Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesadaran Akan Ketidaktercukupan Kita?!

24 Juni 2016   08:30 Diperbarui: 29 Juni 2016   04:06 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Tak bisa kita pungkiri, bahwa kita sebagai manusia dikaruniai Allah Swt untuk merasa tidak cukup berada di dunia ini. Dengan merasa tidak cukup ini, maka kita terus mencari apa yang menjadi ketidaktercukupan kita itu. Karena itulah, kita dituntut untuk terus belajar memahami “apa yang tidak cukup” dalam hidup kita. Lantas, mengembangkan “kesadaran akan ketidakcukupan.” Di dalam hidup yang begitu kaya dan dinamis ini, “kesadaran akan ketidakcukupan” merupakan suatu bentuk kebijaksanaan. Hidup memang selalu kurang. Namun, mungkin saja bukan hidup yang kurang, tapi diri kita sendiri, sebagai manusia, yang merasa selalu kurang ?!.

Kesadaran akan ketidaktercukupan yang ada pada diri kita ini, mungkin merupakan sebuah undangan pada hidup kita, bahwa hidup harus terus bergerak. Namun, bukan berarti kita meninggalkan rasa syukur kita terhadap apapun yang kita alami dan kita miliki saat ini. Justru, perasaan ketidaktercukupan pada diri kita ini merupakan tanda bahwa kita perlu memiliki cita-cita setinggi langit, agar hidup ini terus bergerak dengan resiko menabrak status quo, yang selalu menginginkan kita dalam keadaan stagnan atawa statis.

Kesadaran akan ketidaktercukupan kita ini terbukti nyata dalam kehdupan sehari-hari, karena banyak hal muncul dalam hidup ini dalam bentuk yang selalu kurang, dari apapun yang kita harapkan. Penghasilan yang tak pernah cukup dalam mencukupi kebutuhan hidup. Pengetahuan yang selalu kurang dalam memenuhi kegelisahan intelektual kita. Dan, waktu yang selalu tidak cukup untuk keluarga, atau orang-orang yang kita cintai.

Jacques Lacan, filsuf dan psikoanalis asal Prancis, pernah bilang, “kata orang, kita harus berbicara benar. Atawa, kita harus mampu mengatakan kebenaran. Namun hal itu tidak akan pernah mungkin. Karena bahasa kitapun tidak cukup untuk mengatakan kebenaran itu sendiri. Bahasa kita terlalu miskin untuk mampu menyatakan kebenaran.”

Lacan juga menyatakan bahwa ketika kita berkata-kata, bahasa langsung mengepung maksud kita ke dalam sebuah ‘kata dan grammar.’ Ternyata ada jarak yang cukup besar antara kata yang kita ucapkan tersebut dengan maksud sebenarnya yang ada dalam lubuk hati kita. Pada akhirnya, kata-kata dan bahasa kita tidak akan pernah cukup untuk mampu  mengungkapkan, apa yang sebenarnya akan kita kemukakan tersebut ?!.

Sementara itu, Thomas Metzinger, filsuf dan ilmuwan neurosains asal Jerman, menyatakan dalam tulisannya, bahwa apa yang kita tangkap dengan pikiran kita hanyalah sebagian kecil dari kekayaan realitas yang ada. Dengan kata lain, pikiran kita tidak cukup untuk menangkap keluasan kenyataan yang ada. Kenyataan atau realitas yang sesungguhnya jauh lebih kaya, dibandingkan dengan apa yang bisa kita tangkap dan pahami melalui pikiran kita.

Kita juga menyadari, bahwa kita selalu bertindak berdasarkan motif atawa maksud yang didasarkan pada harapan-harapan tertentu. Namun, kita tak perlu bersedih jika ternyata tindakan kita itu tidak pernah cukup mewujudkan semua harapan kita itu. Seorang kekasih yang begitu mencintai pasangannya, tidak akan pernah cukup mengungkapkan rasa cinta dan sayangnya dengan kata-kata maupun tindakannya itu. Dan, ternyata memang ada jarak antara apa yang kita rasakan sesungguhnya, dengan  tindakan yang kita lakukan untuk menampilkan perasaan cinta dan sayang kita tersebut, kepada orang yang kita cintai.

Slavoj Zizek, filsuf asal Slovenia, juga menegaskan, bahwa riwayat hidup seseorang tidak akan pernah cukup untuk menggambarkan jati diri seseorang. Apalagi Identitas, karena identitas legal formal, tidak pernah cukup menggambarkan kekayaan sekaligus keunikan diri seseorang.

Ingat, bahwa pada saat kita berusaha memahami sesuatu, kita menggunakan konsep. Konsep tersebut kita buat tidak hanya di dalam mengkompilasi ilmu pengetahuan atau filsafat, tetapi juga di dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun, setiap konsep atau teori tidak akan pernah bisa menangkap kekayaan kenyataan yang ada. Konsep atau teori yang kita gunakan untukmerumuskan secara ilmiah, tidak pernah cukup untuk menangkap apa yang sesungguhnya terjadi.

Seperti halnya, banyaknya indikator yang dijejer untuk menjelaskan perkembangan statistik negri ini untuk menunjukkan, bahwa ekonomi kita berkembang. Tapi, ternyata angka-angka statistik dan indikator tersebut hanyalah rumusan yang tidak akan pernah mampu menangkap kenyataan yang ada, yang sebenarnya penuh dengan kemiskinan, penderitaan, dan kesenjangan sosial yang amat besar, antara si kaya dan si miskin di negeri ini. Sekali lagi, rumusan, konsep, teori, dan data tidak akan pernah cukup menggambarkan kenyataan yang ada.

Seorang mahasiswa yang mendapatkan nilai rendah dalam ujian akhir semesternya, juga tidak mampu membuktikan, bahwa si mahasiswa tersebut tidak belajar dengan keras. Padahal, nilai-nilai sebelumnya sangat baik. Hanya saja, ketika ujian akhir semester datang, ia dalam keadaan tidak sehat secara fisik, dan tak mampu mengerjakan soal-soal yang diberikan dengan tenang. Akhirnya, nilainya rendah. Ia pun gagal dalam ujian akhir semesternya.

Pada akhirnya, hasil ujian juga tidak pernah mampu mengungkap usaha belajar seseorang. Nilai tidak pernah cukup menandakan kerja keras seorang mahasiswa. Inilah yang perlu kita sadari sebagai seorang pendidik. Proses belajar, yang merupakan proses yang berkelanjutan dan dinamis, tidak akan pernah bisa dipahami hanya dengan melihat nilai ujian saja. Dengan ulasan diatas, apakah kita masih merasa bahwa apa yang ada dalam pikiran, sikap, dan tindakan kita itu cukup untuk mengungkap kekayaan kehidupan ini ?!. Mari kita terus bersyukur, bahwa kita diberi kesempatan hidup oleh Allah Swt, untuk senantiasa mengalami hidup dan mengalir dengan kejadian-kejadian yang ada di muka bumi ini. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 24 Juni 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun