Oleh. Wira D. Purwalodra
Pada perjalanan hidup ini, setiap individu akan menghadapi berbagai tantangan yang dapat menguji kesehatan mentalnya. Konflik rumah tangga adalah salah satu di antaranya, suatu fenomena yang tidak memandang batas sosial maupun geografis. Rumah, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan ketenangan, terkadang justru berubah menjadi medan konflik, menghasilkan tekanan mental yang signifikan bagi para anggotanya. Pada kesempatan ini, mari kita telaah bagaimana membangun kesehatan mental meskipun berada di tengah konflik rumah tangga, dengan menjadikan pemikiran para filosof sebagai pelita panduan.
Marcus Aurelius, seorang filsuf Stoik, pernah mengucapkan, "Jika Anda kesal oleh sesuatu di luar, rasa sakit itu bukanlah karena hal itu sendiri, melainkan oleh penilaian Anda terhadap hal itu; dan Anda memiliki kekuatan untuk membatalkan penilaian tersebut kapan saja." Dalam konteks ini, kesadaran penuh akan situasi dan emosi yang muncul dalam konflik rumah tangga dapat menjadi langkah awal dalam mengelola kesehatan mental. Seringkali, emosi negatif yang muncul dalam konflik bukan semata-mata karena situasinya, tetapi karena interpretasi dan respon kita terhadapnya.
Manusia sebagai makhluk berpikir, memiliki kebebasan untuk memilih sikapnya terhadap kondisi yang dihadapinya. Ibn Sina, seorang filsuf Muslim dan bapak kedokteran modern, percaya bahwa pemikiran positif adalah obat yang manjur bagi pikiran yang terluka. Ia berpendapat bahwa kesehatan jiwa berlandaskan pada pemahaman diri dan pengendalian emosi. Ketika kita meninjau ulang emosionalitas kita di dalam rumah, penting untuk menempatkan refleksi sebagai alat utama. Pemikiran ini sejalan dengan pandangan filsafat perilaku yang menempatkan refleksi dan self-awareness sebagai titik kunci dalam membangun tindakan yang sehat.
Ketegangan dan stres dalam rumah tangga tidak selalu berasal dari konflik besar. Hal-hal kecil dan sepele pun, jika dibiarkan, dapat menumpuk menjadi beban yang berat. Memahami ini, bijak kiranya kita menjaga dialog yang terbuka dan jujur. Michel Foucault menggarisbawahi pentingnya wacana atau diskursus sebagai sarana untuk memahami dan memecahkan permasalahan sosial. Di dalam rumah, diskursus ini mewujud dalam bentuk komunikasi yang efektif dan penuh empati antar anggota keluarga. Komunikasi semacam ini tidak hanya menyelesaikan konflik, tetapi juga membangun ikatan emosional yang lebih kuat.
Menurut pandangan Al-Farabi, filsuf Muslim lainnya, kebahagiaan (sa'ada) adalah tujuan utama kehidupan manusia, dan itu dapat diraih melalui kebajikan dan pengetahuan. Jika diterapkan dalam konteks rumah tangga, setiap individu harus berupaya memperdalam pemahaman dan kesadaran akan peran mereka masing-masing. Menumbuhkembangkan kebajikan dalam interaksi sehari-hari menjadi pondasi yang kokoh bagi kesehatan mental setiap anggota keluarga, meminimalkan potensi konflik serta memperkuat rasa saling menghormati dan kasih sayang.
Pendekatan lain yang bisa diambil adalah dengan mempraktikkan mindfulness, sebuah konsep yang sebenarnya telah lama ada dalam ajaran Islam berupa tafakur atau meditasi. Dengan menciptakan ruang untuk mindfulness, kita memberi kesempatan pada diri untuk mengalami dan menerima keadaan dengan objektif. Ini merupakan refleksi dari pendapat Jalaluddin Rumi yang mengatakan, "Ketenangan adalah kunci yang membuka pintu surga kedamaian dan kebahagiaan." Mempraktikkan mindfulness di tengah hiruk-pikuk rumah tangga mendorong kita untuk hadir secara utuh dan responsif terhadap kebutuhan anggota keluarga.
Filsafat perilaku menekankan bahwa tindakan kita bukanlah hasil dari keputusan yang spontan, melainkan merupakan hasil dari serangkaian proses kognitif dan emosional yang kompleks. Dalam rumah tangga, perilaku dan sikap yang muncul dalam konflik sering kali merupakan cerminan dari masalah atau kebutuhan yang lebih mendasar. Dengan menyadari hal ini, kita dituntut untuk memahami lebih dalam akar permasalahan tersebut dan melihatnya sebagai kesempatan untuk bertumbuh.
Konflik rumah tangga, jika dikelola dengan baik, dapat berfungsi sebagai cermin yang menyadarkan kita akan aspek-aspek diri yang perlu diperbaiki. Nietzsche menuturkan, "Apa yang tidak membunuhku, membuatku lebih kuat."Â Dalam konteks ini, konflik bukanlah akhir dari keharmonisan, melainkan sebuah proses yang membawa kita pada pemahaman yang lebih dewasa dan matang tentang hubungan antar manusia.