Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mendidik Pikiran, Biar Nggak Cepet ’Be-Te’ ?!

18 Agustus 2015   11:19 Diperbarui: 18 Agustus 2015   11:19 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Oleh. Purwalodra

Pagi ini, kantor tempat saya bekerja, digelar kegiatan ‘coffee morning.’ Kegiatan yang dilakukan dua minggu sekali ini, biasanya digunakan untuk beramah-tamah, skaligus berdiskusi diluar konteks pekerjaan atawa tugas-tugas harian. Coffee morning, yang suasananya lebih santai dan kekeluargaan, dengan muatan-muatan yang lebih untuk menyelesaikan masalah secara bersama-sama. Namun, justru kali ini, entah mengapa, saya kok merasa sangat ‘be-te’ (Boring Time and Bad Time), mendengar berbagai ulasan yang saling memojokkan, dan kurang enak didengar. Dari sini, mungkin saya merasa perlu terus mendidik pikiran saya sendiri, agar selalu menerima apapun kondisi yang saya temukan sehari-hari. Ternyata, saya masih harus terus mendidik pikiran saya sendiri ?!

Pada saat suasana hati tidak mendukung untuk bisa sedikit damai, alias ‘Be-Te,’ maka pikiran kita akan sulit sekali diajak kompromi. Mungkin, mendidik pikiran, merupakan solusi yang tepat agar kita mampu bertahan dalam berbagai suasana yang menjenuhkan. Ini bukan omong kosong, tapi ketika saya tak mampu mendidik pikiran, maka hidup ini seolah-olah tak punya tujuan dan sayapun kehilangan arah dalam menjalani kehidupan.

Akibatnya, setiap keputusan yang saya ambil selalu mengindikasikan adanya tuhan-tuhan baru, yang menjelma dari pikiran saya. Bagaimana tidak, jika setiap prasangka yang muncul dari pikiran saya, bisa mendeskte dan menggiring saya untuk selalu mengikuti apa yang ada dalam pikiran. Saya menyadari, bahwa seluruh prasangka yang muncul sebagai pikiran, akan melahirkan banyak persepsi, yang kemudian membimbing saya untuk lari dari  kenyataan hidup. Pikiran yang tak terdidik akan menjadikan saya hidup seperti dalam neraka. Tapi pikiran saya juga bisa membawa saya pada kehidupan yang penuh kedamaian dan ketenangan. Pertanyaannya, bagaimana saya mampu mendidik pikiran saya sendiri ?!!. 

Bertahun-tahun saya memulai mendidik pikiran ini sejak mahasiswa. Saya mulai mendidiknya dengan memberikan umpan balik pada pikiran saya sendiri, dengan berbagai niat, agar pikiran sadar maupun pikiran tak sadar saya mengikuti niat saya tersebut. Namun, berbagai godaanpun datang menghujam melalui berbagai pelanggaran, salah satunya merasa terlalu yakin bahwa apa yang kita inginkan itu bisa terwujud. Pikiran obsesif itu kemudian mendominasi setiap perjalanan hidup yang saya jalani, akhirnya pikiran-pikiran itu tak lagi mampu saya kendalikan.

Semua ini terjadi karena pikiran kita tak pernah mengenal kata ‘menyerah.’ Ketika kita terlanjur mempercayainya, maka ia akan mengendalikan segala sesuatu, termasuk hidup kita. Pada saat pikiran kita mendominasi semua jalan keputusan hidup kita, maka Tuhan yang ada di dalam jiwa ini, tak lagi mampu terdengar bisikannya. Inilah pentingnya kita menjinakkan pikiran kita sendiri, agar bisikan Tuhan yang begitu halus bisa kita dengar.

Meskipun pikiran kita terlihat begitu liar, tapi tak mungkin kita melenyapkan begitu saja. Karena keberadaan pikiran dan jiwa kita adalah satu paket. Seperti sebuah anekdot lama, bahwa hanya pikiran kitalah yang mampu membedakan, apakah kita masih gila atau memang orang bodoh ?!. Orang gila itu adalah orang yang hilang ingatannya. Tapi, orang bodoh itu tidak pernah hilang ingatannya, karena tidak ada yang pernah diingatnya !?.

Pikiran yang sadar dan sehat, adalah pikiran yang mampu melihat kehidupan secara paradoksal. Artinya, Sesuatu itu tidak ada atau tidak terjadi, tanpa kehadiran atau kejadian yang lainnya. Seperti halnya, kita mengenal siang karena ada malam. Kita mengenal laki-laki, karena ada perempuan. Kita mengenal kebenaran, karena ada yang yang disebut salah. Dan, kita mengenal sesuatu yang mudah, karena ada  sesuatu yang sulit. Pikiran kita harus terus-menerus belajar memahami situasi yang paradok dalam kehidupan ini. Tujuannya adalah, tidak lain dan tidak bukan, untuk memahami bahwa semua yang ada di dunia ini tidak melulu kesenangan, dan tidak melulu kesedihan. Semua saling melengkapi dan saling menguatkan. Dan, semua adalah ciptaan pikiran kita sendiri.

Kadang-kadang pikiran kita terjebak pada dualisme yang bersifat ilusif. Pikiran kita harus diajarkan, bahwa di dunia atau di alam ini tidak ada dualisme. Semuanya adalah sebagai jaringan yang saling terkait erat, tanpa bisa dipisahkan. Baik-buruk, benar-salah, untung-rugi, semua dikotomi ini adalah hasil dari kesalahpahaman yang bercokol di dalam pikiran kita sendiri.

Bahkan, jika kita pahami lebih dalam, apa yang kita sebut sebagai dunia juga sebenarnya adalah bentukan dari persepsi pikiran yang berpijak pada kelima panca indera kita. Artinya, dunia adalah dunia sebagaimana dipersepsikan oleh panca indera kita. Hewan dan tumbuhan memiliki panca indera yang berbeda. Mereka pun memiliki pemahaman dunia yang berbeda.

Apabila pikiran kita kerap kali salah dalam memikirkan sesuatu, lalu bagaimana kita harus hidup? Pertanyaan ini, tentu harus kita pertegas lagi melalui pertanyaan berikut, apakah diri kita hanya pikiran kita semata? Apakah pikiran di kepala kita identik dengan keseluruhan diri kita? Jika kita pahami secara mendalam, jawabannya jelas : bukan.

Kita selaku entitas yang mampu melebihi pikiran kita, harus bisa membiarkan pikiran kita, datang dan pergi. Jangan mudah percaya dengan pikiran kita sendiri. Kita tidaklah sama dengan pikiran yang datang dan pergi di kepala kita. Gunakan pikiran kita seperlunya, namun jangan pandang dia mentah-mentah sebagai kebenaran mutlak tentang segalanya.

Ketika kita mampu mendidik pikiran kita, maka kita memiliki kebebasan yang sesungguhnya. Kita akan bebas dari pikiran kita sendiri, ini juga berarti bahwa kita tidak diperbudak oleh suara-suara yang ada di kepala kita. Kita bisa berpikir dengan jernih untuk menyingkap berbagai hal dalam hidup. Kita bisa menjadi orang yang bijaksana di dalam beragam keadaan.

Pada akhirnya, ketika sedih datang, kita sedih. Ketika gembira datang, kita gembira. Kita biarkan semuanya datang dan pergi, tanpa keinginan untuk memegang erat-erat pikiran yang datang, apalagi melekatkan situasi-situasi emosi itu dalam pikiran dan hidup kita. Ingat, kita bukanlah pikiran kita ?!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 18 Agustus 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun