Mohon tunggu...
Wira Krida
Wira Krida Mohon Tunggu... Apoteker - Praktisi Komunikasi dan Farmasi

Saya praktisi farmasi industri yang memiliki minat mendalam dalam berbagai aspek komunikasi. Sebagai seorang profesional di bidang farmasi industri, saya telah mengembangkan keahlian di sektor ini melalui pengalaman dan pembelajaran yang terus-menerus. Tidak hanya fokus pada pengembangan teknis dan operasional di industri farmasi, tetapi juga memahami pentingnya komunikasi dalam mendukung dan memperkuat keberhasilan organisasi. Dalam rangka memperluas pengetahuan di luar farmasi, saya memutuskan untuk menempuh pendidikan di bidang komunikasi. Saya meraih gelar Magister Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina pada tahun 2023. Langkah ini menunjukkan komitmen saya untuk memperdalam pemahaman tentang komunikasi, khususnya dalam konteks komunikasi organisasi dan komunikasi digital, dua bidang yang semakin penting di era globalisasi dan transformasi digital. Saat ini, Saya sedang melanjutkan studi di bidang ilmu komunikasi di Universitas Sahid. Melalui studi ini, saya berharap dapat menggabungkan pengetahuan di sektor farmasi dengan pemahaman yang lebih luas tentang komunikasi, sehingga mampu memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam pengembangan industri farmasi, baik dari segi operasional maupun strategi komunikasi. Bidang minat utama saya meliputi farmasi industri, komunikasi organisasi, serta komunikasi digital, yang menjadi fokus utama untuk pengembangan lebih lanjut di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nebeng Jet Pribadi

22 September 2024   08:00 Diperbarui: 22 September 2024   08:08 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nebeng didefinisikan sebagai tindakan menumpang atau ikut bepergian tanpa membayar. Biasanya, istilah ini digunakan dalam konteks transportasi, seperti seseorang yang nebeng naik motor atau mobil teman. Namun, apakah makna nebeng tetap sama ketika yang digunakan bukan sekadar motor atau mobil, melainkan jet pribadi?, sangat menarik untuk diulik lebih dalam!

Namun, meski secara harfiah maknanya sama, "nebeng" naik motor dan "nebeng" jet pribadi memiliki konotasi yang sangat berbeda. Nebeng motor cenderung dipandang sebagai tindakan wajar atau bahkan sopan santun dalam masyarakat, terutama jika dilakukan dalam situasi saling membantu, saling tolong menolong antar teman. Sebaliknya, "nebeng" jet pribadi sering diasosiasikan dengan upaya menunjukkan status sosial atau gengsi, khususnya ketika dilakukan oleh anak-anak pejabat atau individu berpengaruh.

Di balik fenomena ini, ada pertanyaan besar terkait motivasi dari tindakan tersebut: Apakah hanya sekadar praktis, situasi yang kompleks untuk dijelaskan, atau ada niat untuk memperlihatkan status sosial? Apakah tindakan ini menunjukkan adanya kesombongan atau sekadar kesempatan yang diambil? Semua ini patut dipertanyakan dalam konteks sosial dan ekonomi.

Tinjauan Teoritis: Teori Konsumsi dan Status Sosial

Untuk memahami fenomena "nebeng" jet pribadi, kita bisa menggunakan teori konsumsi dan status sosial sebagai landasan teoritis. Salah satu teoritisi yang banyak membahas ini adalah Thorstein Veblen dengan konsep "The Theory of the Leisure Class" yang memperkenalkan istilah "consumption conspicuous" atau konsumsi mencolok. Menurut Veblen, konsumsi barang-barang mewah sering kali lebih didorong oleh keinginan untuk menunjukkan status sosial daripada kebutuhan nyata.

Dalam konteks "nebeng" jet pribadi, teori ini relevan karena tindakan tersebut bisa dianggap sebagai bentuk konsumsi mencolok. Jet pribadi adalah simbol kemewahan dan prestise, dan "nebeng" di dalamnya dapat dianggap sebagai cara untuk memperlihatkan afiliasi sosial atau keterkaitan dengan kalangan elit. Ini memberikan keuntungan sosial bagi yang "nebeng," yang mungkin ingin menunjukkan bahwa mereka juga memiliki akses ke dunia yang eksklusif.

Tinjauan Praktis: Kesesuaian dengan Kondisi Indonesia

Secara praktis, kita bisa melihat bahwa Indonesia adalah negara dengan ketimpangan ekonomi yang cukup besar. Meski ada sebagian kecil populasi yang sangat kaya, mayoritas masyarakat masih hidup dalam keterbatasan ekonomi. Dalam konteks ini, fenomena "nebeng" jet pribadi bisa menjadi kontroversial, terutama ketika dilihat oleh masyarakat luas yang menghadapi kesulitan ekonomi.

Jika merujuk pada teori konsumsi mencolok yang dijelaskan sebelumnya, "nebeng" jet pribadi bisa diartikan sebagai tindakan untuk mempertegas kelas sosial, sebuah bentuk pamer status yang tidak selalu sesuai dengan norma kesederhanaan yang dihargai dalam budaya Indonesia. Hal ini menimbulkan pertanyaan etis: Apakah tindakan ini dilakukan sekadar untuk praktis, atau lebih kepada untuk memperlihatkan prestise, pengaruh dan kekayaan yang dimiliki?

Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa selama fasilitas tersebut tersedia dan tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan, maka tindakan "nebeng" jet pribadi ini seharusnya tidak menjadi masalah besar. Namun, dalam konteks ketimpangan sosial dan ekonomi yang sangat nyata di Indonesia, tindakan seperti ini bisa dengan mudah dipersepsikan sebagai kurang sensitif terhadap kondisi masyarakat luas.

Kalangan elite memiliki kebiasaan dan cara hidup yang berbeda dengan masyarakat umum. Mereka yang hidup di lingkungan dengan akses yang mudah terhadap jet pribadi dan kemewahan hidup lainnya mungkin memandang tindakan tersebut sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, untuk masyarakat luas, terutama di Indonesia, fenomena ini tetap menciptakan ketidakseimbangan dan bisa membangkitkan rasa tidak adil dan menjadi bahan konten di media sosial yang memuat sindiran ke kalangan elite sebagai luapan rasa kesal masyarakat kepada kaum elitenya yang terlihat tidak sensitive dengan kondisi bangsa.

Pentingnya Rasa Toleransi Antara Kaum Kaya dan Kaum Papa

Toleransi sosial dan empati antara kelas sosial yang berbeda sangatlah penting dalam menjaga harmoni masyarakat. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh kekayaan dan kemiskinan, tindakan yang dianggap pamer atau memperlihatkan kekayaan berlebihan sering kali menimbulkan ketegangan sosial.

Dalam kasus "nebeng" jet pribadi, ada pertanyaan mendasar: Apakah fenomena ini menjadi bagian dari tren pamer status sosial? Tren seperti ini bisa jadi membuat kesenjangan sosial semakin terlihat dan memperparah perasaan ketidakadilan di kalangan masyarakat yang kurang mampu. Di sisi lain, kelas atas mungkin tidak merasa bahwa tindakan mereka berdampak negatif, karena bagi mereka itu adalah bagian dari gaya hidup biasa, dan sepertinya saat ini menjadi hal yang lumrah, biasa, lazim pamer kekayaan dan gaya hidup hedonistik untuk menunjukkan status sosialnya yang berbeda dengan khalayak umum.

Namun, di tengah berbagai tantangan sosial-ekonomi yang dihadapi Indonesia, penting bagi setiap individu, terutama mereka yang berada di posisi sosial yang lebih tinggi, untuk mempertimbangkan dampak dari tindakan mereka terhadap masyarakat secara keseluruhan. Toleransi dan empati terhadap kondisi hidup yang berbeda dapat membantu meredakan ketegangan dan membangun masyarakat yang lebih inklusif.

Kesimpulan

Dari Ulasan ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa fenomena "nebeng" jet pribadi oleh anak pejabat atau kalangan elit tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi. Meskipun secara teknis mungkin saja tidak ada yang salah dengan tindakan tersebut, implikasi sosial dan psikologis dari fenomena ini sangatlah penting untuk diperhatikan. Ada nuansa status sosial dan kesenjangan ekonomi yang muncul dari tindakan tersebut, terutama dalam konteks Indonesia yang masih menghadapi masalah ketimpangan sosial yang lebar.

Pada akhirnya, masyarakat Indonesia merindukan kepemimpinan dan gaya hidup yang lebih genuine atau asli, yang mencerminkan kesederhanaan daripada kemewahan yang berlebihan. Rakyat menginginkan pemimpin yang bisa dekat dengan mereka, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional dan sosial. Mereka ingin melihat kesederhanaan yang tulus, bukan hanya kemasan yang dibuat-buat, apalagi untuk kepentingan politik yang sifatnya sementara. Fenomena seperti ini mengingatkan kita bahwa kesenjangan sosial perlu dijembatani dengan kepekaan, kesadaran, dan rasa tanggung jawab dari mereka yang berada di posisi lebih tinggi.

Jadi, lebih bijaklah menggunakan pengaruh, kekayaan, dan kekuasaan wahai para pemimpin dan individu berpengaruh, masyarakat rindu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun