Oleh. Purwalodra
Sampai hari ini, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dalam rangka percepatan penanganan pandemic Covid-19, masih berlaku di wilayah Jabodetabek. Arus lalu lintas dan manusia masih seperti biasa, meskipun sedikit berkurang di jalan-jalan utama kota.Â
Sebagian besar warga kota tinggal dirumah, bekerja dari rumah, belajar di rumah, bahkan beribadah di rumah. Institusi pemerintah, swasta dan agama dipaksa menghilangkan identitasnya sebagai sebuah kerumunan (the crowd Soren Kierkegadrd). Namun, kondisi sebaliknya terjadi di daerah, dimana saya tinggal, warga masih asyik ngerumpi, bahkan sambil mencari kutu rambut atau mencabut sebagian uban yang terus bertumbuh. Mereka tidak merasa ada sesuatu yang luar biasa ?!!
Dengan adanya PSBB atawa Lock down, bahasa kerennya, justru membuat sebagian warga yang masuk kategori miskin menjadi kesulitan beraktivitas. Mereka sulit berdagang, sulit ngojek, sulit cari utangan, sulit bayar utang, bahkan mereka juga sulit mencari pelanggan. Meskipun, bantuan pemerintah sudah digulirkan, masih banyak saja warga yang belum bisa menikmati sembako gratis tersebut. Data lama menjadi andalan ketua-ketua RT dan RW, karena mereka diminta oleh kelurahan untuk menyiapkan data warga yang berhak menerima kucuran sembako gratis, hanya dalam waktu 24 jam saja.
Sebelum Corona, sengaja atawa tidak, diimpor dari luar negeri, orang-orang pinggiran kota di wilayah saya, yang berkategori sebagai warga malas, miskin, dan bodoh, beraktivitas seperti biasa meskipun identitas malas, miskin dan bodoh dilekatkan secara sengaja oleh orang-orang yang merasa rajin, berpendidikan dan hidup berkecukupan.Â
Bahkan ada seorang pejabat sebuah organisasi, memahami betul karakter malasnya orang-orang di wilayah saya. Pejabat itu selalu membandingkan produktivitas orang-orang dimana saya tinggal, dengan orang Vietnam, negara yang tiba-tiba memiliki produktivitas diatas Indonesia. Pejabat itu menghubungkannya dengan Indeks Produktivitas Manusia yang menjadi parameter, bahwa seseorang itu dikategorikan sebagai malas atau tidak malas. Sehingga meletakkan asumsinya kepada sifat malas sebagai indikator maju tidaknya suatu bangsa.
Justru, yang saya rasakan di masa-masa Lock Down inilah, yang sangat terlihat sibuk adalah mereka-mereka yang tergolong malas dan miskin. Di kampung-kampung, mereka masih beraktivitas seperti biasanya, tanpa rasa takut terhadap korona. Meskipun mereka tak boleh pergi melalui jalan-jalan utama kota, kecuali mengantarkan pesanan barang secara online.
Pemberlakuan PSBB atawa Lock Down, buat orang-orang di wilayah saya, mungkin baru pertama kali, karena peraturannyapun dibuat dan sah berlaku beberapa minggu lalu. Anggaran pemerintah yang dikeluarkan untuk PSBB tidaklah kecil. Berbagai program dilahirkan secara dadakan dengan asumsi, tokh masyarakat kita pemalas dan rata-rata miskin. Mereka bisa menjadi obyek anggaran yang digelontorkan pemerintah.
Namun demikian, masih ada juga kepala daerah yang dengan sombongnya mengatakan bahwa ada masyarakatnya yang mengembalikan sembako gratis dari pemerintah dengan alasan tidak mau dianggap miskin. Bersamaan dengan itu, warga di sekitar rumah saya, sedang memaki-maki ketua Rt dan RW-nya lantaran tidak adil dan tidak transparan mendata warganya agar bisa kebagian sembako gratis.
Di dalam ajaran moral tradisional, kemalasan dianggap sebagai sesuatu yang buruk, sehingga orang yang malas pasti akan menjadi orang yang miskin dan bodoh. Sementara, kita juga belum bulat menyimpulkan mana lebih duluan dan/atau apakah ada hubungan sebab-akibat, antara kemiskinan dan kebodohan itu.
Secara filosofis, kita perlu membedakan dua bentuk kemalasan. Yang pertama adalah kemalasan tanpa tujuan. Seserang hanya sekedar malas. Ia hanya mau bersantai seharian, tanpa tujuan apapun yang ada di kepalanya. Inilah kemalasan yang dicerca dan dihina oleh berbagai bentuk ajaran moral. Dan banyak orang membenarkan, bahwa orang yang malas tanpa tujuan akan menjadi miskin dan bodoh. Namun, ada jenis kemalasan yang kedua, yakni kemalasan yang bijak. Di sini, seseorang malas untuk mengerjakan sesuatu, namun ia punya tujuan yang jelas dalam hidupnya.
Orang-orang yang kita anggap modern sekarang ini, mencoba mencari cara untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara efektif dan efisien. Mereka tidak suka bertele-tele dengan segala macam hal yang membuat pekerjaan menjadi lama, dan akhirnya membuat orang lain susah. Tentu, kemalasan semacam inilah yang perlu kita pelajari, karena hal ini bukanlah sebentuk cacat moral, melainkan sebentuk keutamaan.
Kemalasan yang bijak ini juga memiliki banyak dampak bagi tata kehidupan baru, yang kelak akan kita seriusi usai Covid-19 ini berakhir. Di dalam bidang moral, orang yang malas secara bijak ini tidak suka dengan beragam ajaran moral yang rumit dan tak berguna. Baginya, moral bertujuan untuk membuat hidup bersama menjadi mungkin, dan mendorong seseorang untuk mencapai kebahagiaan. Ia akan mencari jalan paling efektif dan efisien untuk mencapai itu, sehingga ia lalu bisa bersantai dan bermalas-malasan.
Dalam perspektif hukum, sudah saatnya segala peraturan dan tata nilai masyarakat haruslah dibuat seefisien dan seefektif mungkin. Artinya, hukum haruslah mencapai tujuannya, namun tidak membuat orang bingung dengan beragam rumusannya. Hukum harus legitim dan sah di mata publik, namun juga efektif dan efisien di dalam rumusan maupun penerapannya.
Hukum dan moral semacam ini kemudian menjadi dasar pijakan yang tepat bagi hidup bersama, baik di tingkat regional, nasional maupun internasional. Jika dunia ditata oleh orang-orang malas/bijak ini, maka semua akan berjalan cepat dan lancar.
Juga terkait pengesahan Omnibus law RUU Cipta Kerja yang akan dimusyawarahkan pada era lock down sekarang ini, semestinya tidak akan terjadi, jika semua anggota DPR malas membahas kepentingan para buruh yang saat ini sedang terpuruk karena PHK massal, dan perusahaannya tidak mampu survive melawan Covid-19.
Perlu kita ingat bersama, bahwa banyak krisis, mulai dari perang, konflik sampai dengan krisis ekonomi, terjadi, karena dunia ditata oleh orang-orang yang rajin. Mereka rajin membuat peraturan-peraturan rumit, dan lambat dalam bekerja, sehingga terlihat rajin. Orang-orang rajin itu terlihat bekerja dengan giat, bahkan di waktu libur. Namun, sebenarnya, mereka tidak memiliki kemampuan tata kelola kerja yang baik.
Pada akhirnya, orang-orang penganut kemalasan inilah yang bijak, tidak suka bekerja terlalu lama dan bertele-tele. Mereka suka bekerja cepat, mendapatkan hasil yang bermanfaat untuk dirinya dan orang lain, lalu bermalas-malasan kembali. Justru, merekalah yang memiliki waktu dan tenaga untuk dihabiskan bersama orang-orang yang mereka cintai!?? Â Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 17 April 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H