Oleh. Purwalodra
Sungguh perjalanan hidup manusia itu berputar, sambung-menyambung, seperti rantai yang saling mengikat satu sama lain. Seorang yang saat ini menjadi Guru, awalnya adalah seorang murid. Dan kelak, ketika Guru itu terus menambah ilmu, ia juga akan kembali berubah statusnya menjadi seorang murid. Begitulah seterusnya, Guru dan Murid, Dosen dan Mahasiswa, Kiyai dan santri, menjadi pemandangan eksistensi yang tak pernah berakhir. Karena esensi dari Guru dan Murid, Dosen dan Mahasiswa, Kiyai dan Santri, adalah sama. Mereka mengajar sekaligus belajar. Mereka juga belajar sekaligus mengajar.
Beberapa semester terakhir ini, saya diampu oleh seorang dosen yang notabene adalah mantan mahasiswa saya dulu. Kondisi semacam ini pernah saya alami ketika saya mulai menjalani profesi seorang dosen, ternyata ada seorang mahasiswa saya yang juga mantan guru Kimia saya di SMA. Beliau begitu terkejut melihat mantan muridnya yang paling bodoh di kelas saat belajar Kimia dulu, ternyata menjadi Dosen yang sedang mengampunya di depan kelas. Tentu saja, saya tidak akan pernah merasa tinggi hati atau merasa lebih mampu dari mantan guru saya tersebut, karena selain ilmu yang saya ampu berbeda dengan yang beliau ajarkan kepada saya sewaktu SMA, juga bagi saya apapun statusnya saat itu beliau adalah mantan guru saya.
Secara eksistensi, seorang guru, dosen, ustadz dan apapun namanya tidak mungkin ia disebut guru, dosen, kiai atau ustadz, jika tidak ada muridnya, mahasiswanya, atau santrinya. Begitupun sebaliknya. Jadi ada simbiosis, hubungan timbal balik, antara guru dengan muridnya, dosen dengan mahasiswanya dan kiai dengan santrinya. Dan secara esensi, menjadi guru sama esensinya dengan menjadi murid, begitupun sebaliknya.
Lima tahun lalu saya pernah menegaskan pada diri saya untuk mampu memuridkan diri pada siapapun, dan penegasan ini menjadi judul tulisan saya saat itu. "Memuridkan diri" adalah istilah yang berlawan dari "Menggurui orang lain." Memuridkan diri berarti menjadikan diri kita sebagi seorang murid bagi siapapun dan apapun. Ketika kita mau dan bersedia dengan ikhlas dan berfikir terbuka, menjadi seorang murid, maka kita akan senantiasa menerima banyak ilmu dari siapapun, apapun dan kapanpun. Karena pernyataan 'memuridkan diri' akan selalu mengundang banyak 'guru' dalam hidup kita.
Ketika saya berani menegaskan bahwa saya mampu memuridkan diri pada siapapun dan apapun, ternyata tantangan dan ujianpun siap menghadang. Beberapa kharakter dan sikap yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus saya kalahkan antara lain, sikap merasa benar sendiri, sikap lebih tahu dari siapapun, sifat sombong, tidak ikhlas dan kurang menghargai orang lain. Semua sikap dan kharakter ini terus menekan bathin dan menghembuskan berbagai keraguan dalam diri, sehingga fikiran dan hati saya merasa sudah penuh, dan tidak tersisa lagi ruang untuk bisa diisi dengan berbagai kebijaksanaan. Jika hal ini saya biarkan, maka saya akan memiliki sifat yang tertutup dan tidak fleksibel, yang berujung pada menguatnya 'egoisme.' Â Â
Saya mencoba terus untuk bisa menyadarkan diri saya sendiri, bahwa hidup ini penuh dengan tantangan. Niat baik dan usaha keras tidak menjadi jaminan, bahwa saya akan berhasil dalam hidup. Makin tegas saya bersikap, makin siap musuh yang iri menjegal. Kegagalan kapanpun dan dimanapun bisa terjadi, walaupun tanpa sebab yang adil. Dari kesadaran inilah, saya mencoba untuk memiliki pikiran seorang pemula (beginner's mind), yang terus berusaha memuridkan diri pada siapapun dan apapun.
Lawan dari pikiran pemula adalah pikiran ahli. Pikiran ahli melihat segala sesuatu dengan teori. Selalu menganalisis persoalan, baik-buruk serta untung-rugi. Hal ini akan membuat pikiran ahli selalu penuh dengan kegelisahan dan penderitaan. Sebaliknya, pikiran seorang pemula selalu bersih dari analisis. Semua dilihat dari apa adanya. Tidak ada yang ditambahkan. Tidak ada yang dikurangi. Ini bisa dilakukan dari saat ke saat di dalam hidup.
Pikiran pemula melihat dunia dengan mata fikiran yang segar. Di dalamnya terdapat rasa ingin tahu, rasa syukur, tanpa prasangka dan bahkan kekaguman. Dengan menjadi seorang pemula, saya akan terus merasa kagum melihat sesuatu yang saya temui, yang mungkin sudah saya kenal dan lihat sebelumnya, setiap hari. Dengan pikiran pemula, saya akan terus merasa terkagum-kagum, menyaksikan telur ayam bisa menjadi makanan dan bisa tersaji di meja makan.
Begitupun ketika seorang mantan mahasiswa saya itu menyampaikan apa yang ia tahu kepada saya. Seketika itu, cahaya menyelusup persis di dalam kepala dan bathin saya. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 17 Mei 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H