Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Kita Berkhianat?

16 April 2017   19:33 Diperbarui: 17 April 2017   04:00 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Dalam pergaulan sehari-hari kita sering mengalami berbagai pengkhianatan yang datang dari teman maupun kolega-kolega kita. Secara  natural dan hukum sebab-akibat, orang yang berkhianat kepada kita, pastinya diawali dengan perbuatan kita sendiri, yang juga pernah melakukannya kepada orang lain, untuk kepentingan diri sendiri atau kepentingan kelompok kita. Namun secara empiris, lebih dapat dijelaskan bahwa sebenarnya yang dikhianati itu adalah diri kita sendiri. Postulatnya adalah, ketika kita mengkhianati orang lain, berarti kita mengkhianati diri sendiri. Ketika kita berbuat jahat pada orang lain, berarti kita berbuat jahat pada diri sendiri. Bagaimana membuktikannya ? mudah saja, dengan cara mengalaminya. Ketika kita mengalami sendiri berbuat jahat pada orang lain, lihat apa yang terjadi !

Disadari atau tidak, dipahami atau memang karena tidak tahu. Perbuatan jahat maupun perbuatan baik memiliki konsekuensinya dalam kehidupan manusia secara individual. Mengapa masih ada orang yangberbuat pada sesamanya? Padahal konsekuensinya tidak menunggu kita mati. Mengapa kita juga melakukan pengkhianatan kepada sesama kita? Mengapa manusia menciptakan penderitaan bagi manusia lainnya, dan juga bagi banyak mahluk hidup lainnya? Jawabannya hanya satu, yakni delusi (khayalan/angan-angan), atawa kesalahan berpikir tentang kehidupan.

Delusi atau khayalan yang pertama adalah ternyata sebagian besar kita merasakan sesuatu yang kurang dalam hidup ini. Kita merasa, bahwa kita tidak dapat hidup, jika tidak mendapat pengakuan dari orang lain. Kita juga merasa, bahwa kita tidak bisa bahagia, jika tidak memiliki uang banyak untuk membeli barang-barang yang kita anggap prestise. Perasaan kurang semacam ini menghantui begitu banyak orang, hampir sepanjang hidupnya.

Orang menyebutnya dengan berbagai kalimat atau kata-kata. Ada yang bilang, mereka mencari kebahagiaan. Ada yang bilang, mereka mencari makna di dalam hidupnya. Ada pula yang bilang, mereka mengalami krisis tujuan hidup. Semua menunjuk pada satu keadaan, dimana perasaan kekurangan itu berdiri kokoh di dalam batin. Kitapun mencari cara, guna mengisi kekurangan atau kekosongan batin tersebut. Lantas, kita melihat ke luar dirinya. Seperti, narkoba, seks, mistik dan konsumtivisme menjadi alternatif. Namun, semuanya tetap tak bisa mengisi kekosongan batin yang ada. Penderitaan pun semakin berlanjut.

Di dalam proses pemenuhan kekurangan, dimana keadaan telah menjadi sedemikian rumit, maka kita tak segan-segan menyakiti orang lain. Untuk mempertahankan gaya hidup konsumtif, sebagai pelarian dari kekosongan batin yang dirasakan, kita bersedia korupsi. Bahkan, kitapun bersedia membunuh orang lain, sekedar pemenuhan kepuasan sementara. Pada akhirnya, masyarakat kita dipenuhi dengan orang-orang yang menderita secara batiniah, dan kemudian saling menyakiti satu sama lain.

Inilah yang sekarang ini terjadi di sekitar kita. Banyak orang hidup dalam kesalahpahaman mendasar, bahwa mereka bisa mendapatkan kepenuhan hidup dengan mencari kepuasaan dari benda-benda di luar dirinya.

Selanjutya, yang kedua adalah cara berpikir yang didorong oleh keterpisahan kita, sebagai manusia. Salah satu racun paling mematikan dari filsafat barat adalah pandangan, bahwa manusia adalah mahluk individualistik yang terpisah dari manusia lainnya, dan juga terpisah dari alam. Pandangan ini menyebar begitu luas ke berbagai belahan dunia melalui proses kolonisasi/penjajahan di masa lalu, dan proses globalisasi di masa sekarang. Media cetak dan elektronik (terutama teknologi digital) berperan besar di dalam menyebarkan pandangan ini.

Khayalan tentang keterpisahan manusia ini juga menjadi akar dari segala bentuk diskriminasi dan pengejaran kepentingan pribadi tanpa henti. Hal ini kemudian mendorong adanya dominasi terhadap sesama, dan menjadi akar dari sebaga bentuk deviasi perlaku manusia, yang tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang wajar.

Ketika kekosongan batin masih berdiri kokoh di dalam diri kita, maka kita bisa menjajah dan menguasai orang lainnya. Namun, bathin kita tetap akan merasa menderita. Khayalan tentang keterpisahan manusia ini akan mendorong kita masuk ke dalam kesepian dan kekosongan batin yang lebih dalam, walaupun kita memiliki uang, kekuasaan, nama besar dan beragam barang mewah lainnya.

Selain merusak diri sendiri dan orang lain, kekosongan bathin yang ada dalam diri kita, akan menghancurkan alam. Hutan dibabat untuk membangun perumahan mewah. Laut direklamasi untuk membangun kota mewah. Gunung diratakan untuk memperoleh emas. Lalu, kita melihat diri kita sebagai sesuatu yang terpisah, sekaligus lebih tinggi dari alam dan semua mahluk hidup lainnya. Kita merasa punya hak untuk menguasai dan menghancurkan semuanya, guna memenuhi keinginan dan kerakusan kita.

Ketika alam ini rusak, maka seluruh kehidupan terancam. Hewan punah. Hutan dan berbagai sistem ekologi alamiah lainnya juga hancur, akibat ulah kita sendiri. Di dalam keadaan semacam ini, kita justru akan semakin dalam terjebak dalam rasa takut, kesepian dan penderitaan.

Jalan keluar dari dua khayalan kita diatas, sebenarnya sederhana, yakni kita harus mulai melihat ke dalam diri kita sendiri, dan mencoba menemukan kepenuhan hidup disana. Kita harus berhenti mencoba mengisi kekosongan batin kita dengan hal-hal eksternal, seperti uang, nama besar, barang-barang dan lainnya. Ketika kita menengok ke dalam, kita akan menyadari, siapa diri kita sebenarnya. Di dalam proses menyadari diri kita yang sejati, kita pun lalu akan sampai pada kesadaran, bahwa segala hal di alam semesta ini adalah kesatuan dari jaringan yang tak terpisahkan.

Kita dan orang lain adalah satu. Kita dan alam adalah satu. Penderitaan mereka adalah penderitaan kita sendiri. Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan kita sendiri. Pemahaman ini tidak boleh hanya menjadi pemahaman intelektual semata. Ia harus sungguh menjadi bagian dari kesadaran kita sehari-hari. Ketika kita bertindak dari kesadaran mendasar, bahwa apa yang kita cari sudah selalu tertanam di dalam diri kita sendiri, dan bahwa segala hal di dunia ini adalah satu kesatuan dan saling terhubung satu sama lain, maka segala yang kita alami dan lakukan akan selalu bisa membantu diri kita sendiri dan orang lain.

Pada akhirnya, tidak ada perbedaan antara kita dan mahluk hidup lainnya. Tidak ada perbedaan antara kita dan alam. Semua perbedaan yang tampak hanya muncul dari panca indera dan pikiran kita yang rapuh. Perbedaan tersebut lahir dari delusi (khayalan), yakni dari kesalahan berpikir yang mendasar tentang kehidupan ! Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi,16 April 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun