Dalam paham kapitalis uang adalah salah satu faktor produksi, sama posisinya dengan faktor produksi lainnya, seperti : man, machines, market, methode, dan materials. Uang dulunya hanya digunakan sebagai alat tukar, pengganti kulit binatang atau makanan sebagai alat barter atas barang atau jasa yang akan kita miliki.Â
Sekarang uang bisa diperjual-belikan di pasar modal, sehingga suatu negara bisa saja bangkrut gara-gara 'nilai kurs'nya merosot terhadap nilai uang negara lain. Jangankan uang, manusia pun sekarang juga bisa diperdagangkan, karena uang memiliki posisi yang sama dengan manusia (man), sebagai faktor produksi.
Pada saat suatu negara sering menggunakan mata uang asing, apalagi sangat tergantung pada mata negara lain, maka sudah bisa dipastikan posisi keuangan dalam negeri akan menjadi begitu sensitif dan rawan krisis.Â
Ketika 'nilai kurs' mata uang asing tersebut semakin hari semakin merangkak naik, maka sudah bisa dipastikan krisis keuanganpun akan melanda suatu negara. Pada titik inilah, maka uang bukan lagi menjadi sekedar alat tukar, namun sebagai mesin pembunuh. Uang bisa jadi membunuh manusia secara indiviual, tapi juga mampu membunuh manusia senegara.Â
Katanya sih, uang bukanlah segalanya. Namun, segalanya akan susah, jika kita tidak punya uang. Sehingga, banyak orang, sadar atau tidak, mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencari uang. Bisa jadi, saat ini uang adalah tuhan-tuhan yang sengaja kita ciptakan untuk bisa dijadikan sebagai tujuan hidup.Â
Oleh karena itu, sebagai salah satu faktor produksi, uang bukanlah barang yang netral. Ia punya efek mengubah hal-hal yang ia sentuh. Efek mengubah ini tidaklah selalu baik, namun justru bisa merusak nilai dari hal tersebut.Â
Sebagai contoh, uang bisa menciptakan rasa iri yang lahir dari berbagai ketidakadilan, ketika orang yang memiliki uang banyak, maka ia akan mendapatkan kesempatan lebih banyak, daripada orang yang memiliki uang lebih sedikit.
Menurut Michael Sandel, di dalam bukunya, What Money Can't Buy (2013), Â menjelaskan, bahwa uang juga mempengaruhi kinerja orang di dalam pekerjaannya. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat teknis, seperti cleaning service atau tukang sapu, penjaga toko, security, dan lain-lain uang memang bisa memberikan motivasi tambahan, supaya orang mampu bekerja lebih rajin.Â
Namun, tidak untuk pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan tingkat kreativitas tinggi, uang tidak memberikan dampak apapun, atau justru melunturkan motivasi.
Mungkin, inilah yang disebut sebagai paradoks insentif. Dunia bisnis amat senang, ketika mereka menemukan mekanisme sederhana, bahwa orang bisa bekerja lebih rajin, karena diberikan uang lebih. Uang lebih inilah yang disebut sebagai insentif. Namun, cara ini tidaklah universal, melainkan hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu saja.
Michael Sandel juga menyatakan, bahwa kehadiran uang juga bisa menciptakan ketidakadilan. Orang-orang yang memiliki uang akan membayar lebih tinggi, sehingga mereka mendapatkan fasilitas an kesempatan lebih banyak.Â
Sementara, orang-orang yang memiliki uang lebih sedikit juga akan mendapatkan fasilitas yang lebih sedikit, atau tidak sama sekali. Apabila pola ini terus berulang di berbagai bidang kehidupan (pendidikan, politik, ekonomi), maka dalam jangka waktu yang tidak begitu lama, akan tercipta kesenjangan sosial yang besar, yang berpeluang menciptakan konflik di masyarakat.
Selain itu, uang pun memiliki efek korup. Korupsi disini berarti penurunan nilai dari apa yang kita kerjakan. Ketika kita membantu orang, kita melihat tindakan kita sebagai sesuatu bernilai. Namun, ketika orang yang kita bantu membayar kita, nilai tindakan kita berubah menjadi semata nilai ekonomi yang bisa diukur dengan uang. Jadi, nilai membantu telah dikorup menjadi semata nilai ekonomi, karena nilai yang sesungguhnya dari tindakan mulia dengan membantu seseorang telah luntur, karena telah disentuh dengan uang.
Selanjutnya, uang juga melahirkan godaan yang besar di korupsi, baik secara individual maupun berjama'ah, yang ujung-ujungnya untuk kepentingan pribadi. Sistem politik dan hukum Indonesia merupakan contoh nyata, bagaimana uang telah mengaburkan semua nilai, dan menggantinya semata menjadi nilai ekonomi, sehingga mengundang orang untuk melakukan korupsi.
Ketika nilai-nilai itu luntur, akibat sepak terjang uang yang tanpa aturan, maka masyarakat pun akan ikut hancur. Hidup bersama akan menjadi amat sulit, karena boleh jadi setiap orang menjadi begitu egois untuk mengumpulkan uang lebih dan lebih lagi, kalau perlu dengan merugikan orang lain, atau kepentingan bersama.
Sementara itu, Gerhard Hofweber (2010), juga berusaha menjelaskan, bahwa hidup bersama kita telah kehilangan akal sehatnya, sehingga mendewakan uang di atas segalanya.Â
Pandangan bahwa uang adalah nilai tertinggi adalah kesalahan terbesar peradaban modern. Manusia modern menjadi buta, karena ia tidak bisa membedakan, mana yang merupakan alat, dan mana yang merupakan tujuan.
Lebih jauh Hofweber menjelaskan, bahwa pandangan Aristoteles yang berusia lebih dari 2000 tahun yang lalu tentang uang masih bisa menjelaskan situasi kita sekarang ini. Baginya, uang adalah alat bagi satu tujuan tertentu. Artinya, apa yang orang beli dengan uang haruslah memiliki nilai yang lebih tinggi, daripada uang itu sendiri. Jika tidak, maka sebaiknya orang tidak membeli barangtersebut.
Sekarang ini, banyak orang lupa pada tujuan hidupnya. Kepenuhan dan kebahagiaan hidup tidak lagi menjadi tujuan. Ketika ini terjadi, maka orang bingung akan perbedaan antara alat dan tujuan. Alat berubah menjadi tujuan. Uang berubah menjadi tujuan, dan akhirnya mengacaukan seluruh tatanan hidup, baik hidup pribadi maupun hidup bersama.
Ketika uang menjadi tujuan, ia lalu dilihat sebagai kebutuhan utama. Yang menyeramkan adalah, kebutuhan akan uang tidak akan pernah cukup. Berapapun pendapatan seseorang, ia tetap akan merasa tidak cukup, karena hidupnya kehilangan tujuan yang sejati, yakni kepenuhan hidup itu sendiri. "Ketika hidup yang baik dan pemikiran yang masuk akal tidak lagi menjadi ukuran", demikian Hofweber, "maka kebutuhan akan uang akan menjadi tidak terbatas, dan kerakusan menjadi konsekwensinya."
Michael Bienert (2008) juga menulis, bahwa uang di dalam masyarakat modern telah menjadi sedemikian terlepas dari kontrol manusia. Akibatnya, bukan manusia yang mengontrol uang, melainkan uang yang mengontrol manusia.Â
Uang sudah seperti Tuhan itu sendiri, mampu mendikte tindakan-tindakan kita, manusia. "Semakin sempurna uang dirasa sebagai alat tukar", demikian tulis Bienert, "semakin ia abstrak dan tanpa materi, dan semakin ia menjadi universal, maka ia akan semakin mirip dengan Tuhan."Â
Uang kini tidak lagi berbentuk fisik, baik kertas atau logam. Ia menjadi sekedar nomor kartu kredit atau kartu debet. Ia menjadi semakin abstrak, jauh dari jangkauan tangan fisik manusia.
Dulu uang itu hanya alat tukar, tidak lebih dan tidak kurang, namun sekarang uang mampu mempengaruhi kehidupan manusia dari seluruh bidang kehidupan. Ketika uang bebas bergerak kemanapun tanpa aturan dan moralitas, maka uang akan membawa bencana, kehancuran dan krisis berkepanjangan. Sungguh ironis bukan ?!! Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 17 September 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H