Perang. Kata yang memiliki asosiasi menebarkan ketakutan, kesedihan, dan kehancuran yang tak terbantahkan. Namun, di antara semua peperangan dari konflik yang pernah terjadi di planet bumi ini, mungkin tidak ada perang yang begitu tragis dan sangat ironis seperti yang terjadi di Semenanjung Korea. Dua negara yang berada disana, yaitu Republik Demokratik Rakyat Korea atau dikenal dengan Korea Utara dan Republik Korea atau biasa disebut dengan Korea Selatan sampai saat ini secara teknis statusnya adalah perang, karena secara resmi perang Korea tidak pernah berakhir, melainkan hanya gencatan senjata pada tahun 1953.
Dua Korea yang terpisah oleh batas-batas politik yang sangat keras, tetapi sampai kapanpun tetap terhubung karena memiliki sejarah panjang, budaya, dan bahkan darah yang bisa saja dari satu keluarga yang sama. Hubungan ini yang seharusnya memiliki efek perekat yang kuat, namun sebaliknya yang terjadi justru tersembunyi pusat ketegangan yang sungguh meresahkan, dan dalam konteks ancaman perang nuklir yang terus berdengung kencang dunia pun menjadi ikut terancam bahaya besar akibat konflik keduanya.
Sejarah Persaudaraan yang Terpisah
Sebelum adanya Perang Korea yang meletus pada 25 Juni 1950 yang ditandai adanya invasi dari Korea Utara dipimpin Kim Il Sung ke Korea selatan, Korea merupakan satu bangsa, dan satu tanah air. Tidak ada garis yang tegas memisahkan wilayah bangsa Korea, dan tak ada sejengkalpun jarak emosional antara warga di utara maupun selatan.
Mereka memiliki Bahasa persatuan yang sama yaitu bahasa korea, dengan ibukotanya Seoul, kemiripan budaya seperti pakaian tradisional korea yang begitu digandrungi khalayak yaitu hanbok korea, serta sejarah panjang yang dibanggakan bersama salah satunya adalah perlawanan mereka melawan invasi Jepang yang kedua tahun 1597 dengan pahlawan bersama yaitu Laksamana Yi Sun Sin termasuk penggunaan kapal Geobukseon (kura -- kura).
Namun, Kekuatan besar pasca Perang Dunia II dan Perang Korea mengubah segalanya. Semenanjung Korea pecah menjadi dua negara yang berdaulat di bawah pengaruh ideologi yang berbeda, Korea Utara di bawah komunisme dengan ibukota Pyongyang, dan Korea Selatan yang cenderung untuk lebih ke kapitalisme dan demokrasi dengan ibukota negaranya adalah Seoul.
Pembagian menjadi dua negara tersebut merusak tali persaudaraan yang telah ada dan terjalin selama ribuan tahun. Saudara yang dulu hidup dalam harmoni kini terperangkap dalam konflik yang tiada ujungnya. Meskipun darah yang mengalir di tubuh mereka bisa saja dari keturunan yang sama, namun politik dan ideologi yang membuat jurang pemisah yang lebar bagi mereka. Kondisi demikian sangat memilukan, tidak adanya kepastian akan persatuan kembali, dan bayang -- bayang ancaman perang yang mematikan terus bergentayangan di dalam benak warga Korea, bahkan ancaman bahaya nuklir, selalu muncul dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Kepentingan Pemimpin yang Menyulut Ketegangan
Di balik layar konflik ini, ada dua pemimpin yang memainkan perannya masing - masing dalam menambah bahan bakar pada api ketegangan yang terus berkobar. Kim Jong-un, pemimpin Korea Utara yang dikenal keras, konsisten memperlihatkan kepada dunia mengenai ambisi nuklirnya. Dengan mengembangkan senjata nuklir dan menguji coba rudal balistik, ia menebarkan rasa takut tidak hanya di kalangan warga Korea Selatan, tetapi juga di seluruh dunia.
Di sisi lain, pemerintah Korea Selatan di bawah beberapa pemimpin yang berbeda juga tidak ingin kalah untuk terus menjaga ketegangan ini. Aliansi yang erat dengan Amerika Serikat kerap provokatif diarahkan ke Korea Utara, sehingga menumbuhkan spiral ketidakpercayaan yang semakin menggunung. Kebijakan dua Korea bersaudara yang selalu tidak mendahulukan dialog dan perdamaian, membuat warga biasa yang tak bersalah justru menjadi korban dari konflik geopolitik yang rumit ini.
Pengaruh Kepentingan Global dalam Konflik Lokal
Dalam tatapan awam konflik ini tampak sebagai masalah regional, nyatanya dampaknya jauh melampaui batas Semenanjung Korea. Dunia internasional, khususnya kekuatan besar yang mendominasi seperti Amerika Serikat, Cina, dan Rusia, tentunya memiliki kepentingan terhadap kawasan ini. Mengapa? Karena ini kawasan ini seperti sebuah permainan catur dalam dunia politik yang dilakukan oleh negara -- negara super power tersebut untuk berebut pengaruh dan kendali dunia.
Ekonomi dunia, saat ini sangat bergantung pada stabilitas kawasan semenanjung Korea yang sangat rentan. Setiap ancaman perang nuklir atau instabilitas di kawasan ini begitu mudah menimbulkan guncangan di pasar keuangan global, dan memengaruhi perdagangan internasional, seperti pada industri teknologi, korea selatan merupakan salah satu pusat industri semikonduktor dunia, dengan perusahaan kelas dunia seperti Samsung dan SKhynix.
Apa dampak yang menyentuh kepada masyarakat secara langsung apabila sampai terjadi hambatan dan kesuitan pasokan di bidang semikonduktor saja, maka banyak sisi kehidupan manusia di seluruh dunia akan mengalami pengaruh yang siignifikan. Salah satu sector yang terganggu yaitu pada sektor kesehatan, banyak peralatan medis yang modern bergantung pada semikonduktor untuk beroperasi, jika terjadi gangguan stabilitas bahkan perang di semenanjung Korea, maka begitu banyak nyawa manusia terancam akibat perang tersebut. Pada sektor komunikasi juga dapat terganggu karena perangkat internet dan jaringan telekomunikasi sangat bergantung operasionalnya dengan perangkat semikonduktor, jadi bisa dibayangkan betapa berbahayanya bagi warga dunia, dan ancaman kelumpuhan kehidupan di bumi jika terjadi kondisi yang buruk di semenanjung Korea.
Lebih jauh lagi, ketegangan ini juga mengancam keberlangsungan kehidupan di dunia. Serangan nuklir memicu kerusakan lingkungan yang parah, memengaruhi rantai pasokan makanan, energi, dan ekonomi global. Bahkan, radiasi dari ledakan nuklir bisa menyebar ke berbagai belahan dunia, mengancam kesehatan manusia dan ekosistem. Selain dampak fisik, perang nuklir juga mengganggu stabilitas geopolitik yang berujung pada konflik lebih luas yang melibatkan negara-negara besar lainnya.
Tragedi Kemanusiaan di Balik Tirai Bambu
Salah satu yang paling memilukan dari konflik ini adalah dampak yang dirasakan oleh rakyat biasa, terutama mereka yang masih memiliki saudara di sisi lain perbatasan. Bagi banyak keluarga yang terpisah sejak Perang Korea, harapan untuk bersatu kembali semakin pudar. Reuni keluarga yang kadang-kadang diadakan sebagai upaya rekonsiliasi kecil-kecilan hanyalah setetes air dalam lautan kesedihan yang luas. Banyak dari mereka yang tidak pernah mendapat kesempatan untuk bertemu lagi sebelum ajal menjemput.
Di tengah ketegangan geopolitik ini, kemanusiaan seolah terlupakan. Kisah-kisah mengharukan dari keluarga yang terpisah dan hidup dalam ketakutan sering kali tenggelam di antara narasi kekuasaan dan senjata. Namun, di balik perpecahan ini, masih ada harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, Semenanjung Korea dapat kembali bersatu, bukan hanya secara politik, tetapi juga secara emosional. Warga dari kedua belah pihak mendambakan perdamaian, meskipun pemimpin mereka terus berseberangan dalam keputusan politik.
Ancaman dan Harapan Terhadap Perdamaian Dunia
Dunia internasional memiliki kewajiban untuk selalu meredakan ketegangan di semenanjung Korea. Diplomasi yang kuat, dialog terbuka, dan upaya untuk membangun kepercayaan antara kedua negara harus diprioritaskan. Sanksi ekonomi dan ancaman militer mungkin dapat menekan Korea Utara dalam jangka pendek, tetapi solusi jangka panjang hanya dapat dicapai melalui pembicaraan damai dan rekonsiliasi.
Namun, perdamaian tidak bisa tercipta tanpa kemauan politik yang kuat, baik dari Korea Utara, Korea Selatan, maupun negara-negara besar lainnya. Hanya dengan adanya kesepakatan bersama dan upaya yang sungguh-sungguh, ancaman perang nuklir dapat dihindari, dan saudara-saudara yang terpisah di Semenanjung Korea bisa berharap untuk bersatu kembali.
Perjalanan menuju perdamaian dan rekonsiliasi mungkin panjang dan penuh rintangan, tetapi itu bukanlah hal yang mustahil. Dunia harus bersatu untuk mendukung proses ini, bukan hanya demi stabilitas kawasan, tetapi juga demi kepentingan kemanusiaan secara luas.
Pada akhirnya, kita harus ingat bahwa di balik segala perbedaan politik dan ideologi, kita semua adalah manusia dengan kebutuhan, harapan, dan impian yang sama. Persaudaraan yang terputus di Semenanjung Korea adalah luka yang mendalam, tetapi juga bisa menjadi simbol harapan akan dunia yang lebih baik --- dunia di mana persaudaraan lebih kuat daripada konflik, dan di mana perdamaian dapat menjadi kenyataan bagi semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H