Penumpukan limbah medis di Indonesia, termasuk di Aceh, menjadi perhatian serius karena dampaknya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Limbah medis mencakup limbah berbahaya seperti sisa bahan kimia, alat kesehatan bekas pakai, serta limbah biologis yang berpotensi menularkan penyakit. Selama pandemi COVID-19, terjadi peningkatan signifikan produksi limbah medis di Indonesia, dengan peningkatan penggunaan alat pelindung diri (APD) seperti masker, sarung tangan, dan alat tes COVID-19.. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2021 menunjukkan bahwa dalam rentang waktu Maret 2020 hingga awal 2021, terdapat lebih dari 18.460 ton limbah medis yang dihasilkan di seluruh Indonesia termasuk Aceh.
Tidak semua daerah di Indonesia memiliki fasilitas pengolahan limbah medis yang memadai. Beberapa daerah, terutama di luar Jawa, mengalami kendala dalam pengelolaan limbah medis karena keterbatasan infrastruktur. Aceh, seperti beberapa daerah lain di Indonesia, masih memiliki keterbatasan dalam fasilitas pengelolaan limbah medis yang memadai. Fasilitas pengolahan limbah seperti insinerator sangat terbatas dan seringkali tidak mampu menangani volume limbah yang dihasilkan.
Banyak rumah sakit dan fasilitas kesehatan, terutama yang terletak di daerah terpencil, mengalami penumpukan limbah medis karena keterbatasan fasilitas pengelolaan. Limbah ini seringkali dibiarkan menumpuk karena kurangnya akses ke teknologi pengolahan seperti insinerator. Penumpukan limbah medis dilaporkan terjadi di beberapa rumah sakit dan puskesmas di Aceh. Hal ini disebabkan oleh kurangnya fasilitas pengolahan dan pengangkutan limbah medis yang efisien. Masalah ini semakin diperparah dengan peningkatan tajam jumlah limbah medis akibat pandemi.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan regulasi terkait pengelolaan limbah medis, termasuk dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Namun, implementasinya masih menghadapi berbagai kendala. Keterbatasan fasilitas insinerator dan teknologi pengelolaan lainnya menjadi salah satu hambatan utama dalam penanganan limbah medis di daerah. Ada kebutuhan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pengelolaan limbah medis yang tepat di kalangan tenaga kesehatan, serta pengawasan yang lebih ketat terhadap pengelolaan limbah medis.
Mengatasi limbah medis memerlukan pendekatan yang sistematis dan terpadu untuk melindungi kesehatan masyarakat serta lingkungan. Limbah medis dikategorikan sebagai Limbah B3, sehingga penanganannya harus sesuai dengan regulasi yang ketat. Adapun langkah-langkah utama yang dapat dilakukan untuk mengatasi limbah medis adalah dengan melakukan pemisahan dan klasifikasi limbah medis sejak awal sesuai jenisnya untuk mencegah kontaminasi silang dan memudahkan proses pengelolaan. Klasifikasi biasanya meliputi limbah infeksius berupa arum suntik bekas, perban, kapas, dan sarung tangan yang terkontaminasi darah atau cairan tubuh. Limbah patologis berupa bagian tubuh atau jaringan yang dibuang setelah operasi. Limbah farmasi berupa obat-obatan kedaluwarsa atau sisa bahan farmasi. Limbah kimia berupa sisa bahan kimia berbahaya seperti disinfektan dan cairan pengawet serta limbah logam berat berupa alat medis yang mengandung logam seperti termometer yang mengandung merkuri.
Limbah medis juga harus dilakukan pengumpulan dan penyimpanan yang aman dalam wadah khusus yang tertutup rapat, tahan bocor, dan diberi label jelas. Limbah infeksius, misalnya, harus dimasukkan ke dalam kantong plastik berwarna kuning, sementara limbah farmasi dan kimia memerlukan wadah tersendiri. Limbah ini harus ditempatkan di lokasi yang aman dan terpisah dari limbah rumah tangga atau non-B3.
Adapun untuk transportasi limbah medis itu sendiri harus diangkut dengan kendaraan khusus yang memenuhi standar keselamatan, misalnya tahan bocor dan memiliki sistem ventilasi yang baik. Transportasi harus dilakukan oleh perusahaan atau pihak yang telah memiliki izin dari pemerintah untuk mengelola limbah B3.
Untuk pengolahan limbah medis menggunakan beberapa metode tergantung jenis dan tingkat bahayanya diantaranya insinerasi (pembakaran suhu tinggi), autoklaf (sterilisasi uap), pengolahan kimia maupun daur ulang (recycle). Beberapa jenis limbah medis non-infeksius dan non-beracun dapat didaur ulang. Contohnya, bahan plastik dari alat kesehatan yang sekali pakai seperti kantong infus dapat diolah kembali setelah dilakukan sterilisasi. Namun, ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan sesuai dengan protokol kesehatan yang ketat.
Setiap tenaga kesehatan harus mendapatkan pelatihan mengenai pengelolaan limbah medis yang benar. Ini termasuk pemisahan limbah di sumbernya, teknik penyimpanan yang aman, dan tata cara membuang limbah. Program edukasi yang melibatkan masyarakat luas diperlukan untuk mengurangi limbah medis yang berasal dari penggunaan alat medis di rumah, seperti jarum suntik insulin atau peralatan dialisis (cuci darah).
Pengelolaan limbah medis harus mengikuti regulasi yang ada dan harus dilakukan pengawasan ketat oleh instansi terkait untuk memastikan setiap fasilitas kesehatan mematuhi aturan dan memiliki sistem pengelolaan limbah yang memadai. Penegakan hukum yang tegas harus diberlakukan kepada pelanggar yang membuang limbah medis sembarangan, karena dampaknya yang sangat besar terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Limbah medis menjadi tantangan besar di Aceh yang memerlukan strategi dalam pengelolaannya seperti melakukan peningkatan pengelolaan limbah medis di fasilitas kesehatan dengan memastikan bahwa setiap rumah sakit dan puskesmas memiliki sistem pemisahan dan pengolahan limbah yang baik, serta bekerjasama dengan pihak ketiga yanng merupakan perusahaan pengolahan limbah yang memiliki izin sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Pengelolaan limbah medis memerlukan kolaborasi antara pemerintah, fasilitas kesehatan, dan masyarakat untuk memastikan bahwa limbah berbahaya ini ditangani dengan benar. Penggunaan teknologi modern, regulasi yang kuat, serta peningkatan kapasitas pengolahan adalah kunci utama dalam mengatasi masalah ini dan mencegah dampak negatif terhadap kesehatan dan lingkungan.
Pengelolaan limbah di Aceh membutuhkan pendekatan multi-dimensi yang mencakup peningkatan fasilitas, kolaborasi antara pemerintah dan swasta, penerapan teknologi modern, dan partisipasi aktif masyarakat. Penguatan regulasi, edukasi, serta infrastruktur pengolahan limbah yang lebih baik dapat membantu mencegah penumpukan limbah dan melindungi kesehatan masyarakat serta lingkungan di Aceh. Jika solusi ini diterapkan secara konsisten, Aceh dapat mencapai pengelolaan limbah yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H