Kembali pada tipikor besar yang mayoritas pengawalannya sedang dikerjakan oleh 75 Pegawai KPK yaitu diantaranya termasuk Novel Baswedan dan penyidik-penyidik berintegritas lainnya. Kasus tipikor besar ini meliputi korupsi bantuan sosial (bansos), korupsi lobster, serta korupsi berbagai Kepala Daerah.
Presiden Jokowi Dodo akhirnya turun tangan dalam meluruskan persoalan alih status dan TWK pada pidatonya, tetapi menurut hemat saya ini juga merupakan bentuk nyata intervensi, karena Presiden selaku pembina tertinggi ASN sehingga dalam kesempatan ini presiden bisa turut campur dalam urusan internal KPK juga. Lantas hal ini membuat kerja-kerja pemberantasan korupsi ke depan sangat terbuka untuk diintervensi.
Ketentuan Peralihan UU KPK didalamnya dijelaskan bahwa KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut sesuai dengan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019. Seharusnya, Firli Bahuri wajib mematuhi aturan hukum dan putusan MK yang mana diketahui telah menegaskan bahwa peralihan status kepegawaian tidak boleh merugikan pegawai itu sendiri.
Hal ini dapat dinilai sebagai penyiasatan hukum dari Ketua KPK yang sejak awal memiliki kepentingan dan agenda pribadi untuk “menyingkirkan” para pegawai yang sedang menangani perkara besar yang melibatkan oknum-oknum yang memiliki kekuasaan. Berbagai kasus terkait pembusukan KPK yang terjadi saat ini semakin membuktikan bahwa implikasi dari Revisi UU KPK dan masuknya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK telah membunuh komisi pemberantasan korupsi yang kita tahu sebagai anak kandung dari reformasi itu sendiri.
Selama 23 tahun reformasi, akhirnya pelemahan KPK semakin nyata.
#SAVEKPK
#NYALAKANTANDABAHAYA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H