“Baik-baik saja. Hanya ada banyak orang di pinggir jalan,” jawab saya.
Sampai di Bailoe Oikumene, ke ruang Balitbang, saya kembali dengan John. Sejenak duduk, saya langsung istirahat menunggu besok untuk beraktivitas lagi. Saya bersyukur hari ini bisa menyelesaikan beberapa tugas, dan yang paling berkesan, bisa bertemu sahabat masa kecil Idris, justru di Waihaong pada saat malam sudah larut dan tak ada lalu-lalang orang di situ.
***
Matahari menyinari Kota Ambon, 15 Desember 2011. Saya harus ke kampus mengikuti kuliah, namun ketika keluar di Balitbang GPM, saya melihat kerumunan orang di jalan dengan suara-suara keras.
Saat mendekat, saya tahu ada sopir-sopir angkot dan orang-orang lain berdemonstrasi. Mereka melewati beberapa ruas jalan di Ambon. Mereka berhenti di Pos Lantas, melampiaskan emosi pada rambu-rambu lalulintas. Mereka melanjutkan aksi di Kantor DPRD Kota Ambon.
Rupanya, mereka ini adalah para sopir angkot dan keluarga dan kenalan Rivaldo Petta. Rivaldo adalah sopir angkot Kudamati, yang tewas setelah ditusuk orang tak dikenal.
Alex, juru bicara demonstran tampil ke muka. Dia mempertanyakan jaminan keamanan di Ambon. Kemarahan dan kata-kata yang keras dilontarkan. Ketua DPRD Kota Ambon Rein Roumahu merespon tuntutan mereka.
“Kami akan mengundang Kapolda, Kapolres, dan Dandim untuk rapat bersama membicarakan tuntutan ini, dengan mengikutkan perwakilan pendemo,” katanya.
Di Polda Maluku, demonstran juga menuntut penegakan hukum. Kapolda Syarief Gunawan berjanji akan mengusut kasus penusukan Rivaldo Petta.
Ketua Sinode GPM John Ruhulesin juga hadir di Mapolda. Ia menyerukan demonstran tetap menjaga keamanan, sambil mempercayakan penegakan hukum kepada pihak kepolisian.
Keadaan memanas sekitar pukul 11.40, ketika aparat brimob dan tentara bersenjata lengkap berupaya menghindari gesekan massa sepanjang perjalanan pulang. Hampir satu jam, aparat bekerja mengarahkan pendemo untuk kembali ke Kudamati.