Oleh. Purwalodra
Sudah 72 tahun Indonesia Merdeka, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2016 lalu bertengger di peringkat 113 dari 188 negara. Beberapa pihak lantas membandingkannya dengan peringkat Indonesia di tahun 2015, di mana terjadi penurunan peringkat dari 110 menjadi 113. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI)adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia.
Di Indonesia, paradigma pembangunan merupakan suatu proses menyeluruh yang menyentuh seluruh aspek, baik ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan lainnya. Pembangunan merupakan cara pandang terhadap suatu persoalan pembangunan, dalam arti pembangunan baik sebagai proses maupun sebagai metode untuk mencapai peningkatan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan rakyat.
Paradigma pembangunan di Indonesia mengalami perkembangan dari beberapa tahap sebagai berikut: pertama, paradigma pertumbuhan (growth paradigm);kedua, pergeseran dari paradigma pertumbuhan menjadi paradigm kesejahteraan (Welfare paradigm); dan ketiga, paradigma pembangunan yang berpusat ada manusia (people centered development paradigm).
Sekilas dari data diatas, ternyatapembangunan manusia di Indonesia masih jauh dari negara-negara tetangga kita. Biaya sekolah kita masih mahal, sistem pendidikan kita masih jauh dari harapan, bahkan pendidikan menjadi ladang bisnis bagi sebagian orang. Sekolah sebagai institusi pendidikan pun tidak lagi murni, namun dilumuri kepentingan untuk mendapatkan uang, sehingga mereka bisa survive dengan membayar upeti pada pemerintah. Sekarang ini, jika ingin bertahan sebagai sekolah yang unggul, maka sekolah haruslah menyisihkan sebagian pendapatan mereka untuk pelicin ke pemerintah. Inilah praktek kotor yang terus berlangsung, namun tampak tidak lagi menjadi tema persoalan, karena sudah dianggap biasa.
Padahal dalam pembukaan UUD 1945 kita diingatkan untuk senantiasa mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, yang penggalannya berbunyi : "Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, Â .... ".
Dalam salah satu artikel menarik di majalah mingguan Newsweek, mungkin bisa kita jadikan rujukan dalam membangun manusia Indonesia. Judul tulisan tersebut adalah Teaching Humanity, karya dari Nussbaum, seorang professor Hukum dan Etika di Universitas Chicago. Artikel tersebut menekankan betapa pentingnya pendidikan kemanusiaan di era globalisasi ini. Ditengah orang-orang dengan pola pikir bahwa pendidikan yang terpenting adalah menghasilkan uang, tulisan Nussbaum ini tampak menjadi semacam oasis bagi kita yang merindukan cita-cita awal dan paling dasar dari pendidikan di Indonesia, yakni : Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Harus diakui, kita semua hidup dalam dunia yang seluruh logikanya mengacu pada satu hal, yakni motif keuntungan ekonomi. Akibatnya, seluruh proses hidup bersama kita, termasuk pendidikan, pun diarahkan melulu pada motif tersebut. Sementara itu, Gerhard de Haan, ilmuwan pendidikan asal Berlin, pernah menyatakan, bahwa tema "kemajuan yang berkelanjutan"adalah tema terpenting jaman kita. Ide ini haruslah disatukan dengan berbagai bidang kehidupan masyarakat, mulai dari seni, pendidikan, ekonomi sampai dengan politik. Di Jerman, orang bisa mengambil jurusan turisme hijau sebagai pendidikannya. Di dalam jurusan ini diajarkan, bagaimana orang bisa berwisata dengan hemat energi, seperti misalnya menggunakan angkutan umum, dan tidak bersandar melulu pada kendaraan pribadi.
Konsep "kemajuan yang berkelanjutan"ini nantinya berkembang secara konkret menjadi berbagai kebijakan di bidang ekonomi dan pariwisata. Sebagai bagian dari masyarakat konsumen, kita bisa memilih untuk membeli produk yang dibuat dengan prinsip perdagangan yang adil. Kita hanya perlu melihat label yang tertempel di barang yang akan kita beli. Ada kemungkinan lainnya, yakni produk yang dibuat dengan cara-cara yang sehat dan halal. Semua label ini melambangkan adanya proses-proses yang adil di belakang beragam produk ataupun jasa yang kita beli.
Konsep ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Ia lahir dari masa-masa awal revolusi industri di Eropa pada abad 18 lalu. Pada masa itu, kayu adalah sesuatu yang amat berharga. Orang menggunakan kayu tidak hanya untuk membangun rumah, tetapi juga untuk pemanas ruangan dan memasak. Beberapa hutan menjadi gundul, akibat dari proses-proses ini. Keadaan ini mendorong Hans Carl von Carlowitz, yang pada waktu itu menjadi pemerhati hutan di Jerman, untuk menulis buku pada 1713 tentang ekonomi dari hutan-hutan. Ide tentang kemajuan ekonomi yang berkelanjutan dan memperhatikan keadaan lingkungan hidup pun lahir di Eropa.
Sejak saat itu, konsep berpikir dan bertindak berdasarkan kesadaran lingkungan hidup pun meningkat. Pada 2002 lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadakan pertemuan di Rio de Janeiro. Mereka bersepakat untuk merumuskan program global dengan nama "Pendidikan untuk Kemajuan yang Berkelanjutan."Semua negara anggota PBB, termasuk Indonesia, haruslah menerapkan berbagai kebijakan yang menunjang program tersebut, terutama di bidang pendidikan dan penelitian.