Oleh Purwalodra
Sejarah panjang negeri ini adalah sebentuk nostalgia bagi anak-anak negeri yang merindukan kemerdekaan, yang juga merupakan sebuah kesadaran modern di zaman ini. Sementara itu, para perindu kemerdekaan tak bisa hidup seperti halnya orang-orang di sebuah masyarakat, di mana tradisi dan budaya lokal punya peran yang sentral. Para perindu itu, merindukan alam pikiran masyarakat tradisional, dimana masa lalu tak pernah absen. Ia hadir di mana-mana. Sehingga ia tak perlu dirindukan kembali.
Sejak awal abad ke-20 ini, para perindu kemerdekaan disajikan menu sejarah negri yang dibentuk oleh pembicaraan tentang sejarah sebagai ”patahan”, bukan perjalanan kehidupan bangsa yang berkesinambungan. Sejak abad ini, ada kecenderungan menampilkan sejarah ”baru”, yang patah-patah dengan yang masa lalunya, seakan-akan drama negeri ini merupakan bagian dari drama perbenturan yang dibagi-bagi menjadi banyak sejarah.
Dalam pergerakan pemuda tahun 1910-an, misalnya. ”Jong Java”, ”Jong Sumatranen Bond”, ”Jong Ambon”, dan lain-lain menunjukkan yang ”muda” sebagai sebuah energi tersendiri. Yang memiliki sebutan ”muda” dianggap harus menggantikan yang ”tua”. Energi itu berlanjut sampai ke tahun 1920-an, dimana masyarakat politik negeri ini dikejutkan oleh deklarasi kaum “muda” yang mereka sebut sebagai ”Sumpahnya para Pemuda”.
Di belantara sastrapun demikian, novel seperti Siti Noerbaja menjadi begitu terkenal sebagai penampikan terhadap ”adat” (yang ”kuno”). Sementara, di tahun 1930-an, dengan sebuah majalah beroplah kecil tapi bersuara lantang, Sutan Takdir Alisjahbana memaklumkan lahirnya sebuah gelar baru bernama “pujangga baru”, dengan kesadaran tentang ”Indonesia” yang bukan lagi berada di zaman ”jahiliyah”.
Di pinggiran telaga negeri ini, setidaknya ketika kita mengintip sejarah intelektual, terlihat pergantian sejarah negeri ini dengan sebutan “angkatan”. Ada ”Angkatan ’45” yang menolak angkatan sebelumnya. Dua dasawarsa kemudian, lahir ”Angkatan ’66” yang juga mencibir angkatan sebelumnya. Sejarah negeri ini, seakan-akan terjadi satu arus, dimana energi yang militan selalu membedakan diri, dan bahkan meruntuhkan, energi lama.
Dalam sejarah politik negeri ini, Indonesia seakan-akan terbelah-belah menjadi periodisasi kepengurusan negara, yang dengan tegas menandai adanya ”patahan-patahan” sejarah. Periode 1945-1958, masa ”demokrasi parlementer”, ditinggalkan secara radikal oleh periode 1958-1966, masa ”demokrasi terpimpin”. Pada gilirannya itu pun dicampakkan oleh periode 1966-1998 oleh masa ”Orde Baru”. Sejak 1998, ada patahan baru, dimana masa Reformasi masih terjadi sampai hari ini.
Para perindu kemerdekaan menyadari, bahwa patahan-patahan sejarah negeri ini menjadi kisah ilusif, yang tidak pernah menyatu dengan atmosfer kemerdekaan negeri ini. Tak ada satu generasi yang bisa mengubah sejarah seperti yang dirancangnya, dan masa kini tidak perlu menjadi sejarah ‘baru’ sama sekali. Generasi sebelumnya memilik jejak yang sama, dan selalu punya sisa yang menghuni kehidupan sejarah generasi sekarang.
Lambat laun, imajinasi tentang sejarah sebagai sebuah ”patahan” berangsur-angsur mengubah posisi masa silam. Sebuah ‘masa’ yang selalu terpisah-pisah itu akan makin jauh jarak patahannya. Sehingga, satu generasi ke generasi berikutnya merupakan kisah yang berdiri sendiri-sendiri, tak berkesinambungan.
Akhirnya, para perindu kemerdekaan ini, tak harus memegang prinsip, bahwa sejarah bangsa ini dimulai dari deklarasi negeri ini berdiri. Karena para perindu kemerdekaan menyadari, bahwa memori dirinya dan memori bangsa ini tak pernah punya kesatuan dan selalu berubah-ubah. Bagi para perindu kemerdekaan, yang terpenting sekarang, adalah denyut perkembangan kesejahteraan rakyat negeri ini, dari masa ke masa berikutnya ??!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 13 Agustus 2015.