"Seperti aktor yang takut kehilangan perannya, manusia kerap terjebak dalam panggung kehidupan di mana pengakuan menjadi piala yang diperjuangkan."
sepertinya ungkapan diatas sangat menggambarkan peran kita sebgai manusia yang haus akan pengakuan.
Pengakuan dan Persaingan: Drama Manusia yang Tak Berujung
Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern, pengakuan telah menjadi mata uang sosial yang paling dicari. Banyak individu bersaing dalam arena kehidupan layaknya aktor di panggung teater, menampilkan citra diri yang sempurna dan penuh pencapaian. Namun, apa yang terjadi ketika sorotan mulai bergeser ke arah orang lain? Perasaan terancam oleh keberadaan pesaing sering kali memunculkan respons defensif dan dominasi. Fenomena ini, meski tampak sederhana, menyimpan kompleksitas psikologis dan sosial yang mendalam, yang dapat dijelaskan melalui pendekatan kolaboratif Erving Goffman dan Henri Tajfel.
Menurut Goffman, manusia adalah aktor yang bermain di atas panggung sosial. Dalam teori Impression Management, ia menguraikan bahwa setiap individu berusaha mengontrol bagaimana dirinya dilihat oleh orang lain. Ketika seseorang merasa dirinya "yang terbaik," ia akan berupaya keras mempertahankan citra itu melalui panggung depan (front stage). Di sini, mereka memoles kata-kata, sikap, bahkan tindakan untuk memukau audiens mereka. Namun, di balik tirai panggung belakang (back stage), ada kegelisahan yang tersembunyi sebuah ketakutan bahwa citra ini dapat runtuh kapan saja. Kehadiran pesaing sering kali menjadi ancaman yang memaksa mereka untuk tampil lebih dramatis, bahkan manipulatif, demi menjaga pengakuan sosial yang mereka dambakan.
Sementara itu, Tajfel memberikan perspektif yang berbeda namun saling melengkapi melalui Teori Identitas Sosial. Ia menjelaskan bahwa manusia secara alami membagi diri mereka ke dalam kelompok-kelompok sosial. Dalam upaya mempertahankan status sebagai yang unggul, mereka sering kali melihat keberadaan pesaing sebagai ancaman terhadap identitas sosial mereka. Persaingan bukan hanya tentang individu, tetapi juga tentang menjaga martabat dan status kelompok yang mereka wakili. Hal ini mendorong mereka untuk menggunakan strategi komunikasi yang defensif, menyerang, atau bahkan mendiskreditkan pesaing mereka.
Pendekatan kolaboratif antara Goffman dan Tajfel mengungkap betapa kompleksnya permasalahan ini. Goffman membantu kita memahami bagaimana individu mempersiapkan "pertunjukan" untuk menjaga citra dirinya, sementara Tajfel mengungkap motivasi sosial di balik perilaku tersebut. Fenomena ini mencerminkan paradoks yang dramatis: di satu sisi, manusia ingin diakui sebagai yang terbaik; di sisi lain, mereka terus-menerus merasa tidak cukup baik ketika ada orang lain yang mulai bersinar.
Pada akhirnya, perjuangan untuk pengakuan ini bukan hanya soal kompetisi, tetapi juga drama eksistensial yang mencerminkan kerentanan manusia. Tanpa kesadaran diri dan pemahaman yang mendalam, siklus ini dapat merusak hubungan sosial dan menciptakan konflik yang tak berujung.
Drama Pengakuan: Ketika Superioritas Menjadi Panggung
Dalam kehidupan sosial, setiap individu adalah aktor yang memainkan peran di atas panggung. Mereka mempersiapkan dialog, gestur, dan kostum terbaik untuk memastikan audiens terpukau. Namun, di balik tirai, ada kegelisahan yang mendalam, sebuah ketakutan bahwa peran yang mereka mainkan bisa direbut oleh orang lain. Erving Goffman, melalui teori Impression Management, menggambarkan bagaimana manusia berjuang untuk mengendalikan persepsi orang lain tentang dirinya melalui panggung depan dan belakang. Dalam konteks superioritas dan pengakuan, teori ini menjadi lensa yang sempurna untuk memahami drama manusia yang penuh paradoks.
Panggung Depan: Tempat Keajaiban Dibuat
Di panggung depan, individu berusaha menampilkan citra diri yang sempurna. Bagi seseorang yang merasa dirinya "yang terbaik," panggung ini menjadi arena utama untuk mempertontonkan kehebatan. Kata-kata mereka terukur, gestur mereka penuh percaya diri, dan setiap tindak-tanduk mereka tampak mengesankan. Mereka memancarkan aura superioritas yang memikat, seolah-olah dunia berputar di sekitar mereka. Dalam pikiran mereka, pengakuan adalah piala yang harus dimenangkan, dan penonton, teman, rekan kerja, bahkan keluarga adalah juri yang menentukan nilai mereka.