Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Runtuhnya Monumen Kemerdekaan!

16 Agustus 2015   07:12 Diperbarui: 16 Agustus 2015   10:09 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Purwalodra.

Sehari lagi, tepatnya besok Senin, 17 Agustus 2015, adalah hari kemerdekaan negera dan bangsa Indonesia. Kita merasa bangga, karena kemerdekaan negara kita ini diongkosi dengan perjuangan yang panjang. Di tiap hela napas kita ada tanda pahala para pejuang, para perintis kemerdekaan. Faktor yang sangat penting yang membakar semangat para pejuang kemerdekaan kita saat itu, adalah bahwa kemerdekaan merupakan jembatan emas menuju kemakmuran yang berkeadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.

Ternyata, apa yang dicita-citakan para pejuang kita itu benar. Kita, sekarang, tidak lagi sulit melihat mobil-mobil mewah seri terbaru di jalan-jalan besar. Setiap hari, saya berdecak kagum melihat kendaraan mewah berlalu lalang, seolah tanpa henti dan tak kenal waktu. Mall-mall besar menjual barang-barang mewah, namun tetap tak pernah kekurangan pembeli di kota kecil kita, di pinggiran Jakarta ini. Anak-anak kita mulai dari yang belum sekolah sampai yang sudah bekerja, tidak ada yang tidak kenal gadget, Ipad, Iphone, dan HP model terbaru. Anak-anak lebih kenal ‘Wi-fi’ daripada Ibu pertiwi.

Kemodernan kita di bidang telekomunikasi-informasi, transportasi, perdagangan dan berbagai bidang teknologi yang menyertainya, ternyata saudara-saudara kita di pedesaan mengalami banyak ketertinggalan, khususnya pertanian, peternakan, perkebunan dan pengelolaan sumber daya alam lainnya. Kita terpaksa harus impor beras, daging, dan hasil-hasil pertanian laiinnya, guna mencukupi kebutuhan hidup masyarakat kita. Sungguh ironis kondisi kita saat ini, dimana kita termasuk negara agraris, namun hasil pertanian dan peternakannya  dicukupi oleh negara lain. Kita pada akhirnya, menjadi negara konsumen terbesar di dunia. Hal ini sudah diprediksi oleh negara-negara maju sejak awal kemerdekaan kita dulu.

Perlu kita sama-sama ketahui, bahwa dibalik kemajuan dan kemodernan kita hari ini, ternyata kekayaan kita, sejak puluhan tahun lalu, sudah dibagi-bagi oleh pihak asing. Bagaikan raja dan sultan pada zaman pra-kemerdekaan, elite bangsa kita sendiri menjual dan membagi-bagi kekayaan alam negeri ini, sehingga kita tak tega merayakan kemerdekaan pada hari ini denga suka-cita, tapi justru sebaliknya, yakni meratapi hari ini sebagai kemerdekaannya pihak-pihak asing yang telah membagi-bagi kekayaan negeri ini.  

Menurut, John Pilger dalam buku The New Rulers of the World menyebutkan, ”Dalam bulan November 1967, The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Geneva yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang- orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja elit pemerintah Soeharto yang oleh Rockefeller disebut ’ekonom- ekonom Indonesia yang top’. Pihak Indonesia diwakili pemerintah dengan para menteri ekonomi di bawah pimpinan Widjojo Nitisastro.”

Pada halaman 39, buku tersebut tertulis: ”Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ’Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler,’ kata Jeffrey Winters. ’Mereka membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lain kepada wakil-wakil Pemerintah Indonesia”.

Pada tulisan berikut, ”Freeport mendapatkan bukit dengan tembaga di Papua Barat. Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto, membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia, dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia”.

John Perkins dalam buku Confessions of an Economic Hit Man atau ”Pengakuan seorang perusak ekonomi” menyebutkan, ”Penugasan pertama saya di Indonesia, dan saya salah seorang dari sebuah tim yang terdiri dari 11 orang yang dikirim untuk menciptakan cetak biru rencana pembangunan pembangkit listrik buat Pulau Jawa.” Di halaman 13 disebutkan, ”Saya tahu bahwa saya harus menghasilkan model ekonometrik untuk Indonesia dan Jawa. Saya mengetahui bahwa statistik dapat dimanipulasi untuk menghasilkan banyak kesimpulan, termasuk apa yang dikehendaki oleh analis atas dasar statistik yang dibuatnya.”

Sementara itu di halaman 15-16: ”Aspek yang harus disembunyikan dari semua proyek tersebut ialah membuat laba sangat besar buat para kontraktor dan membuat bahagia beberapa gelintir keluarga dari negara-negara penerima utang (baca: Indonesia) yang sudah kaya dan berpengaruh di negara masing-masing. Dengan demikian, ketergantungan keuangan negara penerima utang menjadi permanen sebagai instrumen untuk memperoleh kesetiaan dari pemerintah-pemerintah penerima utang. Semakin besar jumlah utang semakin baik. Kenyataan bahwa beban utang yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin dari bangsanya dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan jasa-jasa sosial lain selama berpuluh-puluh tahun tak perlu masuk dalam pertimbangan.”

Ketika kita menengok kembali UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal, yang telah menggantikan semua perundang-undangan dan peraturan dalam bidang penanaman modal sebelumnya. Pada Pasal 1 yang mendefinisikan ”Ketentuan Umum” intinya menyatakan tak ada perbedaan antara modal asing dan modal dalam negeri. Pasal 6 mengatakan, ”Pemerintah memberikan perlakuan sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia……”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun