid memukul guru dan bahkan orangtua murid memukul guru, dan kasus lainnya. Akibatnya, guru  menjadi profesi  yang sedang butuh "simpati" dari masyarakat luas.

Di lain hal,  isu guru makin mencuat sehubungan dengan nasib guru hononer yang tak kunjung diselesaikan.

Diantara sekian banyak masyarakat yang simpati dengan kondisi guru. Sandi adalah salah satunya. Sehinngga menggangkat topik "guru" sebagai salah satu solusi masalah pendidikan di Indonesia saat ini. Hatur nuhun pisan Pak Sandi.

Walaupun dalam ideanya tersebut  hanya menyebutkan tentang permasalah terkait guru honorer. Namun, sebenarnya professi guru seutuhnya sangat perlu dibenahi di negeri ini. Seperti  tingkat kesejahteraan yang mencakup besaran gaji dan juga kompentensi guru.

Pemerintah harus  sigap menangani isu guru. 

Status keprofesian  guru di negeri ini masih dipertanyakan. Meskipun sudah jelas undang-undangnya, yaitu UU No. 14 tahun 2005.

Terjadinya  "krimanalisasi" oleh sejumlah oknum terhadap guru. Ini membuktikan bahwa profesi guru dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat sehingga tidak mengapresiasinya dengan wajar.

Dari segi besaran gaji misalnya. Gaji guru tidak jauh berbeda dengan upah pekerja lain yang relatif  tidak memerlukan keterampilan khusus. Jika dihitung-hitung, ternyata besaran tidak lebih besar dari pekerjan-pekerjaan lain tersebut. Bahkan lebih rendah. Misalnya, kernek, pelayan, tukang bangunan dan pekerjaan lain yang belum  termasuk sebagai profesional.  Jadi, tidak salah jika masyarakat menganggap bahwa profesi guru adalah pekerjaan yang gampang.  

Terkait gaji guru hononer. Lebih miris lagi tentunya. Masih ada yang  bergaji Rp. 300 per bulan. Yang membuat presiden Jokowi "terkejut" beberapa waktu lalu.

Dalam masalah yang satu ini. Tidak ada pilihan lain. Perintah harus sigap menangani isu terkait guru ini. Bukankah kita sepakat, bahwa masa depan bangsa ini ada di tangan guru?

Guru harus diciptakan dari bibit yang "unggul".

Pemerintah juga sebenarnya  menggangap profesi guru adalah pekerjaan mudah. Terbukti,  dari sistem penerimaan mahasiswa untuk perguruan tinggi negeri (PTN) yang kita kenal dengan SBMPTN. Dalam SBMPTN, passing grade (nilai standar kelulusan) untuk mahasiswa keguruan adalah salah satu yang paling rendah. Berbeda dengan fakultas ataupun jurusan lain yang juga menjurus profesi, relatif tinggi dan ataupun tertinggi passing grade nya. Seperti  Farmasi, Kedokteran, Hukum dan yang lain.

Padahal jika dikaji lebih mendalam. Profesi guru adalah pekerjaan yang memiliki objek sasaran yang paling rumit, yaitu manusia. Misalnya dalam satu kelas, ada 40 siswa. Artinya guru akan menghadapi 40 jenis manusia yang berbeda dengan dinamika perilaku yang sangat tinggi. Sangat rumit.

Seharusnya yang menjadi seorang guru adalah seorang yang jenius, jikapun tidak maka harusnya yang terbaik dari yang terbaik.

Kenyataannya sekarang ini, bibit unggul sumber daya manusia (SDM) kita bukan berada pada pendidikan keguruan.  Tapi diantara bibit-bibit yang gagal mencapai  jurusan impianya (untuk sebagian). Mereka yang terpaksa turun tahta memilih alternatif kedua atau ketiga. Atau mereka yang sudah tahu, posisi grade-nya, sehingga tidak memilih jurusan yang lebih tinggi nilai kelulusannya.

Bisa dipastikan input mahasiswa keguruan, bukanlah dari perserta ujian terbaik untuk PTN. (maaf)

Input dan output suatu perguruan tinggi umumnnya adalah berbanding lurus. Bibit yang lebih unggul juga akan menghasilkan hasil yang lebih berkualitas.

Jadi wajar saja, jika kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkat kualitas guru ( seperti sertifikasi guru dan pelatihan yang lain) tidak maksimal. Terbukti dari hasil UKG, nilai rata-rata kompetensi guru masih sangat jauh dari yang diharapkan. Dan buntut dari inilah yang kita lihat bersama dalam kualitas pendidikan nasional kita.

Padahal kita semua pasti sepakat bahwa masa depan bangsa ini tangan guru. Dan guru yang berkualitas  akan menjamin mutu pendidikan yang makin mantap.

Jika menginginkan solusi permasalahan pendidikan di bangsa ini terkait guru. Mulailah dengan menciptakan guru dari bibit yang "unggul". Niscaya SDM yang "unggul" disegala bidang tercipta.   

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun