Mohon tunggu...
Wira Krida
Wira Krida Mohon Tunggu... Apoteker - Praktisi Komunikasi dan Farmasi

Saya praktisi farmasi industri yang memiliki minat mendalam dalam berbagai aspek komunikasi. Sebagai seorang profesional di bidang farmasi industri, saya telah mengembangkan keahlian di sektor ini melalui pengalaman dan pembelajaran yang terus-menerus. Tidak hanya fokus pada pengembangan teknis dan operasional di industri farmasi, tetapi juga memahami pentingnya komunikasi dalam mendukung dan memperkuat keberhasilan organisasi. Dalam rangka memperluas pengetahuan di luar farmasi, saya memutuskan untuk menempuh pendidikan di bidang komunikasi. Saya meraih gelar Magister Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina pada tahun 2023. Langkah ini menunjukkan komitmen saya untuk memperdalam pemahaman tentang komunikasi, khususnya dalam konteks komunikasi organisasi dan komunikasi digital, dua bidang yang semakin penting di era globalisasi dan transformasi digital. Saat ini, Saya sedang melanjutkan studi di bidang ilmu komunikasi di Universitas Sahid. Melalui studi ini, saya berharap dapat menggabungkan pengetahuan di sektor farmasi dengan pemahaman yang lebih luas tentang komunikasi, sehingga mampu memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam pengembangan industri farmasi, baik dari segi operasional maupun strategi komunikasi. Bidang minat utama saya meliputi farmasi industri, komunikasi organisasi, serta komunikasi digital, yang menjadi fokus utama untuk pengembangan lebih lanjut di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggugat Kenaikan PPN12%: Kenaikan Gaji Tak Cukup Mendorong Daya Beli

1 Desember 2024   20:39 Diperbarui: 2 Desember 2024   10:11 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengapa Kita Harus Menggugat Keras PPN 12%?

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% bukan sekadar penyesuaian tarif pajak, tetapi cerminan dari kebijakan ekonomi yang berpotensi memperlebar jurang ketimpangan sosial di Indonesia. Dalam sistem pajak regresif seperti PPN, beban kenaikan lebih banyak ditanggung oleh masyarakat kelas bawah, yang sebagian besar pendapatannya habis untuk kebutuhan konsumsi. Jika kebijakan ini diterapkan tanpa mitigasi yang memadai, dampaknya akan sangat merugikan kelompok rentan dan bertentangan dengan semangat keadilan sosial yang menjadi dasar konstitusi negara.

Beban Lebih Besar bagi Rakyat Kecil: PPN bersifat regresif, sehingga kelas bawah menanggung persentase beban yang lebih besar dari pendapatan mereka dibandingkan kelas atas. Kenaikan menjadi 12% akan meningkatkan harga barang dan jasa, termasuk kebutuhan pokok seperti makanan, obat-obatan, dan transportasi. Hal ini akan semakin menekan daya beli rakyat kelas menengah dan miskin, yang sudah berada di ambang kesulitan.

Tidak Sejalan dengan Semangat Ekonomi Keadilan: Prinsip ekonomi yang diamanatkan oleh UUD 1945 menuntut agar kebijakan ekonomi menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Kenaikan PPN bertolak belakang dengan tujuan ini karena tidak memandang perbedaan kemampuan membayar antara kelompok masyarakat.

Ketergantungan pada Kapitalisme Pasar: Kebijakan ini mencerminkan orientasi pemerintah yang terlalu bergantung pada logika kapitalisme pasar. Alih-alih mencari solusi progresif, pemerintah memilih cara instan untuk meningkatkan pendapatan negara, tanpa mempertimbangkan dampak sosial.

Masalah PPN 12%

PPN adalah salah satu instrumen pajak yang diterapkan pada barang dan jasa untuk meningkatkan penerimaan negara. Pada awalnya, Indonesia menetapkan tarif PPN sebesar 10%, kemudian dinaikkan menjadi 11% pada 2022, dan direncanakan menjadi 12% pada 2025. Perubahan ini menjadi kontroversial karena berpotensi memperberat beban masyarakat, terutama kelompok ekonomi bawah.

Perbedaan PPN 10%, 11%, dan 12%

  • PPN 10%: Tarif ini telah berlaku cukup lama dan dianggap stabil, dengan dampak inflasi yang relatif kecil.
  • PPN 11%: Mulai diterapkan pada April 2022, kenaikan ini memicu peningkatan harga pada berbagai barang dan jasa, meski dampaknya dianggap masih dapat dikelola.
  • PPN 12%: Direncanakan untuk diterapkan pada 2025, kebijakan ini diharapkan meningkatkan pendapatan negara. Namun, dikhawatirkan akan memperbesar tekanan inflasi dan ketimpangan sosial.

Perbedaan mendasar terletak pada beban yang semakin tinggi bagi konsumen akhir. Karena sekali lagi PPN bersifat regresif, masyarakat berpenghasilan rendah akan merasakan dampak lebih besar dibandingkan kelompok atas.

Apakah benar hanya 1% kenaikan yang harus dibayar?

Kenaikan nominal tarif PPN dari 11% menjadi 12% mungkin terlihat kecil, tetapi dalam praktiknya, dampak kenaikan ini lebih dari sekadar 1%. Mengapa? Karena PPN diterapkan pada setiap tahapan produksi dan distribusi, dari produsen hingga konsumen akhir. Dalam mekanisme ini, kenaikan 1% di tingkat produsen dapat diteruskan dan dikalikan pada rantai distribusi berikutnya. Akibatnya, masyarakat sebagai konsumen akhir merasakan kenaikan harga yang jauh lebih besar dari angka resmi. Dalam kasus barang kebutuhan pokok, misalnya, kenaikan harga bisa mencapai 2% hingga 9%, tergantung pada kompleksitas rantai pasoknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun