Oleh. Wira Dharmadumadi Purwalodra
Pada perjalanan sejarah umat manusia, kekuasaan telah menjadi salah satu elemen paling menarik dan kompleks dalam kehidupan sosial kita. Kekuasaan bukan hanya sekadar kemampuan untuk memerintah atau mengendalikan orang lain, tetapi merupakan refleksi dari pengaruh dan otoritas yang dapat membentuk takdir masyarakat.
 Friedrich Nietzsche, seorang filsuf terkenal, memberikan wawasan mendalam tentang kekuasaan dengan konsep "will to power" atau "kehendak untuk berkuasa".
 Ini bukan hanya ambisi atau keinginan untuk mendominasi, tetapi sebuah dorongan mendasar yang menggerakkan manusia untuk mewujudkan potensi tertingginya. Dalam konteks ini, kita dapat merenungkan bagaimana konsep tersebut relevan dengan kepemimpinan dan pemerintahan, khususnya dalam situasi di Indonesia.
Nietzsche percaya bahwa inti dari eksistensi manusia adalah kehendak untuk berkuasa, yang mencakup keinginan untuk berkembang, bertransformasi, dan melampaui keterbatasan pribadi.Â
Dalam kehidupan politik, kehendak ini sering terwujud dalam bentuk upaya untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Namun, pertanyaan yang lebih besar dan mendalam muncul: apakah kekuasaan pada akhirnya menuntut lebih dari sekadar ambisi? Bagaimana jika kekuasaan tersebut, saat terkonsentrasi, mulai mengaburkan nilai-nilai etika dan kemanusiaan yang harusnya menjadi dasar bagi setiap tindakan pemimpin?
Mari kita lihat Indonesia, sebuah negara dengan keanekaragaman budaya dan sejarah yang panjang. Kepemimpinan di Indonesia menghadapi tantangan yang unik. Dengan berbagai perbedaan etnis dan agama, serta sejarah kolonial yang kompleks, kekuasaan di Indonesia harus berfungsi tidak hanya sebagai kendaraan untuk kepentingan pribadi, tetapi sebagai sarana untuk mempersatukan dan memajukan bangsa.Â
Dalam situasi ini, para pemimpin dihadapkan pada dilema: harus beroperasi di bawah bayang-bayang ambisi pribadi sembari tetap melayani kepentingan umum ?!
Di dalam sistem demokrasi, kekuasaan seharusnya menjadi alat untuk melayani orang banyak, bukan sekadar catatan prestasi individu. Aristoteles berpendapat bahwa "kebaikan tertinggi" dari sebuah tindakan politik adalah eudaemonia, atau kebahagiaan rakyat.Â
Ini berarti bahwa pemimpin harus berfokus pada kesejahteraan rakyat, memberikan perhatian lebih pada tanggung jawab sosial daripada pencapaian pribadi. Di Indonesia, prinsip ini bisa saja menjadi panduan yang kuat, memastikan kekuasaan yang terdistribusi untuk kebaikan bersama.