Oleh. Purwalodra
Setiap hari, setiap waktu kita di dera oleh perasaan takut. Di rumah, di kantor, di dalam komunitas, kita di kejar-kejar perasaan takut. Takut pada masa lalu, jangan-jangan akan terulang kembali pengalaman pahit dalam hidup kita. Takut pada masa depan, jangan-jangan kondisinya seperti masa-lalunya yang pahit itu. Kita bisa saja takut kepada istri/suami kita, takut pada atasan kita, takut pada tugas-tugas kita, atau bahkan kita takut pada binatang atau benda-benda lainnya. Perasan takut  ini menjadi bagian hidup manusia dari seluruh zaman. Padahal, rasa takut adalah benda paling jahat di dunia. Ia membuat kita khawatir berlebihan akan hidup ini. Pikiran kita kacau. Denga perasaan takut ini, tubuh kita pun juga ikut-ikutan sakit.
Kita akan semakin menderita, karena diterkam rasa takut ini setiap waktu. Hidup kita bagaikan berada di neraka dunia. Kita yang merasa takut juga cenderung jahat pada orang lain. Karena kita akan gampang marah, dan gampang berbuat kasar. Pada tingkat yang lebih tinggi, rasa takut ini juga menciptakan perang. Kelompok yang satu khawatir, bahwa kelompok lainnya akan menyerang kelompoknya. Maka, ia menyerang duluan. Perang pun tak bisa dihindari.
Sementara, pada tingkat pribadi, rasa takut menciptakan penyakit jiwa. Deretan penyakit jiwa muncul, karena orang merasa takut. Rasa takut juga mendorong orang berbuat yang aneh-aneh. Pada kasus yang parah, rasa takut mendorong orang untuk melakukan bunuh diri.
Seringkali, ketakutan kita itu disebabkan oleh ketidakpastian masa depan dan keluarga kita. Apakah kita akan sukses di kemudian hari? Apakah kita akan hidup sehat sampai usia tua? Di sisi lain, kita juga takut akan masa-lalu kita. Kita menyesal telah berbuat kesalahan di masa lalu. Maka, di masa kini, kita menanggung akibat dari kesalahan masa lalu kita itu. Hari-hari kita kemudian, dipenuhi dengan campuran antara rasa takut, cemas dan menyesal.
Secara terminologi, perasaan takut merupakan ketegangan di dalam pikiran kita sendiri, karena kemungkinan akan kehilangan sesuatu yang kita cintai/sukai. Sesuatu itu bisa berupa harta, nama baik, atau bahkan hidup kita sendiri. Perasaan takut ini biasanya timbul, karena perasaan terancam. Ada yang mengancam harta kita, nama baik kita, identitas kita atau hidup kita, sehingga kita kemudian merasa takut.
Ketika kita merasa takut, pikiran kita kacau. Kita jadi melihat hal-hal yang tak ada. Sebaliknya, kita justru jadi tidak menghargai hal-hal baik yang sudah ada. Rasa takut membuat kita buta. Pikiran yang kacau ini, menyebabkan penderitaan di dalam bathin kita. Ketika kita menderita, maka tindakan kita juga kacau. Kita pun bisa menyebabkan penderitaan bagi orang lain. Kebutaan akibat rasa takut dan penderitaan yang menggerogoti bathin kita ini, akan mendorong kita untuk berbuat jahat. Lantas, pertimbangan-pertimbangan kita pun juga kacau, karena pikiran yang kacau. Keputusan yang kita ambil banyak merugikan diri kita sendiri dan orang lain.
Sebenarnya, rasa takut itu berakar pada pikiran kita sendiri. Kita mengira, sesuatu itu abadi. Maka kemudian, kita menggantungkan hidup kita pada sesuatu itu, entah uang, nama baik atau pekerjaan kita. Kita mengira, semua itu adalah kebenaran sejati yang akan ada selamanya. Dengan begitu, kita takut tidak punya uang, takut kehlangan nama baik, dan takut dipecat oleh atasan.
Kita juga mengira, dunia itu ada. Kita mengira, uang itu ada. Kita mengira, reputasi itu ada. Padahal, jika dipikirkan lebih dalam, segala sesuatu itu kosong. Ia ada, karena pikiran kita semata. Kita juga mengira, kita ini ada. Kita mengira, nama baik (reputasi) kita adalah segalanya. Kita mengira, karir kita adalah segalanya. Padahal, jika dicari lebih dalam, kita tidak akan menemukan sesuatu yang utuh dan abadi di dalam reputasi ataupun karir kita. Semuanya fana dan sementara, bagaikan bayangan.
Pada prinsipnya, ternyata kita ditipu oleh pikiran kita sendiri. Pikiran kita menciptakan segalanya, dan kita mengira, itu semua sebagai benar, utuh dan abadi. Padahal, pikiran kita itu rapuh. Ia bisa berubah, dan bahkan lenyap. Begitu pula rasa takut yang kita alami. Ia adalah bentukan pikiran yang rapuh dan sementara. Rasa takut hanya ada dalam pikiran kita. Ketika pikiran kita berhenti, maka rasa takutpun hilang. Oleh karena itu, hentikan pikiran kita dengan hidup apa adanya, menerima dan melepaskannya. Hidup apa adanya itu, hidup di saat ini disini, penuh spontanitas, dan tanpa analisis apapun yang kita lihat dan kita rasakan. Jadi, bebas dari rasa takut berarti bebas dari penderitaan. Bebas dari penderitaan berarti hidup yang penuh dengan kedamaian, kejernihan dan cinta untuk semua. Kira-kira, bisa gak yaa !??. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 01 September 2015.