Masa lalu memang tak pernah ada artinya bagi kita. Masa lalu biarlah menjadi masa lalu, karena ia tak lagi bisa kembali ke masa kini. Namun ketika peristiwa atawa kejadian saat ini mengikuti alur di masa lalu, justru ini yang menjadi masalah. Seakan masa lalu datang menghantui kita lagi, dengan berbagai peristiwa yang sama seperti dulu. Dari titik ini, kita bisa melihat dan merasakan, bahwa tak ada perubahan yang berarti, ketika peristiwa masa lalu bisa terulang kembali sekarang. Kita seolah-olah tidak mampu belajar dari masa lalu, khususnya yang mengecewakan, menyakitkan dan bahkan mencelakakan ?!.
Pada saat, saya diskusi tentang persoalan rumah tangga dengan seorang teman, yang meminta saya untuk sedikit memberikan masukan guna menyelesaikan persoalan dengan suaminya. Saya katakan, bahwa kita semua harus mampu belajar dari masa lalu, agar ia tak menjadi ‘preseden.’ Artinya, berulangnya suatu peristiwa yang telah terjadi di masa lalu ke masa sekarang. Pada saat, teman saya akan memutuskan untuk bercerai dengan suaminya, padahal ia dulu juga pernah melakukannya atas inisiatifnya sendiri, saya menyarankan agar hal itu tidak dilakukan lagi, karena akan menjadi ‘preseden’ bagi jalan hidupnya.
Entah mengapa, saya selalu melihat siklus berulangnya kembali peristiwa di masa lalu, karena seseorang itu pernah melakukannya, sama seperti itu. Seperti ada medan morfik/magnit yang selalu mengarahkan dirinya kepada peristiwa yang menyakitkan itu, yakni perceraian. Saya lebih terbiasa mengatakan bahwa ‘preseden’ itu merupakan medan morfik, artinya ada fenomena pengulangan peristiwa yang disebabkan adanya resonansi morfik. Maksudnya begini, jika medan morfik telah terbentuk, maka medan morfik itu akan meluas ke segala ruang dan waktu. Teori tentang medan morfik ini dikemukakan oleh Dr. Sheldrake tentang resonansi morfik. Dimana ketika satu orang menyadari sesuatu, maka orang lain pun akan ikut menyadarinya. Resonansi morfik ini menyebar ke segala arah baik ruang dan waktu. Ketika sesuatu yang sama berulang sendiri, sebenarnya ada sesuatu yang terbentuk dari sebuah medan morfik, dan ber-resonansi dengan medan morfik yang lain, untuk meningkatkan kemungkinan berulangnya suatu peristiwa atawa kejadian.
Peristiwa-peristiwa yang kita alami di dunia ini, juga mampu beresonansi dengan cara yang sama, seperti resonansi suara. Lokasi dimana peristiwa-peristiwa itu terjadi disebut sebagai medan morfik, dan fenomena pengulangan atas peristiwa-peristiwa yang terjadi disebut sebagai resonansi morfik.
Kemudian, ada seorang pakar tentang kehidupan air dari Jepang, Masaru Emoto, yang telah berhasil mengungkap rahasia kehidupan air di muka bumi ini. Ternyata, air dapat menyebarkan pesan keseluruh dunia. Bahkan ketika akan ada pertempuran atau bom jatuh, air seluruh dunia akan berpengaruh walaupun jauhnya hingga ribuan kilometer. Pada saat melakukan penelitiannya, Masaru Emoto, secara tidak sengaja melihat adanya perubahan yang terekam terhadap getaran yang dihasilkan oleh benda-benda berbahaya saat ada pertempuran dan bom jatuh di Timur Tengah. Dan hasilnya terdapat peningkatan getaran yang tajam dari zat-zat yang berbahaya yang sedang ia teliti di Jepang. Hal tersebut membuktikan bahwa semua benda beresonansi melampaui ruang dan waktu.
Kenyataan bahwa air pun dapat merekam apapun dan dapat bereaksi dengan benda apapun, apalagi tubuh fisik kita yang di dominasi oleh 80% lebih air. Jika didekatkan dengan benda berbahaya seperti air raksa, maka air akan memberikan respon buruk. Air juga bisa merespon mana orang yang memiliki niat baik dan niat buruk. Oleh karena itu, jika kita bergaul dengan seseorang yang memiliki perilaku buruk, otomatis kita pun akan tertular perilaku buruk tersebut, begitu pun sebaliknya.
Kembali ke tulisan awal, bahwa peristiwa masa lalu yang mampu berulang kembali, disebabkan karena kita jarang mau belajar dari “yang lalu”, karena mungkin kita takut untuk mengingat. “Yang lalu yang baik” kita terima dan banggakan. Sementara “yang lalu yang menyakitkan”, kita lupakan. Ingatan kita pun terbelah tak seimbang. Sehingga, pelajaran yang kita terima pun hanya sebelah, dan tak bertahan.
“Yang lalu yang menyakitkan” harus menjadi bagian dari ingatan kita. Berbagai peristiwa dan kejadian yang sempat menghancurkan hidup kita di masa lalu haruslah menjadi obyek refleksi kita sekarang. Hanya dengan begitu kita bisa sungguh menerima kebijaksanaan, walaupun menyakitkan, dari apa yang pernah ada dan pernah terjadi dalam hidup kita. Hanya dengan begitu kita tidak terus jatuh pada lubang yang sama, alias peristiwa yang sama.
Apa “yang lalu” terekam dalam ingatan. Ia menyelinap ke dalam benak, membentuk pola, dan mempengaruhi tindakan. Semua orang mengalami ini, tanpa kecuali. Hal ini berlaku untuk level individual, maupun kolektif. “Yang buruk” maupun “yang baik”, keduanya ada berdampingan. Keduanya tak terpisahkan.
Keduanya membentuk “saya”. Keduanya adalah identitas yang menentukan jati diri seorang manusia. Di level masyarakat kolektif, “yang baik” dan “yang buruk” di masa lalu membentuk identitas masyarakat itu. Yang diakui akan tampil dalam bentuk monumen maupun peringatan bersama. Yang tak diakui akan menyelinap ke dalam benak kolektif, dan menjadi anomali yang melahirkan perilaku tak biasa; inilah biasanya di sebut sebagai, trauma.
Yang lalu juga kerap menjadi beban. Keberhasilan di masa lalu menjadi ukuran bagi masa sekarang. Jika tak mampu mengulang, maka perasaan tak mampu dan menyesal akan tampil ke depan. Nostalgia akan masa lalu yang gemilang membawa beban yang tak bisa diletakkan.