Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Spiritualitas Para Diktator

7 Juli 2023   10:23 Diperbarui: 7 Juli 2023   10:30 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh. Purwalodra

Dalam sejarah manusia, diktator sering kali dikaitkan dengan pemerintahan otoriter dan penindasan yang kejam. Mereka digambarkan sebagai sosok yang mencari kekuasaan dan memegang kendali atas kehidupan rakyatnya. Namun, di balik citra kejam dan korupsi ini, apakah ada aspek spiritualitas dalam kehidupan para diktator ?! Ketika kita berbicara tentang spiritualitas para diktator, mungkin terdengar tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang yang bertanggung jawab atas begitu banyak kekejaman dapat memiliki sisi spiritual ?!. Namun, jika kita melihat lebih dalam, ternyata kita akan banyak menemukan, bahwa beberapa diktator memiliki keyakinan agama dan praktik spiritual yang mereka anut.

Sebagai contoh saja, yang paling terkenal adalah Adolf Hitler, seorang pemimpin Nazi Jerman. Meskipun dikenal sebagai salah satu tokoh paling kejam dalam sejarah, namun Hitler memiliki keyakinan esoteris yang dalam. Ia meyakini konsep Ras Arya, yang berakar pada bentuk kepercayaan mistik Nordik. Hitler sering berbicara tentang tugas misi dalam mengubah dunia sesuai dengan idealisme Nordik ini. Ia juga tertarik pada astrologi dan ramalan, dan sering mendapatkan saran dari peramal untuk memandu keputusan politiknya.

Selanjutnya, Joseph Stalin, yang dikenal sebagai diktator Soviet yang kejam, juga memiliki sisi spiritualitas dalam kehidupannya. Ia dibesarkan sebagai seorang Katolik, tetapi meninggalkan agama tersebut ketika masih muda. Namun, seperti yang banyak ditulis oleh para ahli sejarah, Stalin mendalami filsafat dan karya-karya Karl Marx secara serius. Pemahaman filosofis ini membentuk pandangan dunianya dan menjadi prinsip panduan dalam tindakan politiknya.

Namun, tidak hanya aktor-aktor utama sejarah yang memiliki dimensi spiritual ini. Banyak diktator dan penguasa otoriter lainnya, termasuk beberapa yang masih berkuasa di era modern, juga memiliki keyakinan keagamaan atau praktik spiritual tertentu. Dalam beberapa kasus, spiritualitas mereka digunakan untuk memperkuat kekuasaan mereka atau membenarkan tindakan kekejaman.

Salah satu contoh modern adalah Kim Jong-un, pemimpin Korea Utara saat ini. Kim Jong-un diberi status dewa oleh rezim komunis yang memerintah negaranya. Ia percaya bahwa keluarganya memiliki Hak Ilahi untuk memerintah, dan diyakini mempraktikkan tradisi spiritual purba yang menghubungkannya dengan para leluhur Korea. Sentralitasnya sebagai tokoh Ilahi dalam propaganda negara mencerminkan bagaimana spiritualitas dan kekuasaan dapat saling terkait dalam konteks ini.

Meski demikian, spiritualitas para diktator tidak selalu berarti, bahwa mereka memiliki prinsip moral atau etika yang kuat. Dalam banyak kasus, spiritualitas mereka digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik mereka, tidak peduli apakah itu melibatkan penindasan atau kejahatan. Mereka sering kali mengklaim memiliki otoritas atau inspirasi Ilahi untuk tindakan mereka, sehingga membenarkan pandangan kekuasaan yang tiran dan kebijakan yang tidak manusiawi.

Agama dan Spiritualitas

Perbedaan antara spiritualitas dengan agama merupakan topik pembahasan yang sering muncul dalam banyak konteks, seperti filsafat, psikologi, dan studi agama. Walaupun spiritualitas sering dihubungkan dengan agama, sebenarnya ada perbedaan penting antara keduanya. Agama adalah sebuah sistem kepercayaan dan praktik yang melibatkan sebuah institusi, doktrin, dan aturan tertentu. Agama memiliki tujuan untuk memandu dan mengarahkan individu dalam hal moralitas, spiritualitas, dan kehidupan sehari-hari. Agama biasanya memiliki struktur organisasi yang terorganisir dengan dukungan kelompok orang yang memiliki keyakinan yang sama. Agama juga memberikan orientasi komunitas serta ritus dan tata cara yang harus diikuti oleh para pengikutnya. Sebagai contoh, agama yang paling dikenal di dunia adalah agama-agama seperti Kristen, Islam, Buddha, Hindu, dan lain-lain.

Sementara itu, spiritualitas adalah konsep yang lebih abstrak dan pribadi. Spiritualitas berkaitan dengan pencarian makna dan tujuan hidup, serta mengembangkan hubungan yang mendalam dengan sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri. Spiritualitas berfokus pada pemahaman yang mendalam tentang diri sendiri, pencapaian potensi terbaik, perdamaian dalam diri, dan hubungan yang kokoh dengan alam semesta. Spiritualitas seringkali mengarah ke kehidupan yang lebih sadar dan berfokus pada hal-hal yang tidak terlihat dan misterius dalam kehidupan.

Meski agama dan spiritualitas terkadang selalu dihubungkan, namun ada beberapa perbedaan penting antara keduanya. Salah satunya adalah ritus dan tradisi. Agama memiliki serangkaian ritus dan tradisi yang harus diikuti oleh para pengikutnya. Ritual-ritual ini sering dilakukan untuk menghormati Tuhan dan mematuhi ajaran agama tersebut. Sementara itu, spiritualitas tidak memiliki aturan atau ritual yang kaku. Pendekatan spiritualitas lebih bebas dan tergantung pada individu yang mempraktikannya. Spiritualitas membiarkan individu menemukan cara unik mereka dalam mencapai pencerahan dan kebahagiaan.

Selain itu, agama juga berfokus pada keyakinan dan doktrin yang dianggap benar oleh Agama tersebut. Setiap agama memiliki seperangkat kepercayaan yang dianggap fundamental dan tidak boleh diragukan. Para pengikut agama diharapkan untuk mengikuti keyakinan ini secara tulus dan tidak mempertanyakan ajaran-ajaran tersebut. Di sisi lain, spiritualitas memberikan kebebasan untuk menjelajahi berbagai konsep dan teori. Individu yang menjalani spiritualitas tidak terikat oleh sistem keyakinan tertentu, melainkan mereka diberikan kebebasan untuk mencari kebenaran sendiri.

Kebebasan dalam spiritualitas juga tercermin dalam hubungan dengan alam semesta. Agama sering kali menempatkan manusia sebagai makhluk yang lebih tinggi daripada alam semesta. Dalam agama-agama tertentu, manusia dianggap memiliki pengaruh dan kewenangan yang besar terhadap alam semesta. Di sisi lain, spiritualitas mengajarkan tentang saling keterkaitan manusia dengan alam semesta. Spiritualitas memandang alam semesta sebagai sesuatu yang hidup, dan bahwa manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan darinya. Dalam spiritualitas, manusia dihubungkan secara emosional dan spiritual dengan alam semesta.

Spiritualitas pada Zaman Mesir Kuno.

Pada zaman Mesir kuno, ada seorang raja yang memerintah dengan kekuasaan besar yang menurutnya melebihi Tuhan siapapun, namanya Fir'aun. Ia dikenal sebagai sosok raja yang kejam, sombong dan diktator, namun di balik itu semua, ada sisi spiritualitas yang mengilhaminya. Spiritualitas raja Fir'aun di Mesir ini, ternyata menjadi cerita yang menarik bagi banyak orang, meskipun kediktatorannya juga menjadi pelajarannya yang sangat berharga.

Fir'aun lahir dalam keluarga bangsawan yang sangat taat pada agama Mesir kuno. Sejak kecil, ia diperkenalkan dengan praktik-praktik spiritual yang melibatkan dewa-dewa mereka. Keluarganya menyediakan guru-guru terbaik untuk memberikan pelatihan kepada Fir'aun mengenai agama mereka. Namun, Fir'aun merasa tidak puas hanya dengan itu. Ia memiliki hasrat dan keinginan yang lebih dalam terhadap spiritualitas, yang membuatnya mulai menjelajahi berbagai praktik yang lebih mendalam.

Di masa remajanya, Fir'aun sering berkunjung ke kuil-kuil suci, guna mengamati praktik-praktik ritual yang dilakukan oleh para pemimpin agama mereka. Ia merasa kagum pada kedalaman keyakinan dan kekuatan spiritual yang ada dalam praktik-praktik ritual penyembahan pada Tuhan mereka. Dari sanalah Fir'aun mulai tertarik untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang hubungan manusia dengan dunia spiritual.

Ketertarikan Fir'aun pada spiritualitas semakin mendalam, ketika ia bertemu dengan seorang peramal terkenal, yang menjanjikan kepadanya pengetahuan dan wawasan yang lebih dalam. Firaun rela membayar mahal untuk memperoleh kebijaksanaan yang dijanjikan sang peramal. Peramal tersebut mengajarkan Fir'aun tentang praktik-praktik meditasi dan kontemplasi yang berfungsi untuk menghubungkan diri secara lebih dalam dengan realitas spiritual. Fir'aun dengan tekun melatih dirinya dalam meditasi dan kontemplasi, mengarahkan pikiran dan perasaannya ke dalam dunia spiritual. Ia mempelajari cara mengendalikan pikiran dan energi yang ada dalam dirinya.

Melalui praktik-praktik spiritualnya, Fir'aun mulai memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang alam semesta. Ia percaya bahwa semua kehidupan di Bumi ini saling terkait dan berhubungan satu sama lain. Fir'aun mampu merasakan kehadiran kekuatan spiritual yang lebih tinggi dalam dirinya, memberinya pemahaman yang lebih dalam tentang hakikat kehidupan. Daya tarik Firaun terhadap spiritualitas semakin mempengaruhi kepemimpinannya. Ia mulai mengubah cara berpikir dan bertindak dalam memerintah Mesir. Fir'aun menekankan pada pentingnya keadilan dan kesejahteraan rakyatnya dengan berdasarkan prinsip-prinsip spiritual yang ia pelajari.

Spiritualitas Fir'aun juga terlihat dalam perlakuan dan penghormatannya terhadap alam. Ia memandang alam sebagai hadiah dari dewa-dewa dan berusaha untuk menjaga keharmonisan dengan alam tersebut. Firaun memberikan perintah kepada 'abdi dalem' istana untuk menjaga dan melindungi sumber alam yang dimiliki Mesir. Namun, walaupun Fir'aun telah menemukan sisi spiritualitasnya, ia tetaplah seorang raja yang penuh ambisi, rakus kekuasaan, dan diktator. Kehidupannya yang keras dan kejam membuatnya terus memperluas dan mempertahankan kekuasaannya, bahkan dengan mengorbankan nyawa jutaan rakyatnya.

Perlu diketahui, bahwa tidak semua diktator memiliki keyakinan keagamaan atau praktik spiritual tertentu. Beberapa di antaranya mungkin mengabaikan aspek spiritualitas sepenuhnya, sementara yang lain mungkin skeptis atau bahkan ateis. Pada titik ini, diketahui bahwa tidak ada satupun pola spiritualitas yang dapat diterapkan pada para diktator. Ini lebih merupakan studi kasus secara individual, dan bagaimana kepercayaan atau keyakinan para diktator tersebut, mempengaruhi tindakan politik mereka.

Pada akhirnya, penting untuk kita ketahui bahwa spiritualitas dapat muncul dalam berbagai bentuk, bahkan di tengah kejahatan dan penindasaan sekalipun. Spiritualitas para diktator merupakan contoh nyata, bagaimana keyakinan dan praktik spiritual dapat bergantung pada orang itu sendiri dan bisa digunakan untuk memperkuat atau membenarkan kekuasaan mereka. Tetapi, kita juga harus membuka pikiran kita, bahwa spiritualitas yang sejati melibatkan kebaikan dan moralitas yang menawarkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 7 Juli 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun