Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menikmati Kesedihan!?

18 September 2015   14:39 Diperbarui: 18 September 2015   15:03 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Purwalodra

Sebagian besar kita, yang mana daripada sedih itu, sering menjadi sesuatu yang mesti dan harus dihindari. Karena perasaan sedih itu, akan mengurangi rasa senang kita. Padahal sedih itu ya sedih ! Titik. Senang itu ya senang gituu ?!. Sedih dan senang adalah perasaan yang begitu berbeda, baik penyebab maupun kondisinya. Mungkin, siang ini saya memiliki paling tidak kesedihan ?!! Yang pertama adalah soal anggaran keuangan bulan ini, baru berjalan hampir tiga minggu saja, saya sudah harus mikirin anggaran seminggu ke depan. Sebab kesedihan finansial ini, selain harga-harga tidak menyesuaikan penghasilan, juga kebutuhan tiba-tiba muncul bagai air bah. Sehingga, mau tidak mau, perlu cari tambahan penghasilan untuk menutupi anggaran ?!!.

Kesedihan kedua, saya sering merasa galau, kesepian, dan berbagai pikiran yang saya sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Perasaan galau dan kesepian ini muncul dari setiap usaha saya untuk selalu menjadi otentik dengan diri saya sendiri,baik di kantor maupun di masyarakat. Saya ingin menjalani hidup apa adanya, netral dan pengennya sih damai-damai saja. Namun justru yang terjadi, saya terus-menerus merasakan kegalauan dan kesepian.

Ketika saya menginginkan diri saya menjadi otentik, tentu saya akan menciptakan perbedaan  dengan orang lain. Dan perbedaan itu seringkali membuat saya merasa kesepian. Pilihan lainnya adalah menyesuaikan diri. Namun, penyesuaian diri itu seringkali hanya dipermukaan saja dan tidak lebih dari pura-pura saja, karena takut pada kekuasaan dan fitnah-fitnah yang setiap kali datang tak diundang. Kesepian dan kegalauan saya juga muncul karena banyaknya kemunafikan di sekitar saya. Mereka lebih suka berbuat munafik daripada berdebat dengan penguasa. Atawa, lebih suka menjadi ‘pembisik’ daripada sebagai ‘penyeru perlawanan’ atas ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.

Kesedihan berikutnya, adalah saya mulai muak dengan kemiskinan, kebodohan dan berbagai fanatisme, baik yang berorientasi religius, maupun ekonomi yang berkembang di sekitar saya. Teman-teman dan orang-orang di sekitar saya seolah tidak mau berpikir, apakah hidup yang mereka jalani ini sudah tepat atau belum. Mereka seperti mayat-mayat hidup yang berjalan, bekerja, berdagang, berdoa, tanpa sungguh sadar akan apa yang mereka lakukan.

Ketika saya menanyakan sesuatu dan berdiskusi, tentang apa yang saya dan mereka hadapi dalam hidup ini, mereka melarikan diri, dan menganggap saya sok pintar, sombong, pemberontak, dan sebagainya. Padahal tidak ada niat jahat apapun yang ada di dalam hati dan pikiran saya. Yang ada adalah cita-cita bersama, agar hidup kita dapat diwarnai dengan keterbukaan, toleransi, dinamika yang sehat, serta solidaritas.

Makanya, sejak tujuh tahun terakhir ini, saya merasakan diri saya sangat kering dan tidak bermakna. Mungkin, karena itulah, saya terus menulis !? Saya sampai menanyakan kepada diri saya sendiri, apakah kondisi seperti ini yang membuat saya bisa terus menulis ?! Saya sudah mencoba berdoa, berpikir, bertanya, namun semua itu tetap saja tidak memuaskan saya.

Kekeringan makna hidup itu bertambah dengan perasaan bersalah yang berlebihan, dan rasa tidak pantas diri yang begitu luar biasa. Kesalahan berat yang pernah saya perbuah di masa lalu, yang sampai sekarang masih menghantui mimpi-mimpi saya. Dan, kesalahan itulah yang menjadikan saya tidak pantas melakukan peran-peran sosial yang saya jalankan sekarang ini. Namun, dalam kesedihan-kesedihan itu saya terus merenungi hidup ini dengan satu pertanyaan, bagaimana lagi saya harus hidup ?!

Saya mencoba menyadari bahwa, memang hidup yang sempurna bukanlah hidup yang tanpa cacat, melainkan hidup dengan mengakui, menerima, serta mengintegrasikan semua kesalahan dan cacat yang ada. Karena Tuhanlah yang akan menyempurnakan semua cacat dan kesalahan itu menjadi kesempurnaan untuk menyebarkan cinta dan kebaikan. Kesadaran inilah, yang mampu menghapus kesedihan-kesedihan saya siang ini. Termasuk tulisan ini juga, mampu memberikan kontribusi terhadap ketenangan bathin saya, agar terus menjalani hidup ini dengan suka-cita !?. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 18 September 2015. | Oleh. Purwalodra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun